Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Penjelasan Lengkap Tim Unifikasi Kemenag soal Kriteria Hilal Jadi 3 Derajat
6 April 2022 14:17 WIB
·
waktu baca 20 menit
ADVERTISEMENT
Kementerian Agama menggunakan kriteria baru dalam menentukan hilal bulan baru. Ini mulai berlaku saat memutuskan 1 Ramadhan 1443 H/2022 M. Ketinggian hilal kini berubah dari 2 derajat menjadi 3 derajat.
ADVERTISEMENT
Tim Unifikasi Kalender Hijriah Kemenag, Thomas Djamaluddin, sempat menjelaskan bagaimana perjalanan kriteria 2 derajat dipakai hingga akhirnya berubah menjadi 3 derajat.
Ada alasan soal kuatnya cahaya syafaq hingga elongasi yang dinilai belum masuk kriteria dapat melihat hilal bila masih menggunakan kriteria lama.
Berikut penjelasan lengkap Thomas Djamaluddin soal perjalanan kriteria hilal hingga berubah menjadi 3 derajat dikutip dari Youtube Bimas Islam Kemenag, Rabu (6/4):
Para hadirin sekalian, insyaallah saya akan membahas membicarakan terkait dengan kriteria baru MABIMS [Menteri Agama Indonesia, Brunei, Malaysia, Singapura], ini menuju unifikasi kalender hijriah. Tentu ada makna penting dengan ditetapkannya kriteria baru dari MABIMS tersebut.
Kita melihat kondisi saat ini masih ada dikotomi antara rukyat dan hisab. Yang sesungguhnya rukyat dan hisab itu seperti mata uang yang dua sisinya mempunyai nilai yang sama. Secara astronomi rukyat dan hisab itu setara. Dalam penentuan awal Ramadhan, demikian juga nanti mengakhirinya penentuan Idul Fitri dan Idul Adha.
ADVERTISEMENT
Rukyat didasarkan pada dalil-dalil sahih, salah satunya hadis Rasul yaitu berpuasa apabila melihat hilal dan berbekal atau berhari raya apabila melihat hilal.
Dan untuk rukyat ini, ini diperlukan verifikasi rukyat, itu sebabnya pada setiap lokasi pengamatan di sana ada hakim agama yang kemudian akan memverifikasi, kemudian mengambil sumpah, pada perukyat tersebut.
Dan rukyat tidak bisa diumumkan oleh masing-masing perukyat, perlu ada isbat atau penetapan oleh otoritas dalam hal ini adalah Menteri Agama, wakilnya negara. Jadi isbat diperlukan karena melihat perukyat memerlukan isbat atas hasil rukyatnya.
Sementara hisab ini juga didasarkan pada dalil-dalil yang sahih, salah satunya hadis yang mengatakan fakturillah bisa dimaknai di-istiqmal-kan atau dihitung.
Dari pendapat lain mengatakan bahwa hisab itu juga memang di dalam Al-Quran disebutkan, ia yang menjadikan matahari sebagai pelita dan bulan sebagai nur sebagai cahaya dan menetapkan manzilah-manzilah atau fase-fase bulan. Dari bulan sabit setengah lingkaran purnama, balik lagi ke setengah lingkaran, dan akhirnya bulan sabit tua.
ADVERTISEMENT
Dan semua itu untuk penentuan tahun dan juga hisab atau perhitungan. Nah, hisab ini didasarkan pada formulasi yang diturunkan dari catatan jangka panjang rukyat. Dan hisab itu memerlukan kriteria, hitungannya sama, tinggi bulan sekian derajat. Tetapi, kalau kriterianya berbeda, maka keputusannya akan beda. Dan ini yang sering menjadi sebab terjadinya perbedaan bukan karena perbedaan hisab dan rukyat, tetapi karena perbedaan kriteria.
Kita mengalami 6 tahun tanpa perbedaan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, 2015 atau 1437 sampai 2021 lalu atau 1442, karena posisi bulan masih di bawah ufuk atau di atas 2 derajat. Tetapi tahun ini posisi bulan pada posisi di antara dua kriteria dan dengan kriteria visibilitas hilal ini maka kemudian bisa disusun kalender. Jadi kalender itu disusun atas dasar hisab, bukan atas dasar rukyat.
