Penjelasan Prof Kuwat soal GeNose: Alasan Tes Murah; Sempat Diragukan Menhub

6 Februari 2021 8:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para penumpang meniup kantong plastik untuk mengambil sampel udara yang akan diuji menggunakan GeNose di sebuah stasiun kereta api di Jakarta, Indonesia, Rabu (3/2). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Para penumpang meniup kantong plastik untuk mengambil sampel udara yang akan diuji menggunakan GeNose di sebuah stasiun kereta api di Jakarta, Indonesia, Rabu (3/2). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
ADVERTISEMENT
Alat pendeteksi corona buatan UGM, GeNose, mulai digunakan publik. Alat tersebut sudah mendapatkan izin edar dari Kemenkes pada akhir Desember 2020.
ADVERTISEMENT
Alat ini sudah mulai diuji coba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, pada Rabu (3/2). GeNose rencananya juga akan digunakan di Stasiun Tugu Yogyakarta.
Tarif uji coba GeNose pun terbilang murah, yaitu Rp 20.000 per pemeriksaan. Mengapa semurah itu?
Ketua Peneliti GeNose Prof Kuwat Triyana mengatakan, harga itu telah disesuaikan dengan harga alat dan juga plastik yang digunakan untuk tes.
"Harga alat kalau tidak keliru HET Rp 62 juta. Tapi yang di pasar online ada Rp 92 juta. Jadi 20 ribu itu rinciannya dari peneliti begini, yang dibutuhkan plastik," kata Kuwat di Live Corona Update kumparan, Jumat (5/2).
Petugas mengetes kantong nafas milik penumpang menggunakan alat pendeteksi corona GeNose di sebuah stasiun kereta api di Jakarta, Indonesia, Rabu (3/2). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
Adapun plastik yang dimaksud adalah untuk menampung udara yang ditiupkan oleh pihak yang akan dites.
ADVERTISEMENT
"Estimasi plastik sama satu lagi hepa filter untuk menyaring virus tadi biar tidak ke mana-mana itu kalau ditotal per pengujian mungkin sekitar Rp 10-20 ribu," kata dia.
Namun demikian, harga tersebut adalah perkiraan dari tim peneliti. Belum masuk ke perhitungan bisnis, mulai dari pengoperasian hingga pelayanan.
"Kan di-upgrade dari situ kan harga pelayanan tadi. Sehingga ketemu rekomendasi harga kisaran Rp 15-25 ribu itu sudah kami hitung dan mudah-mudahan tidak rugi dengan harga segitu," kata dia.
"Plus pengujian yang ditetapkan Rp 20 ribu atau Rp 25 ribu itu sebetulnya sudah beli alatnya saja kembali modal dalam sebulan. Kalau hitungan bisnis begitu," sambungnya.
GeNose diklaim mampu menskrining virus corona dengan waktu yang cepat, murah, tapi juga akurat. Namun, banyak pihak menyebut GeNose tidak akurat jika orang yang dites sebelumnya makan jengkol atau merokok.
Sejumlah penumpang memberikan kantong plastik berisi sampel udaranya untuk diuji menggunakan alat pendeteksi corona GeNose di sebuah stasiun kereta api di Jakarta, Indonesia, Rabu (3/2). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
Kuwat pun memberikan penjelasan. Ia menjelaskan, dari uji diagnostik GeNose memang didapati hasil invalid pada orang yang sebelumnya mengkonsumsi jengkol atau merokok. Namun, hasil itu tidak semua invalid.
ADVERTISEMENT
"Beberapa data menunjukkan tren invalid," ujarnya.
Untuk itu demi hasil yang maksimal, maka solusinya seseorang yang hendak dites memakai GeNose disarankan untuk tidak merokok maupun mengkonsumsi jengkol.
"Solusinya bagaimana? Kalau solusinya saya harus bongkar alat, kelamaan, tidak bisa dipakai. Solusinya, jangan merokok satu jam atau setengah jam sebelum dites, kan mudah sekali," katanya.
Hal ini sebetulnya sama dengan saat ketika seseorang hendak tes darah.
"Seperti kalau kita tes darah, kan sama jangan makan apa-apa sebelum dites," ujar Kuwat.
Seorang penumpang meniup kantong plastik untuk mengambil sampel udara yang akan diuji menggunakan GeNose di sebuah stasiun kereta api di Jakarta, Indonesia, Rabu (3/2). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
"Ini barang (soal jengkol dan rokok) simpel, kalau di media jadi rumit sekali," katanya.
Lebih lanjut, pengembangan GeNose masih akan terus dilakukan. Kuwat menjamin ketersediaan layanan servis hingga suku cadang GeNose.
ADVERTISEMENT
"Ketika sebelum mendapatkan izin edar itu namanya uji diagnostik pre market. Setelah sekarang memasuki pasar kami itu sudah mulai melakukan uji diagnostik post market juga. Bahkan nanti kita akan melakukan uji independen, akan menyebarkan beberapa unit ke beberapa wilayah yang itu mewakili etnis," ujarnya.
"Memang enggak berhenti ini. Bukan berarti barang sudah di masyarakat kita diam, enggak," ujarnya.
Soal pelayanan servis, pihaknya juga tengah mempersiapkannya. Salah satunya dengan menggandeng jaringan servis yang luas.
"Bahkan sekarang yang sedang sibuk bagaimana menyiapkan tempat repair kalau ada kerusakan kecil. Dan itu sudah kita, ternyata di Indonesia sudah ada jaringan servis dan itu tidak bikin sendiri, kita manfaatkan yang sudah ada," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Jaringan servis yang diajak kerja sama ini menurut Kuwat hanya perlu dilatih. "Kemudian kita training dan ke depan bisa menjadi supporting team bagi GeNose ketika sudah deployed di masyarakat," katanya.

