Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
KPK menetapkan empat tersangka baru dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Mereka ialah eks anggota DPR Miryam S Haryani, eks Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, mantan Ketua Tim Teknis e-KTP sekaligus PNS BPPT Husni Fahmi, dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menduga 4 tersangka itu terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 2,6 triliun itu.
"Dalam perkembangan proses penyidikan dan setelah mencermati fakta-fakta yang muncul di persidangan hingga pertimbangan hakim, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang keterlibatan pihak lain," ujar Saut dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (13/8).
Saut pun merinci peran dari masing-masing tersangka:
Miryam yang dipenjara 5 tahun karena memberikan kesaksian palsu di sidang kasus e-KTP, diduga menerima uang senilai USD 100 ribu selama proyek itu berlangsung.
Miryam meminta uang kepada Irman yang saat itu menjadi Dirjen Dukcapil Kemendagri. Miryam menerima uang itu setelah sebelumnya meminta ke Irman usai RPD antara Komisi II DPR dengan Kemendagri pada Mei 2011.
ADVERTISEMENT
"MSH (Miryam -red) meminta USD 100.000 kepada Irman untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II ke beberapa daerah," kata Saut.
'Permintaan itu disanggupi dan penyerahan uang dilakukan di sebuah SPBU di Pancoran, Jakarta Selatan melalui perwakilan MSH," lanjutnya.
Miryam kemudian meminta lagi ke Irman dengan kode 'uang jajan'. Miryam meminta uang itu mengatasnamakan rekan-rekannya di Komisi II DPR yang akan reses.
"Sepanjang tahun 2011-2012, MSH diduga juga menerima beberapa kali dari Irman dan Sugiharto dan Sugiharto (anak buah Irman)," ucap Saut.
Sehingga menurut Saut, Miryan diduga diperkaya USD 1,2 juta terkait proyek ini.
Isnu ditetapkan tersangka karena diduga memperkaya manajemen bersama konsorsium PNRI Rp 137,98 miliar dan Perum PNRI Rp 107,71 miliar dalam proyek e-KTP. Uang tersebut diduga merupakan hasil mark up proyek e-KTP.
ADVERTISEMENT
Peran Isnu bermula pada Februari 2011, saat ia dan pengusaha Andi Narogong (kini terpidana e-KTP) menemui Irman dan Sugiharto.
Kala itu, mereka meminta Irman dan Sugiharto memilih 1 dari 3 konsorsium -saat tender peserta lelang 5 konsorsium- yang terafiliasi dengan Andi Narogong sebagai pemenang lelang e-KTP.
"Atas permintaan tersebut, Irman menyetujui dan meminta komitmen pemberian uang kepada anggota DPR," ucap Saut.
Selanjutnya, Isnu, Paulus Tannos, dan perwakilan vendor-vendor lainnya sepakat membentuk Konsorsium PNRI.
"Pemimpin konsorsium disepakati berasal dari BUMN yaitu PNRI agar mudah diatur karena dipersiapkan sebagai konsorsium yang akan memenangkan lelang e-KTP," kata Saut.
Dalam perjalanan, Anang Sugiana (terpidana e-KTP) selaku Direktur Utama PT Quadra Solution ingin bergabung di konsorsium PNRI. Mendengar keinginan itu, Andi Narogong, Paulus Tannos, dan Isnu menyampaikan apabila Anang ingin bergabung, maka harus bersedia memberikan komitmen fee untuk pihak DPR, Kemendagri, dan pihak lain.
ADVERTISEMENT
Isnu juga sempat menemui Husni untuk konsultasi masalah teknologi, dikarenakan BPPT sebelumnya melakukan uji petik e-KTP pada tahun 2009.
Kemudian Isnu bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pengerjaan dengan nilai sekitar Rp 5,8 triliun. Pada akhirnya, 30 Juni 2011, konsorsium PNRI dimenangkan sebagai pemenang proyek e-KTP.
Husni ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima USD 20 ribu dan Rp 10 juta dalam proyek ini.
Saat proyek belum dimulai, Husni diduga melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor. Padahal Husni merupakan Ketua Tim Teknis dan panitia lelang.
Setelahnya, pada Mei-Juni 201, Husni ikut dalam pertemuan di Hotel Sultan bersama Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong.
ADVERTISEMENT
"Dalam pertemuan tersebut diduga terjadi pembahasan tentang proyek e-KTP yang anggaran dan tempatnya akan disediakan oleh Andi Narogong," ungkap Saut.
Masih dalam pertemuan itu, Husni diduga ikut mengubah spesifikasi, Rencana Anggaran Biaya, dan seterusnya dengan tujuan mark up proyek.
Husni pun diberi tugas berhubungan dengan vendor dalam hal teknis proyek e-KTP dan diminta Irman mengawal konsorsium yakni PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera. Ketiga konsorsium itu terafiliasi dengan Andi Narogong.
"Tersangka HFS diduga tetap meluluskan tiga konsorsium, meskipun ketiganya tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan Hardware Security Modul (HSM) dan Key Management System (KMS)," ucap Saut.
Keterlibatan Paulus di proyek ini hingga berujung suap bermula tahun 2011. Saat itu, Paulus diduga melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor, Isnu, dan Husni di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung kurang lebih selama 10 bulan dan menghasilkan beberapa output.
"Di antaranya adalah Standard Operating Procedure (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang pada tanggal 11 Februari 2011 ditetapkan oleh Sugiharto selaku PPK Kemendagri," kata Saut.
Saut menambahkan, Paulus juga diduga bertemu dengan Andi Narogong, bos PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem, dan Isnu untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI.
"Dan menyepakati fee sebesar 5% sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kementerian Dalam Negeri," jelas Saut.
Akhirnya dalam proyek tersebut, perusahaan Paulus, PT Sandipala Arthaputra, diduga diperkaya Rp 145,85 miliar.
ADVERTISEMENT
Atas perbuatan tersebut, keempatnya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.