ADVERTISEMENT
Apa yang dimaksud dengan rukyatul hilal? Rasul memang hanya memberi contoh dari memberikan perintah tanpa menjelaskan mengapa rukyatul hilal yang dipakai.
Dalam Al-Quran disebut, mereka bertanya tentang hilal, katakan hilal itu untuk penetapan waktu mawaqit dan untuk ibadah haji.
Tetapi dalam Alquran juga tidak dijelaskan mengapa hilal yang digunakan, bukan bulan sabit dan bukan bulan purnama yang digunakan untuk yang jelas.
Astronomi bisa menjelaskan bahwa hilal itu bulan sabit pertama yang teramati sesudah maghrib itu pasti penanda awal bulan. Setelah siklus bulan mengitari bumi, maka pada akhir siklus tersebut ada bulan tua. Setelah itu kemudian bulan mati dan baru hilal. Jadi perintah Rasul tersebut mempunyai alasan secara astronomi.
Nah, tetapi rukyat ini memang ada satu masalah. Nah, tetapi rukyat ini menghadapi suatu masalah. Ada problem besar dalam rukyat. Jangan dikira melihat rukyat itu mudah. Melihat hilal tidak seperti melihat bulan sabit di menara masjid.
ADVERTISEMENT
Karena bulan sabit atau hilal yang dekat dengan matahari itu bentuknya itu sangat tipis sekali. Ini kebetulan bulan sabit yang sudah agak tua jauh dari matahari bentuknya tebal.
Selain itu, ada gangguan dari cahaya syafak atau cahaya senja bulan sabit atau hilal yang rendah itu akan mengalami gangguan dari cahaya syafak tersebut.
Itu sebabnya kemudian untuk visibilitas hilal atau imkanur-rukyat perlu mensyaratkan tinggi tertentu supaya hilal yang tipis tersebut bisa mengalahkan cahaya syafak, dan jarak tertentu dari bulan dari matahari supaya hilal cukup cahayanya. Kalau hilal terlalu dekat dengan matahari, maka hilal tersebut sangat tipis dan sangat redup. Padahal posisi yang rendah akan mengalami gangguan dari cahaya syafak.
Lalu bagaimana dengan hisab? Hisab ini juga berkembang sejak zaman Nabi, jangan dikira Rasul tidak mengenal ilmu hisab.
ADVERTISEMENT
Dengan hadis yang mengatakan, kami ini adalah umat yang ummi, yang tidak bisa menulis dan menghitung, tapi Rasul kemudian memberikan petunjuk dan isyarat jarinya 1 bulan adalah 29 atau 30 hari.
Itulah hisab yang paling sederhana yang dikuasai pada zaman itu yang sekarang dikenal sebagai hisab urfi, hisab periodik.
Muharam itu selalu 30, dan bulan ganjil selalu 30. Kemudian Safar selalu 29, bulan genap selalu 29. Dan nanti ada tahun kabisat dengan penambahan satu hari pada bulan Zulhijah, itu hisab urfi dan hisab urfi adalah hisab pertama yang digunakan oleh Khalifah Umar ketika memperkenalkan kalender hijriah.
Kemudian ilmu hisab berkembang ada yang disebut sebagai hisab taqribi, aproksimasi atau pendekatan. Ini hanya mendasarkan pada ijtima dan terbenamnya matahari ketika sebut saja ijtima pukul 12 siang maghribnya pukul 18, magrib, maka umur pada saat maghrib itu 6 jam, maka ketinggian secara hisab taqribi itu 6 dibagi 2, 3 jam 3 derajat.
ADVERTISEMENT
Itu sederhana sekali, tetapi ini hanya perkiraan karena dengan 3 derajat taqribi yang haqiqi-nya mungkin hanya sekitar 2 derajat atau lebih.
Kemudian yang sekarang berkembang adalah hisab hakiki dengan perhitungan formulasi yang akurat dan astronomi. Dan ini ada dua macam ada yang hisab dengan kriteria yang sederhana yang wujudul hilal. Ini sebelum dalam sejarah terkait dengan imkanur-rukyat ini sesungguhnya cara penghitungan yang paling sederhana.
