Pengacara soal Praperadilan Tom Lembong: Penetapan-Penahanan Tersangka Tidak Sah

24 November 2024 14:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
 Tom Lembong Foto: Ela Nurlaela/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tom Lembong Foto: Ela Nurlaela/kumparan
ADVERTISEMENT
Pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, membeberkan sejumlah kesimpulan versinya dalam sidang praperadilan yang telah dijalani sejak Senin (18/11) lalu.
ADVERTISEMENT
Sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, saat ini telah memasuki keterangan ahli dari Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku Termohon.
Adapun dalam kesimpulannya, Ari menjelaskan terkait tidak sahnya penetapan Tom Lembong sebagai tersangka, termasuk juga dengan penahanan oleh Kejagung.
Pertama, ia mengungkapkan bahwa dalil soal kliennya tidak diberikan kesempatan menunjuk penasihat hukum merupakan perbuatan sewenang-wenang.
Bahkan, lanjutnya, dalil tersebut juga tidak dibantah di dalam persidangan oleh Kejagung.
"Hal ini terbukti dari keterangan tertulis Pemohon (Principal) yang disampaikan pula secara daring dalam persidangan, bahwa Termohon tidak memberikan kesempatan yang layak dan patut untuk Pemohon memutuskan penasihat hukum yang ingin Pemohon tunjuk mendampingi Pemohon dalam perkara ini," ujar Ari dalam keterangannya, Minggu (24/11).
Ahli pangan Fakultas Pertanian IPB Prof. Dwi Andreas Santosa, Ahli hukum pidana Dr. Mudzakkir, dan Ahli hukum acara pidana Dr. Chairul Huda, hadir dalam sidang praperadilan kasus Tom Lembong di PN Jaksel, Kamis (21/11/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dalam persidangan, juga dihadirkan ahli hukum pidana dari pihak Pemohon, yakni Mudzakkir.
ADVERTISEMENT
Dalam keterangannya, Mudzakkir menjelaskan bahwa jika seseorang tidak dapat menunjuk sendiri penasihat hukumnya sebagaimana dimaksud Pasal 54 dan 55 KUHAP dan selanjutnya justru ditunjuk oleh Penyidik, hal tersebut merupakan perbuatan yang menyimpang dan melawan hukum.
"Karena itu penetapan Tersangka tersebut adalah tidak sah karena melanggar ketentuan Pasal 54 dan 55 KUHAP," jelas Ari.
Lebih lanjut, Ari juga menegaskan bahwa hak untuk memilih penasihat hukum sendiri tidak dapat disamakan dengan hak mendapatkan bantuan hukum.
Ia menyebut, kliennya sejatinya memiliki kemampuan untuk memilih penasihat hukum sendiri yang mestinya dipenuhi Kejagung.
"Berdasarkan fakta persidangan di atas, maka penetapan Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara ini dinyatakan tidak sah," kata dia.
Dalam kesimpulan itu, Ari juga menekankan bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka tidak memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, Tom disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Ia menyebut, mestinya dalam proses pemeriksaan terkait dua pasal itu, Kejagung telah memperoleh alat bukti berupa Laporan Hasil Pemeriksaan Audit investigatif BPK RI yang menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara.
Namun, lanjut dia, faktanya Kejagung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka hanya mendasarkan pada Laporan Hasil Ekspose dengan BPKP.
"Dalam tahap penyidikan dan penetapan Pemohon sebagai tersangka, Termohon senyatanya tidak memiliki Laporan Hasil Pemeriksaan Audit investigatif BPK," kata Ari.
"Dengan demikian, maka Termohon tidak bisa membuktikan adanya unsur kerugian negara. Padahal bukti adanya kerugian negara adalah alat bukti utama," sambungnya.
Hal itu juga sejalan dengan pendapat yang dikemukakan ahli yang dihadirkan kubu Tom Lembong, yakni ahli hukum pidana Mudzakkir dan Chairul Huda.
