Pengamat Satwa Liar IPB: Pandemi Corona, Kebun Binatang Sangat Kritis

7 Mei 2020 18:58 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rusa timor di Bandung Zoo. Kebun binatang itu kini megap-megap tanpa pemasukan di tengah pandemi. Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
zoom-in-whitePerbesar
Rusa timor di Bandung Zoo. Kebun binatang itu kini megap-megap tanpa pemasukan di tengah pandemi. Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Satu per satu kebun binatang di Indonesia mulai gelagapan. Mereka kesulitan menghidupi satwa-satwanya di masa pandemi corona. Beberapa kebun binatang pun memangkas jumlah pakan hewan. Ada pula uang menyiapkan skenario terburuk dengan (bila perlu) mengorbankan rusa peliharaan untuk pakan satwa karnivora. Itu kalau pandemi belum juga berakhir sampai empat bulan ke depan.
Semarang Zoo mulai mencampur daging sapi dengan ayam untuk pakan harimau dan singa. Dua jenis satwa besar itu sebelum pandemi hanya makan daging sapi murni. Tanpa campuran. Pun begitu, menurut Direktur Semarang Zoo Syamsul Bahri Siregar, perubahan jenis pakan tersebut tidak—atau belum—berpengaruh ke kesehatan satwa.
“Mereka (harimau-harimau dan singa-singa) masih lemu (gemuk) dan mudah-mudahan sehat,” kata Syamsul kepada kumparan, Senin (4/5) .
Namun, menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang juga pengamat satwa liar, Profesor Hadi Alikodra, kebun binatang tidak boleh dengan mudahnya menggonta-ganti standar pakan satwanya, karena itu akan berimbas kepada tingkat stres hewan. Dampak terburuknya: kematian massal satwa kebun binatang.
Oleh sebab itu, Alikodra menyarankan agar semua pihak tolong-menolong menyelamatkan satwa-satwa di kebun binatang. Apalagi di antara mereka terdapat hewan endemik yang hampir punah seperti harimau sumatera.
Berikut perbincangan kumparan dengan Profesor Hadi Alikodra:
Prof. Hadi Alikodra. Foto: Dok. WWF Indonesia
Bagaimana Anda melihat kondisi satwa kebun binatang di masa pandemi corona ini?
Secara makro ya, sejak ditutup karena pandemi corona, mereka tentunya tidak ada pemasukan untuk dua hal: para penjaganya sendiri, dan binatangnya.
Sehingga otomatis kesejahteraan satwa berkurang, baik dari segi pakan, dari segi kesehatan, dari segi perasaan—sedih; dia kan juga punya perasaan.
Dengan semakin berkurangnya penjaga satwa, juga berubahnya jenis-jenis pakan, misal yang biasanya makan pisang ijo lalu sekarang pisang raja, itu juga berpengaruh.
Prinsipnya, mereka berada dalam kondisi yang kurang nyaman, sehingga akan menyebabkan stres. Dan stres akan menyebabkan kematian. Itu prosesnya.
Jadi dampak pengurangan makanan ke perlindungan satwa itu berpengaruh langsung?
Itu kan kebiasaan yang berubah. Misalnya berkurang satu kilo atau dua kilo dari porsi biasanya. Walaupun mengatakan makannya cukuplah kalau dua kilo, tapi ada kebiasaan (yang berubah). (Ini soal) perilaku, kenikmatan, rasa aman.
(Satwa) kan sudah biasa dengan sistem yang dulu berhari-hari menjadi modelnya. Jadi kalau ada pengurangan, terutama makanan, (berdampak).
Ada faktor pembatasnya: makanan dan air. Makanan itu bukan hanya jumlah, tapi juga kualitas. Lalu kebiasaan dia makan apa. Kalau biasanya makan daging segar, (sekarang) dikasih daging yang tidak seperti biasanya, yang akan terjadi adalah animal stress karena kebiasaannya tidak tercukupi.
Petugas memberi makanan beruang madu di Medan Zoo, salah satu kebun binatang yang terbelit kesulitan di tengah wabah corona. Foto: ANTARA/Septianda Perdana
Soal air (pun begitu). Juga soal partnernya dia, misalkan petugas yang biasanya datang, ngelus-ngelus, atau memandikan dan membersihkan kandangnya, lalu tiba-tiba ia tidak ada. Itu bisa (menyebabkan) stres luar biasa.