Saya sudah kuliah di astronomi. Sampai sekitar 15 tahun menggunakan wujudul hilal karena ini yang paling sederhana hanya dilihat dari saat matahari terbenam pukul berapa matahari bulan terbenam pukul berapa ketika bulan terlambat terbenamnya dibanding matahari itu dianggap sudah wujud. Sederhana sekali seperti itu.
Nah, atau dengan kriteria imkan rukyat. Ini memang secara fisis menjelaskan ketampakan hilal di ufuk barat seperti tadi saya jelaskan imkan rukyat atau visibilitas hilal itu didasarkan pada jarak bulan dan matahari yang mengindikasikan ketebalan hilal dan gangguan cahaya syafaknya diindikasikan dengan ketinggian.
ADVERTISEMENT
Rukyat memerlukan verifikasi untuk menghindari kemungkinan rukyat yang keliru. Hilal itu tipis sekali dan redup kemungkinan keliru sangat besar ada cahaya. Pikirannya itu hilal padahal belum tentu bisa jadi itu adalah cahaya planet venus atau bintang kejora yang tertutup oleh awan tipis misalkan, atau mungkin saja awan tipis yang membentuk kemudian dikira hilal.
Dan hisab tidak bisa menentukan awal bulan tanpa adanya kriteria. Saat ini semua ormas Islam sudah mempunyai ahli hisab bahkan sekarang banyak aplikasi di internet yang bisa didownload dan asal kita bisa menggunakan aplikasi tersebut hingga beberapa klik kita sudah mendapatkan informasi ketinggian bulan kemudian elongasi bulan berapa derajat.
Tetapi dengan informasi tersebut, apakah kita sudah bisa menentukan masuk bulan atau belum?
ADVERTISEMENT
Tidak bisa kita menentukannya, kecuali kita tahu kriterianya dan dalam kondisi seperti saat ini tinggi bulan di Indonesia itu sudah positif tetapi kurang dari 2 derajat secara umum kemudian elongasinya hanya sekitar 3 derajat bergantung pada kriterianya.
Kalau menggunakan kriteria wujudul hilal seperti dilakukan oleh Muhammadiyah sudah bisa ditentukan itu sudah wujud, maka besok sudah masuk 1 Ramadhan tapi kalau menggunakan kriteria imkan rukyat yang lebih dari 2 derajat atau sekarang lebih dari 3 derajat dan elongasi lebih dari 6,4 derajat tentu ini belum memenuhi kriteria.
Jadi hisab tidak bisa menekan masuknya awal bulan tanpa adanya kriteria dan kriteria ini menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab tetapi dapat digunakan untuk prakiraan rukyat.
ADVERTISEMENT
Ini fungsi kalender saat ini bukan hanya untuk menghitung kapan masuknya awal bulan tetapi bagi para pengamal rukyat ini juga bisa digunakan untuk memperkirakan apakah rukyat dimungkinkan atau tidak.
Nah, kriteria apa yang perlu diadopsi? Ini penting bagi pemerintah dan bagi para ormas Islam kriteria itu harus didasarkan pada dalil syar'i . Dalil yang umum itu menunjukkan bahwa hisab yang digunakan dan kriteria yang dijadikan dasar itu adalah pada saat magrib pada rukyat.
Dan dalam praktik kita juga mengenal awal bulan atau awal hari dimulai dari magrib karena didasarkan pada rukyat yang biasa dilakukan pada saat maghrib dan dalam budaya kita, kita sudah mengenal itu.
Hari ini hari Jumat mulai magrib nanti disebut malam Sabtu itu adalah konsep islam dalam mengawali hari yang dimulai dari maghrib.
ADVERTISEMENT
Dan juga mestinya kriteria didasarkan pada kajian-kajian astronomis bukan 1, 2, 3 pengamatan saja, tetapi sedapat mungkin itu pengamatan yang bersifat global dan jangka panjang. Kriteria harus mengupayakan adanya titik temu antara pengamal rukyat dan pengamal hisab.
