Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Penjelasan Mendagri Tito soal Pilkada Serentak 2024 Bakal Maju September
5 September 2023 14:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Mendagri Tito Karnavian memberikan penjelasan terkait usulan Pilkada Serentak 2024 yang akan dimajukan ke bulan September. Jika merujuk UU, Pilkada baru digelar pada 27 November 2024.
ADVERTISEMENT
Tito mengatakan, wacana memajukan Pilkada mencuat dari diskusi dari partai politik, pengamat, dan perwakilan pemerintah. Dari diskusi itu, muncul satu permasalahan jika Pilkada Serentak tetap digelar 27 November.
"Filosofi dari UU 10/2016 tentang Pilkada, serentak 552 daerah 38 provinsi, 98 kota, 416 kabupaten itu serentak semua, pertama kali dalam sejarah bangsa Indonesia, serentak dilaksanakan dengan maksud di tahun yang sama dengan pemilihan presiden dan wakil presiden dan legislatif agar terjadi kesamaan masa jabatan," kata Tito di gedung Kemendagri, Jakarta, Selasa (5/9).
"Yang sebelum ini, kita lihat misalnya Pak Jokowi dilantik Oktober 2014. 2017 ada Pilkada 101 daerah, setelah itu ada lagi Pilkada 2018, ada bupati, gubernur baru di tengah-tengah dengan membuat rencana pembangunan 5 tahun yang mereka sendiri," jelas Tito.
ADVERTISEMENT
"Akibatnya enggak sinkron, di lapangan ada yang bangun dermaga, di daerahnya enggak membangun jalanan, siripnya," tambah dia.
Eks Kapolri ini memberi contoh kasus ketidaksinkronan yang terjadi di Sumatera Utara. Peristiwa itu terjadi pada (3/12/2021). Ketika itu, warga Liang Melas Datas di Kabupaten Karo, Sumut, mengirim tiga ton jeruk kepada Presiden Jokowi.
"Ada yang bawa truk buah jeruk ke Presiden. Kenapa? Jalannya tidak dibangun oleh Bupati. Kenapa enggak sinkron rencana pembangunannya? Maka akhirnya timbullah ide untuk masa jabatan presiden dengan gubernur, bupati, walkot itu tidak jauh beda. Sehingga ini paralel," tutur dia.
Tito kemudian menyoal masalah dalam UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada. Pasal 201 ayat 7 menyebut, masa jabatan hasil Pilkada 2020 akan berakhir 2024. Artinya, 31 Desember 2024, hasil Pilkada 2020 harus harus diisi penjabat.
ADVERTISEMENT
"Risikonya begitu, kalau selain dilaksanakan 27 November menuju 1 Januari, apakah 552 [daerah] ini selesai dalam waktu 1 bulan? Pengalaman kita, ada sengketa, ada proses di KPU. Paling tidak sebagian selesai itu 3 bulan," kata Tito.
"Kalau mau 3 bulan, kalau dimundurkan, maka akan makin jauh jarak pelantikan presiden dengan kepada daerah. Kalau mau dekat, justru idenya dari teman-teman loh ya, dari teman-teman parpol, dari pengamat, justru dimajukan. Dimajukan ke 3 bulan dari 1 Januari. Dihitunglah Desember, November, Oktober, Septemberlah the right time," tambah dia.
Eks Kapolda Metro Jaya ini menyebut, jika Pilkada tetap digelar November, kemungkinan pelantikan kepala daerah tidak akan serentak. Padahal, tujuan Pilkada digelar serentak adalah agar pelantikan kepala daerah dilakukan serentak.
ADVERTISEMENT
"Sampai Januari supaya enggak Pj semua se-Indonesia. Pj itu punya kewenangan terbatas ada 4 yang enggak boleh, beda dengan definitif, legitimasi juga kalau dipilih rakyat akan kuat. Jadi idenya teman-teman dari kita ngobrol-ngobrol [dimajukan] ke September," kata Tito.
Lebih jauh, Tito mengatakan rencana untuk memajukan Pilkada ke September masih terus dibahas, termasuk dengan KPU. Namun, sejauh ini, Tito mengatakan KPU bisa menjalankan Pilkada dengan lancar jika akhirnya dimajukan ke September.
"Kita tahu kalau ada ronde kedua Pilpres itu bulan Juni sehingga tahapan bisa berlangsung sehingga September pemungutan suara," kata Tito.
"Ketika 31 Desember seluruh kepala daerah hasil Pilkada 2020 mereka selesai, maka 1 Januari sudah diisi pejabat definitif hasil Pilkada 2024 dan itu enggak jauh beda dengan pelantikan presiden Oktober, hanya beda 2 bulan sehingga mereka bisa paralel. Jadi sistem pemerintahan kita lima tahun ke depan akan lebih sinkron," tutup Tito.
ADVERTISEMENT