ADVERTISEMENT
"Bahwa adanya kerugian keuangan negara tersebut bersifat kerugian yang bersifat pasti. Jadi, jika belum ada hasil audit investigasi oleh BPK RI, berarti belum terbukti unsur pokok delik berupa kerugian keuangan negara maka penyidik belum bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka," imbuh dia.
Ari menjelaskan bahwa kegiatan impor gula yang dilakukan selama Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan 2015–2016, telah diaudit oleh BPK RI.
Hasilnya, kata Ari, tidak terdapat temuan yang menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara.
"Bahwa justru sebaliknya, yang terbukti dalam persidangan adalah keuntungan yang diperoleh negara dan masyarakat dari kebijakan impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih," papar Ari.
"Dengan demikian tidak terdapat perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan wewenang dalam menetapkan kebijakan impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Ari juga menjelaskan bahwa penahanan yang dilakukan terhadap kliennya tidak sah. Ia menyebut bahwa dalam persidangan, pertimbangan Kejagung dalam menahan Tom Lembong tidak berdasarkan hukum.
Tom Lembong dihadirkan secara virtual dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2024). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Dalam dalilnya, Kejagung menahan Tom Lembong lantaran diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Hal itu justru dinilai oleh Ari tidak terpenuhi dan dianggap kriminalisasi terhadap kliennya.
Tak hanya itu, alasan subjektif penyidik Kejagung untuk menahan Tom Lembong yang menimbulkan kekhawatiran akan melarikan diri, merusak alat bukti, dan mengulangi tindak pidana juga tidak terbukti.
Pasalnya, kata Ari, kliennya selalu bersikap kooperatif dan memenuhi panggilan penyidik Kejagung. Tak hanya itu, Tom Lembong juga tidak memiliki kapasitas serta kewenangan dalam merusak dan menghilangkan barang bukti.
ADVERTISEMENT
"Perbuatan Termohon tersebut telah senyatanya merugikan kepentingan hukum Pemohon sehingga sudah sepatutnya penahanan tersebut dinyatakan tidak sah menurut hukum," tandasnya.
Ari juga mengungkapkan sejumlah fakta persidangan yang tidak dibantah oleh Kejagung selaku Termohon.
Dalam persidangan, disebut bahwa faktanya Indonesia mengalami defisit gula alih-alih surplus sebagaimana yang didalilkan Kejagung. Hal ini juga berdasarkan data dari BPS yang menyebut bahwa Indonesia mengalami defisit produksi gula dibandingkan kebutuhan konsumsi.
Kemudian, terkait dengan dalil Termohon mengenai pemenuhan Gula Kristal Putih, yang harus diimpor adalah Gula Kristal Putih secara langsung. Padahal, berdasarkan Kemenperindag Nomor 527/2004, tidak mengatur dan tidak mewajibkan jika defisit Gula Kristal Putih harus dipenuhi melalui impor Gula Kristal Putih.
Ari menyebut, untuk mencukupi perkiraan defisit Gula Kristal Putih dapat dilakukan melalui jalur produksi dari Gula Kristal Mentah diolah menjadi Gula Kristal Putih di pabrik gula rafinasi.
ADVERTISEMENT
"Bahkan cara ini lebih memberi manfaat bagi perekonomian negara, meningkatkan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi serta menghemat devisa negara," beber Ari.
Kemudian, lanjutnya, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) diterima oleh Tom Lembong lebih dari 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan (Sprindik).
"Pemohon baru tahu adanya Sprindik 3 Oktober 2023 melalui Surat Pemberitahuan Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi No. R-3163/F.2/Fd.2/10/2024 tertanggal 29 Oktober 2024, sama sekali tidak terbantahkan," ungkapnya.
Hal tersebut justru bertentangan dengan putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015. Putusan itu mengamanatkan bahwa SPDP harus sudah diterima terlapor/tersangka, paling lambat 7 hari setelah diterbitkannya Sprindik.
"Oleh karena itu, berdasarkan semua fakta penetapan tersangka tanpa terlebih dahulu menyampaikan SPDP kepada calon tersangka, merupakan tindakan yang tidak sah," pungkasnya.
ADVERTISEMENT