Selama ini masing-masing hanya memperhatikan dalilnya sendiri-sendiri. Yang pengamal ruyat dengan wujudul hilal menggunakan dalilnya sendiri. Tidak mungkin matahari itu ngejar bulan dan tidak mungkin malam mendahului siang.
Jadi ketika matahari mendahului atau mengejar bulan terbenam lebih dahulu itu yang dimaknai sebagai wujudul hilal. Tanpa memperhatikan rukyat menggunakan dalil apa, demikian juga pengamalan mungkin tidak memperhatikan dalil hisab yang digunakan oleh pengamat rukyat.
Saat ini masanya kita cari kriteria yang bisa menjadi titik temu dan tentu harus kita sepakati bersama. Kriteria itu sifatnya ijtihad tidak ada yang benar jadi ya sebagai hal yang ijtihadi kita mestinya bisa mengkompromikan untuk mencari titik temu.
ADVERTISEMENT
Sedikit mengulas terkait dengan wujudul hilal. Kriteria sederhana karena hanya mendasarkan pada syarat minimal terjadinya bulan terbenam lebih lambat daripada matahari.
Asumsinya saat matahari terbenam piringan atas bulan itu masih menyembul di atas ufuk walaupun tentu saja piringan atas ini tidak menunjukkan adanya hilal karena tidak mendapatkan cahaya. Yang mendapatkan cahaya adalah bagian yang menghadap ke arah matahari dan dalam posisi yang terlalu dekat dengan matahari justru cahaya yang membentuk hilal itu tidak wujud.
Kriteria wujudul hilal walaupun merujuk pada konsep posisi hilal di atas ufuk pada waktu magrib tidak mempertimbangkan fisik hilal dan faktor gangguan cahaya syafaq. Itu sebabnya konsep wujudul hilal yang penting walaupun tidak hanya 1 menit
ADVERTISEMENT
Terbenamnya matahari dan bulan itu sudah dianggap wujud tetapi sesungguhnya hilalnya itu tidak wujud, cahayanya tidak tampak. Nah, kriteria wujudul hilal ini tidak mungkin diterima oleh pengamat imkan rukyat karena hilal dekat ufuk tidak mungkin teramati atau terdeteksi dengan alat apa pun.
Ini mestinya harus jadi pertimbangan bahwa kriteria itu mestinya menjadi titik temu. Tetapi kalau kriteria hanya sepihak ini yang akan menjadi masalah dan menjadi sumber perbedaan.
Nah bagaimana kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal, kriteria terkait dengan visibilitas hilal, dalam astronomi data pengamal rukyat jangka panjang itu dimanfaatkan untuk membuat kriteria dan dua parameter yang dilakukan, adalah parameter fisis hilal atau keterangan hilal ini biasa yang digunakan adalah umur hilal, tebal hilal, dan jarak bulan dan matahari atau elongasi.
ADVERTISEMENT
Sedangkan parameter gangguan cahaya syafaq tersebut adalah ketinggian hilal atau beda terbenam bulan matahari atau bisa dilihat dari beda azimutnya.
Nah, kriteria lama MABIMS ini digunakan sejak tahun 1990-an sudah hampir 30 tahun itu mensyaratkan minimal dua derajat elongasi 3 derajat umur bulan 8 jam.
Sejak tahun 2018 ini sudah mulai dikritisi oleh anggota MABIMS bahwa kriteria ini terlalu rendah secara astronomis. Tidak ada kriteria rukyat global sekitar 2 derajat bisa diamati karena cahaya syafaqnya masih cukup kuat.
Elongasi 3 derajat juga masih terlalu dekat dengan matahari tidak mungkin itu terjadi pada saat hilal sangat tipis dan redup. Kemudian umur 8 jam juga ini terlalu muda, data astronomi itu mengatakan umur termuda yang bisa diamati itu 13 jam.
ADVERTISEMENT
Kemudian pertemuan MABIMS itu mengusulkan untuk diubahnya kriteria yang lama atau sering disebut dengan kriteria dua tiga delapan.