Cerita di Balik Izin Edar GeNose hingga Dapat Dukungan BIN

Meski demikian, bukan hal yang mudah untuk mendapatkan izin edar dari Kemenkes. Kuwat bercerita pengajuan izin edar ke Kemenkes sempat ditolak.
Petugas mengetes kantong nafas milik pegawai PT KAI (Persero) dengan GeNose C19 di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (23/1). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
"Syarat minimal dites kita tetapkan 1.460. Ada hitung-hitungannya. Singkat cerita dari 2 bulan kita mendapatkan data lebih dari itu, sekitar 1.500, dari situ kita ajukan izin edar ke Kemenkes ditolak," ungkap Kuwat.
Setelah izin edar ditolak, Kuwat kembali mengajukan izin edar GeNose ke Kemenkes 2 minggu kemudian. Ia mengungkapkan harus presentasi di hadapan Kemenkes. Ia bahkan mengibaratkan presentasi itu seperti ujian disertasi.
ADVERTISEMENT
"Nah kemudian 2 minggu berikutnya dari saran ditolak itu maju lagi presentasi. Seperti ujian skripsi, mungkin ngeri lagi, ujian disertasi," ungkapnya.
Namun kabar baiknya, GeNose akhirnya mendapatkan izin edar. Ia juga menyebut tidak ada orang Kemenkes yang menjadi reviewer GeNose, sehingga prosesnya benar-benar independen.
Kuwat pun bercerita bagaimana Menhub Budi Karya Sumadi awalnya tidak percaya dengan kemampuan GeNose mendeteksi virus corona. Ia dan tim kemudian pergi ke Jakarta untuk menjelaskan langsung kepada Menhub Budi Karya.
Petugas mengetes kantong nafas milik pegawai PT KAI (Persero) dengan GeNose C19 di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (23/1). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
"Dari izin edar itu kita berjuang lagi dan suatu ketika saya itu dikasih tahu Pak Menhub sekarang ini, dengar-dengar Pak Menhub enggak percaya GeNose," ceritanya.
"Terus saya langsung ke Jakarta sama Dokter Dian, langsung menjelaskan ke beliau sekaligus mampir memberikan pelatihan ke BIN," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Di hadapan Menhub, Kuwat dan Dian mempresentasikan dan mendemokan GeNose. Setelah itu, mereka pulang melalui jalur darat menggunakan mobil pribadi. Di tengah jalan, kabar baik pun muncul.
"Baru sampai rest area saya diberi tahu dari PT KAI bahwa ada memo dari Pak Menhub segera mengimplementasikan (GeNose) di stasiun. Itu belum sampai ke Yogya," ungkapnya.
Menko Marves Luhut Panjaitan dan Menhub Budi Karya Sumadi saat meninjau penggunaan GeNose di Stasiun Pasar Senen, Sabtu (23/1). Foto: Kemenhub RI
Di satu sisi, Kuwat terkejut dengan keputusan berani Menhub. Dia pun langsung rapat dengan KAI begitu sampai Yogyakarta.
"Dari penjelasan kita, beliau langsung memberikan keputusan sangat berani. Akhirnya kita pulang dan selang beberapa hari kita rapatkan, kita integrasikan sistem di KAI dengan sistem kami," ujarnya.
"Kemudian sekarang kalau penumpang melakukan pengetesan dengan GeNose di stasiun itu di buktinya ada simbol GeNose, ada simbol KAI, dan barcode identitas orang tersebut. Kemudian ada keputusannya dia negatif atau positif. Itu yang detik ini terjadi," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Kuwat juga berterimakasih dengan BIN yang tanpa koar-koar mendukung pengembangan GeNose. Terutama dari segi pendanaan.
"Terima kasih sekali BIN yang secara tidak ramai-ramai langsung men-support finansial kepada kami, sehingga kami bisa memproduksi di tahap awal," ujarnya.
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kemenristek Ali Ghufron Mukti menyambungkan kantong berisi hembusan nafasnya dengan alat GeNose C19 di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (7/1/2021). Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
Cerita lainnya, rupanya GeNose sempat diniatkan untuk tujuan nonmedis, termasuk mendeteksi kehalalan. Sebelumnya, GeNose bernama Electronic Nose atau Enose. Pada 2008, alat ini sudah masif pengembangannya.
"Saya cerita tentang asal mulanya, jadi electronic nose atau hidung elektronik ini sudah kita teliti sejak 2008. Kemudian kita lanjut untuk aplikasi waktu itu hanya yang sederhana untuk nonmedis, sampai termasuk deteksi halal," ungkap Kuwait.
Setelah itu, Enose ini juga sempat menjadi aplikasi deteksi narkotika atau narkoba. Saat itu pengembangannya bersama dengan Mabes Polri.
ADVERTISEMENT
"Karena dulu banyak kerja sama dengan Mabes Polri untuk metode deteksi narkoba kemudian kita lanjut kepada deteksi medis baru 2016," ujarnya.
Pada tahun 2016 inilah, Enose ini mulai masuk ke dunia medis. Bersama Fakultas Kedokteran UGM Enose digunakan untuk deteksi tuberkulosis atau TBC. Saat itu di Belanda alat serupa juga mulai dikembangkan untuk mendeteksi TBC.
"Awal aplikasi GeNose ini awal masih Enose kita awal ada aplikasi deteksi tuberkulosis atau TB. Kenapa TB menarik, karena kita nomor 3 juara, juara jelek, penderitanya paling banyak," kata Kuwat.
Ketika pandemi melanda Indonesia pada Maret 2020, sebenarnya Kuwat telah menawarkan GeNose untuk skrining corona. Namun, belum mendapat respons.
"(Kasus) pertama di Depok itu, kemudian tidak ada yang tertarik menggunakan GeNose karena dianggap teknologi yang tidak bermakna atau tidak berfungsi," katanya.
ADVERTISEMENT
Namun pada bulan April 2020, Kuwat kembali bertemu dr Dian Kesumapramudya Nurputra yang kemudian juga menjadi anggota peneliti. Mereka mengembangkan GeNose hingga mendapatkan izin edar pada Desember 2020.