Binatang itu semacam manusia. Kita sih secara individu bisa melakukan perbaikan, tapi dia kan tergantung manusia. Tergantung kepada si manajernya, si pawangnya.
Nah, kalau ini sampai tiga bulan begitu, aduh, repot itu. Mengurangi pekerja, mengurangi komposisi makanan, mengurangi kualitas, itu berbahaya.
Ada satwa yang “Puasa Daud” dan cara itu sebetulnya sudah dilakukan sejak sebelum pandemi. Katanya, itu memang cara hewan liar makan habitatnya?
(Satwa) ini bukan binatang liar lagi. Ini binatang liar yang sudah dipelihara di kebun binatang. Ada situasi yang baru. Kalau di alam liar bisa (bertahan) mungkin, karena dia biasa sehari-dua hari nggak makan.
Tapi sejak datang di kebun binatang, dia “dimanjakan”. Kebiasaan di alam liar itu dirombak dengan era baru. Kualitasnya jadi beda. Sekian tahun di kebun binatang itu berubah.
Kayak manusialah. Kita tiga kali makan, dengan porsi makan yang macam-macam. Lalu diubah saja coba, Puasa Daud, nggak kuat saya. Jadi jangan begitulah (sama satwa) kalau menurut saya. Binatangnya nggak sehat. Merana.
Harimau benggala di Bandung Zoo. Kebun binatang itu sampai membuka donasi demi bisa memberi makan satwa-satwanya. Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Sejumlah kebun binatang bilang, penyesuaian-penyesuaian itu tak terlalu berpengaruh ke satwa. Dan paling tidak mereka jadi bisa bertahan 2-3 bulan.
Ya, tapi kan artinya tetap, ada pengurangan standar. Kalau sumber dana, saya masih optimis. Satu, ada pencadangan dari masing-masing kebun binatang. Dua, mestinya ada tanggung jawab dari PKBSI kepada anggotanya, ada usaha mereka.
Kemudian saya melihat bahwa ini soal manajemen. Artinya, mungkin setelah tiga bulan itu, barangkali dia masih ada spare satu bulan lagi, empat bulan mungkin. Tapi itu kan kondisi kritis. Kalau COVID-19-nya masih terus berkembang, siapa tahu ya kan?
Sehingga saya mengusulkan harus ada cadangan dana buat manajemen satwa liar yang ada di kebun binatang. Inilah yang penting dari PKBSI. Dia harus menghimpun. Kan tidak semua kebun binatang nggak punya duit. Ada juga kebun binatang yang cukup, bahkan punya simpanan banyak. Contohnya Taman Safari. Taman Safari itu kan ada banyak—di Bali, dua di Jawa Timur, di Cisarua, itu kan luar biasa pemasukannya. Setiap tahun sekian puluh miliar.
Itu, kalau digerakkan PKBSI, maka harus ada share di antara mereka yang mempunyai kelebihan. Pada situasi menderita, mestinya dia harus memberikan kelebihannya kepada kawan-kawan kebun binatang yang memerlukan.
PKBSI juga harus memberikan arahan. Saya melihat (kebun binatang) ini adalah nggak main-main nih, kritis banget.
Petugas memberi makan jerapah di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Bagaimana Anda melihat tata kelola kebun binatang di Indonesia saat ini?
Apalagi dengan COVID-19 ini, lampu merah, karena terus terang aja, mereka lebih mengutamakan ekonomi daripada manajemen kebun binatang. Lebih banyak duitnya saja masuk, masa bodoh dengan satwanya. Satwa sebagai objek, kan. Jadi sebanyak-banyaknya orang masuk, apalagi pas Lebaran.
Apa yang harus diperbaiki?
Pertama kali arahnya ke soal manajemen. Artinya, ada atau tidak ada wabah, manajemen tidak berubah. Manajemen pakan, jumlah orang yang ngurusin, kualitas pakan, kualitas air, jam untuk membersihkan kandang, jangan berubah.
Kalau manusia berubah bisa cari-cari (solusi). Kalau mereka (satwa), mau gimana coba?
Ini soal kecukupan dana. Nggak ada pengunjung masuk, nggak ada pemasukan. Tapi itu jangan jadi alasan. Jangan bilang, “Saya nggak ada duit.” Dia pernah untung kok. Okelah tiga bulan rugi, tapi kan untung sekian tahun, uangnya ke mana?
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.