Kriteria apa yang mesti dibentuk? Tahun 2004 ada fatwa majelis ulama nomor dua, di dalamnya terdapat fatwa untuk penetapan Ramadhan, awal Syawal, Zulhijjah, di dalamnya disebutkan bahwa awal penentuan ditentukan dengan rukyat dan hisab dan fatwa tersebut difatwakan wajibnya ummat Islam untuk mengikuti pemerintah.
Di akhir fatwa ada rekomendasi agar MUI mengupayakan adanya kriteria penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah untuk dijadikan pedoman Menteri Agama dan dibahas bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.
Saat ini sudah 18 tahun belum ada hasil dari rekomendasi tersebut. Namun bukan berarti tidak ada upaya, pada tahun 2015 ini menjelang munas MUI di Surabaya, Kemenag memfasilitasi pertemuan para pakar dalam halaqoh penentuan metode penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah.
ADVERTISEMENT
Dan halaqah tersebut kemudian diputuskan dibentuk tim pakar astronomi, pada waktu itu saya ditunjuk sebagai Ketua Tim Pakar Sstronomi kemudian pakar ini bekerja menyusun naskah akademik untuk diusulkan ke Munas MUI di Surabaya untuk kriteria baru pada waktu itu diusulkan tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Nah kriteria MABIMS itu dasarnya apa? Jadi tadi disebutkan kriteria itu mestinya menggambarkan kondisi fisis bulan dalam menghadapi cahaya syafaq, dari data global dari publikasinya di tahun 2006, itu disebutkan bahwa elongasi minimal 6,4 derajat.
Nah itu menunjukkan, jarak paling dekat dengan matahari yang memungkinkan hilal bisa teramati, artinya tidak terlalu tipis, dan dari data analisis hisab selama 180 tahun untuk titik uji di Banda Aceh dan Pelabuhan Ratu itu menunjukkan dengan elongasi 6,4 derajat itu secara umum bulan setidaknya di Indonesia itu sudah di atas ufuk.
ADVERTISEMENT
Jadi angka 6,4 ini bukan angka yang tidak berarti tapi memiliki makna fisis. Kemudian ada yang bertanya kenapa angka 6,4 tidak dibulatkan saja menjadi 6 atau 7 derajat, nah ini untuk menjaga originalitas karena ini merujuk pada makalahnya ODED pada tahun 2006.
Nah kemudian bagaimana dengan ketinggian alasan apa yang digunakan untuk mengusulkan ketinggian 3 derajat?
Dari berbagai makalah pengamatan rukyat secara global antara lain Ilyas tahun 1988 kemudian dari makalah tahun 2001 yang bawah itu tidak menunjukkan adanya rukyat yang sahih yang tingginya di bawah 3 derajat. Oleh sebab itu diusulkan minimal 3 derajat.
Alasan fisis ya apa? Di bawah 3 derajat itu cahaya syafaq masih cukup kuat, hingga tidak mungkin hilal yang tipis itu bisa mengalahkan cahaya yang kuat.
ADVERTISEMENT
Jadi alasan 3 derajat itu didasarkan pada faktor gangguan cahaya syafaq sedangkan elongasi 6,4 derajat didasarkan pada alasan fisis itu adalah batas terdekat dengan matahari yang memungkinkan hilal bisa dilihat.
Jadi angka 3 dan 6,4 bukan ditentukan secara sembarang tapi ada alasan fisisnya.
Nah, ini gambaran kriteria tersebut. Jadi di sekitar matahari itu digambarkan membentuk satu setengah lingkaran dengan diameter 6,4 derajat.
Maksudnya apa, pada lingkup 6,4 derajat ini cahaya dari matahari itu masih cukup kuat kemudian pada jarak yang kurang dari 6,4 itu terlalu tipis terlalu redup tidak mungkin bisa diamati.
Sedangkan di kanan kiri dari titik matahari terbenam ini ada batas 3 derajat. Nah batas tiga derajat ini menunjukkan bahwa cahaya syafaq itu masih cukup kuat dan tidak mungkin dikalahkan dengan cahaya hilal yang masih sangat tipis.
ADVERTISEMENT
Nah apakah buktinya ada untuk kriteria ini? Buktinya ada, pada saat Ramadhan 1440 H yang lalu ada kesaksian hilal ini pada gambar yang kanan bawah, ini gambar dengan menggunakan teleskop dan kamera.