Ingin Tiap Puskesmas Punya 1 GeNose untuk Skrining dan Minta GeNose Tak Dibeli untuk Individu

ADVERTISEMENT
Ada satu cita-cita Kuwat dengan kehadiran GeNose, yaitu setiap puskesmas di Indonesia memiliki satu alat GeNose untuk skrining. Kuwat mengatakan, jika 10 ribu GeNose memiliki masing-masing satu alat dan setiap harinya bisa melakukan 200 tes, maka jumlah skrining di Indonesia bisa mencapai 2 juta orang per hari.
Petugas mengetes kantong nafas milik pegawai PT KAI (Persero) dengan GeNose C19 di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (23/1). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
"Kalau kita ada 10 ribu alat atau 20 ribu GeNose, tinggal dikalikan 200 jadi 10 ribu kali 200 jadi 2 juta. Jadi sehari bisa menguji 2 juta orang itu luar biasa," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
"Sehingga orang-orang yang positif bisa segera ditangani, yang negatif COVID bisa beraktivitas dengan kewaspadaan," kata dia.
Lebih lanjut, rupanya banyak rumah sakit yang tertarik membeli GeNose. Selain instansi kesehatan, rupanya ada masyarakat yang tertarik membeli GeNose untuk pemakaian pribadi. Kuwat pun menyarankan alat ini tidak boleh dibeli perorangan.
"Maka dari itu, kami tidak menyarankan alat ini dibeli perorangan. Sehingga cita-cita kita tidak tercapai. Kalau perorangan, kan, hanya dipakai sekali dua kali," ungkapnya.
Kuwat juga mengingatkan jangan sampai GeNose ini dijual dengan harga yang mahal demi kepentingan pribadi. Jika harga jual GeNose mahal sampai Rp 90 juta, maka cita-cita dan tujuan hadirnya GeNose akan berbeda.
"Kita pengin yang melakukan testing yang banyak skrining, yang cepat, banyak massal sehingga orang OTG bisa diam diri dulu sampai sembuh sehingga tidak menularkan ke mana-mana. Kalau itu dimiliki pribadi, cita-cita itu tidak tercapai," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kuwat mengaku masih belum mau memikirkan hukuman apa yang pantas diberikan kepada masyarakat yang membeli GeNose untuk kepentingan pribadi. Ia menyerahkan masalah tersebut ke pihak yang lebih berwenang.
"Peneliti itu pikirannya harus ke depan meneliti apa, meneliti apa. Urusan seperti itu biar ada yang mengurusi sendiri. Pikiran jadi enak," pungkasnya.