Ini hilal tipis sekali, sudah diperbesar juga cuma goresan tipis. Barangkali yang melihat tidak meyakini itu hilal. Itu hilal cukup tinggi, tingginya sekitar 4 derajat, elongasinya sekitar 6 derajat, dan itu teramati di Madinah.
Kita bayangkan kalau data-data sebelumnya orang mengaku tinggi hilal hanya 2 derajat, itu tidak mungkin membentuk garis, bagaimana meyakinkan itu hilal, padahal cahaya syafaqnya masih cukup kuat.
Jadi terbukti jika posisinya mendekati limit pada kriteria tersebut, tingginya 4 derajat kemudian elongasinya sekitar 6 derajat dan ini di Madinah.
ADVERTISEMENT
Nah kemudian terkait dengan alat bantu dan juga kontras, apakah dengan menggunakan teleskop kita bisa melihat hilal yang redup dan mengalahkan cahaya syafaq? Teleskop itu fungsinya untuk mengumpulkan cahaya ketika menghadapkan pada cahaya hilal, cahayanya cukup kuat, tetapi cahaya syafaqnya juga diperkuat.
Akhirnya hilal yang tipis tersebut tidak bisa diamati dengan teleskop perlu filter, tetapi filternya belum bisa ditemukan karena cahaya matahari dan cahaya syafaq itu sama-sama memamcarkan cahaya gelombang yang mirip antara kuning dan merah.
Sehingga belum ada filternya, kalau bulan sabit siang hari para astronom sudah bisa menggunakan filter inframerah, untuk menyerap cahaya biru langit tetapi meneruskan cahaya hilal yang tipis.
Sehingga pada saat ijtima, matahari itu masih bisa dipotret. Menggunakan filter inframerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Nah kemudian upaya apa yang sudah dilakukan? Pada tahun 2017 setelah tahun 2015 itu ada pertemuan teknis tahun 2017 ada seminar international fikih falak.
Di dalamnya diusulkan 3 hal, pertama kriteria seperti yang sudah disepakati serikat MABIMS yaitu minimal 3 derajat elongasi 6,4 derajat kemudian ditambah juga dengan otoritas dan juga batas tanggal.
Nanti akan saya jelaskan bahwa untuk membentuk suatu sistem kalender yang mapan itu diperlukan tiga syarat. Yaitu harus ada kriteria tunggal, harus ada otoritas, dan harus ada tanggal untuk kalender yang bersifat global.
Mengapa saat ini kalender Islam belum bisa terwujud. Karena 3 syarat itu belum bisa terpenuhi.
Kriteria masih bermacam-macam masing masing ormas masih memiliki kriteria. Kemudian otoritasnya pun ulil amri-nya masih bermacam-macam. Serikat otoritas kemudian mengumumkan hasil masing-masing.
ADVERTISEMENT
Nah ini tahun 2019 juga ada pertemuan pakar falak MABIMS ini menegaskan perlunya perubahan kriteria MABIMS yang lama itu menggunakan kriteria yang baru dan lahirnya kriteria MABIMS yang ditandatangani oleh Pak Menteri dan 3 menteri lainnya, Brunei, Malaysia, pada 3 Maret itu, pada 8 Desember 2021 itu punya perjalanan panjang.
Dimulai dari kajian-kajian tahun 2010 kemudian ada ormas yang sudah mengadopsinya tahun 2011 kemudian ada pertemuan MABIMS tahun 2015 dan seterusnya kemudian 1443 H sudah mengadopsi kriteria ini.
Kemudian Singapura juga melakukan mendeklarasikan menerapkan kriteria ini sehingga Malaysia dan Singapura itu sudah mengumumkan di media massa bahwa awal Ramadhan-nya 3 April dan nanti Idul Fitri-nya 3 Mei dengan menggunakan kriteria baru.
ADVERTISEMENT
Ini yang ditanda-tangani oleh para menteri, salah satunya Menteri Agama Indonesia itu mengatakan menerima melaksanakan dari kriteria rukyat yang baru setinggi 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Kemudian Dirjen Islam membuat edaran kepada semua para pihak terkait dengan penerapan kriteria yang baru.
Nah, bagaimana posisi hilal pada 1 April hari ini, dari perhitungan astronomi ternyata tinggi bulan itu hanya untuk wilayah Jakarta itu hanya 1 derajat ini kurang dari 2 derajat. Ini kriteria yang lama, kriteria yang lama pun masih kurang. Jadi kalau digambarkan posisi hilal itu ada di sebelah kiri, kira-kira di bawah gambar 6,4 itu ya.
Jadi sebelah kiri tingginya hanya sekitar 2 derajat lebih, kemudian elongasinya hanya sekitar 3 derajat.
ADVERTISEMENT
Jadi tidak mungkin hilal yang sangat tipis itu mengalahkan cahaya syafaq apalagi terlalu dekat dengan matahari.
Nah, inilah gambaran terkait dengan peta hilal 1443 H kalau peta yang sebelah kiri ini menunjukkan bahwa posisi ketinggian hilal itu secara umum kurang dari 2 derajat.
Hanya wilayah Sumatera dan sebagian Jawa yang dua derajat jadi kalau pun menggunakan kriteria lama ini hanya sekitar wilayah Jawa dan wilayah Sumatera tapi sekarang menggunakan kriteria minimal 3 derajat jadi belum memenuhi kriteria.
Kemudian yang sebelah kanan ini lebih rinci lagi di ketinggian 3 derajat hanya di wilayah Jawa dan sebagian Sumatera.
Dan ini peta kalau kita membuat garis tanggal dan kita bisa menjelaskan secara umum apa yang sesungguhnya terjadi. Peta yang sebelah kanan antara arsir merah dan putih itu adalah peta garis tanggal wujudul hilal.
ADVERTISEMENT
Dari sini bisa dipahami bahwa Muhammadiyah itu memutuskan Indonesia sudah mengalami wujudul hilal pada saat magrib nanti.
Sehingga Muhammadiyah dalam maklumatnya sudah mengumumkan 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 2 besok.
Nah tetapi kalau menggunakan kriteria imkan rukyat MABIMS yang baru itu yang bawah lengkung atas menunjukkan 3 derajat, lengkung tengah itu menunjukkan elongasi 6,4 dan lengkung bawah 3 derajat. Ini menunjukkan Indonesia yang sebelah kanan jauh dari kriteria MABIMS yang baru.
Artinya di Indonesia hilal masih terlalu rendah dan tidak mungkin mengalahkan cahaya syafaq, sehingga tidak mungkin terlihatnya hilal.
Bagaimana kalau nanti ada yang menyaksikan hilal atau ada yang mengaku melihat hilal? Kalau berdasarkan kriteria ini secara astronomis itu bisa diduga yang dilihatnya bukan hilal. Jadi tentu saja dengan menggunakan analisis astronomi ini mestinya kesaksian hilal ini ditolak.
ADVERTISEMENT
Tentu saja nanti kita putuskan pada saat sidang isbat, tapi inilah data astronomis yang seharusnya menjadi pertimbangan kita semua.
Nah bagaimana terkait dengan unifikasi Kalender hijriah? Tahun 2007, saya masih ingat Pak Wapres Jusuf Kalla pada waktu itu mengupayakan adanya penyatuan setidaknya ormas ormas Islam yang besar.
Dan waktu itu saya juga diundang pada waktu itu oleh Menteri Agama kira-kira apa yang harus dilakukan untuk menyatukan ormas-ormas tersebut.
Saya katakan untuk menyatukan adalah untuk menyatukan kriterianya dalam pandangan Jusuf Kalla pada waktu itu polanya dengan pola dagang saja. Kalau Muhammadiyah dengan wujudul hilal 0 derajat kemudian NU menggunakan 2 derajat, Pak Jusuf Kalla dulu di media mengatakan kenapa kita tidak sepakat saja menggunakan kriteria 1 derajat.
ADVERTISEMENT
Jadi seolah-olah seperti tawar-menawar antara 0 dan 2, tetapi sesungguhnya bukan seperti itu tapi kemudian kita masing-masing ajak maju dari wujudul hilal maju kemudian dari 2 derajat juga maju.
Itu yang sekarang diusulkan maju ke 3 derajat, dari 2 ke 3, elongasi juga diperhitungkan 6,4 derajat ini adalah kriteria baru MABIMS yang diupayakan menjadi titik temu.
Nah bagaimana menentukan kalender hijriah? Secara umum kriteria wujudunya, sistem kalender apa pun kalendernya, masih Jawa-China.
Harus ada kriteria tunggal, kalau beda pasti hasilnya beda. Ketiga kalender China ditentukan dari RRC negara lain tidak bisa menentukan.
Kalender Jawa dari keraton Yogya atau solo. Otoritasnya juga harus tunggal. Kalau orotitasnya masih seperti saat ini masing-masing ormas memiliki kriteria yang hasilnya beda-beda juga.
ADVERTISEMENT
Untuk yang sifatnya global ini 3 syarat ini juga mestinya harus terpenuhi.
Kemudian, bagaimana implementasi kriteria MABIMS ini itu kita menginginkan ada satu sistem kalender yang mapan. Sistem kalender yang mapan itu mestinya juga mengadopsi nilai-nilai yang lokal juga, ada ormas yang mengusulkan kriteria kalender global, dari Turki. Tapi markasnya di mana saja asalkan di Selandia Baru belum terbit fajar.
Yang jadi masalah ketika kriteria itu terpenuhi di benua Amerika, di wilayah Asia Tenggara itu tinggi bulan masih negatif atau tingginya masih 1 atau dua derajat.
Jadi tidak bisa diadopsi karena tidak mungkin diterima oleh pengamal rukyat karena tidak bisa dikonfirmasi dengan hasil rukyat.
Maka kemudian diusulkan dalam Jakarta itu menggunakan markas kawasan Barat Asia Tenggara dengan elongasi 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat dan tinggi 3 derajat jadi kriteria. Jakarta itu sesungguhnya adalah cara mengkompromikan dari kalender Islam Global ala Turki menjadi ala Asia Tenggara kira-kira seperti itu.
ADVERTISEMENT
Kemudian bagaimana untuk pengamal tadi diminta dari pengamal hisabnya supaya jangan menggunakan kriteria ala Turki tapi gunakan kriteria ala Asia Tenggara ini juga diimbau supaya tidak mengistikmalkan ketika dalam kondisi hilal sudah memenuhi kriteria.
Kasus yang lalu pada saat penentuan Rabiul Akhir 6 November yang lalu, ini menjadi pelajaran sudah memenuhi kriteria imkan rukyat MABIMS yang sebelah kiri tersebut tetapi kemudian sekian titik pengamatan tidak berhasil kondisi cuaca.
Maka kemudian Nahdlatul Ulama mengistiqmalkan pada waktu itu. Nah ini mestinya ketika kita bersepakat pada sistem kalender yang yang mapan ini mestinya tidak terjadi. Ada fatwa Majelis Ulama tahun 1981 yang menyatakan apabila para ahli hisab sudah menyatakan Hilal itu bisa teramati memenuhi kriteria imkan rukyat walaupun Hilal itu tidak teramati maka bisa dijadikan penentu.
ADVERTISEMENT
Nah ini nah, hal ini bisa kita jadikan kajian untuk penentuan awal Syawal karena awal Syawal nanti ini. Ada hal yang krusial apakah awal salat Idul Fitri nanti kita bersiap perbedaan antara tanggal 2 dan 3 Mei, tapi tidak bersepakat pada tanggal 2 bergantung pada komitmen kita bersama.
Saya kira itu hal-hal penting yang bisa kita lakukan bahwa implementasi rekomendasi di Jakarta 2007 ini mestinya bisa membawa kesatuan dengan komitmen bersama antara pengamal rukyat dan pengawalan hisab antara ormas-ormas yang mendasarkan pada Iya dan ormas-ormasnya mendasarkan pada rukyat dan juga ormas oleh mendasarkan pada hisab pada komitmen bersama untuk bisa menyetujui kriteria yang sama kemudian juga menyetujui otoritas yang sama demikian. Terima kasih. Assalamualaikum.
ADVERTISEMENT