LIPSUS Dana Desa, Desa Uepai

Perda Fiktif Pangkal Desa Siluman

11 November 2019 12:59 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Desa Uepai di Sulawesi Tenggara. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Desa Uepai di Sulawesi Tenggara. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
Munculnya 56 desa siluman di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menjadi sorotan. Desa-desa fiktif itu tercatat menerima Dana Desa meski cacat administrasi.
Sekelompok masyarakat lantas melaporkan kasus desa siluman tersebut. Kemendagri, KPK, dan Polda Sultra pun turun tangan. Mereka mencari tahu kenapa desa-desa palsu itu bisa lolos menjadi desa, bahkan mendapat aliran Dana Desa.
Gelap menyelimuti Desa Wunduongohi di Kecamatan Anggaberi. Namun tujuh orang warga masih sibuk memperbaiki jembatan kayu di atas Sungai Lahambuti. Desa yang terletak sekitar 30 km dari Konawe, Sulawesi Tenggara, itu memang tengah giat membangun infrastruktur seperti jembatan dan drainase.
Sekretaris Desa Wunduongohi, Guntur, mengatakan desa yang memiliki 133 KK itu sudah menerima Dana Desa sejak 2018. Mereka juga selalu membuat laporan penggunaan Dana Desa secara berkala.
“Setiap proyek-proyek yang ada, misalnya alokasi dana desanya sekian, itu dibuat kan semacam baliho-baliho. Berapa anggarannya, itu transparansi ada,” kata Guntur saat berbincang dengan kumparan di rumahnya, Kamis (7/11).
Meski demikian, permasalahan besar bersembunyi di balik giatnya pembangunan di Wunduongohi. Desa ini menjadi salah satu dari 56 desa terindikasi siluman atau fiktif oleh Kementerian Dalam Negeri. Term fiktif yang dimaksud dalam hal ini merujuk pada dugaan manipulasi saat pembentukan desa. Perda Nomor 7 Tahun 2011 yang dijadikan dasar hukum pembentukan sebetulnya mengatur masalah batas wilayah, bukan pemekaran desa. Selain itu, manipulasi lainnya tercium dari tidak terpenuhinya salah satu syarat berdirinya desa, yaitu batas minimal jumlah penduduk.
Desa Wunduongohi di Sulawesi Tenggara. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
Oleh karena itu, sekelompok masyarakat kemudian melaporkan temuannya pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai tindak lanjut, rapat pimpinan antara KPK, Kemendagri, dan Kejaksaan Agung RI pun digelar.
Bupati Konawe kemudian bersurat tertanggal 2 September 2019 kepada Kemendagri untuk meninjau langsung 56 desa terkait. Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri kemudian mengirimkan tim untuk turun langsung ke Konawe pada 15 hingga 17 Oktober 2019. Mereka mengumpulkan 56 kepala desa terkait, beserta Bupati Konawe, Kepala Biro Tata Pemerintahan, dan jajaran Polisi Sulawesi Tenggara.
Hasilnya, ditemukan dokumen manipulatif berupa Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang pembentukan dan pendefinitifan 56 desa dalam wilayah Kabupaten Konawe, menjadi Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penambahan Pembentukan dan Pendefinitifan 56 Desa dalam Wilayah Kabupaten Konawe. Perda tersebut ditandatangani Bupati Konawe saat itu, Lukman Abunawas dan kemudian menjadi dasar penetapan 56 desa.
"Ada Perda yang sebenarnya tidak menetapkan untuk desa-desa tersebut. Jadi, disinyalir Perda tersebut ada kekeliruan," kata Dirjen Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri, Nata Irawan di kawasan DPR Senayan, Rabu (6/11).
Menurut Kemendagri, Perda tersebut dibentuk dalam rangka memastikan batas wilayah di Konawe supaya tidak diambil alih daerah lain. Namun Perda tersebut justru berujung pada pemekaran desa.
"Kepentingannya empat desa ini ditetapkan oleh daerah adalah untuk memastikan sebagai bagian daerah Kabupaten Konawe yang ada di perbatasan Kabupaten Kolaka Utara," kata Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintah Desa Kemendagri, Aferi Syamsidar Fudali dalam wawancara khusus dengan kumparan di kantornya Ditjen Bina Pemerintah Desa Jalan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (7/11).
Selain itu berdasarkan informasi dari Bupati Konawe saat ini, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua DPRD Konawe, Kerry Saiful Konggoasa, proses penetapan Perda tersebut tidak melalui proses legislasi yang seharusnya teragendakan dalam Program Legislasi Daerah DPRD.
Dari 56 desa yang diverifikasi Kemendagri itu, semuanya terbukti menggunakan Perda manipualtif untuk mendapatkan dana desa. Empat desa di antaranya teridentifikasi melakukan maladministratif secara signifikan, yakni memiliki jumlah penduduk yang kurang dari syarat pembentukan sebuah desa merujuk pada UU Desa Nomor 6 Tahun 2014.
Empat desa tersebut yakni Lerehoma di Kecamatan Anggaberi, Wiau di Kecamatan Routa, Arombu Utama di Latoma, dan Napooha di Latoma. Keempat desa tersebut secara signifikan tidak memenuhi syarat jumlah penduduk sebagai desa. Merujuk pada Ayat 3 Pasal 8 BAB III UU tentang Desa Nomor 6 tahun 2014, syarat yang harus dipenuhi sebuah desa di Sulawesi sekurang-kurangnya memiliki jumlah penduduk sejumlah 2.000 jiwa atau 400 kepala keluarga. Namun di sana jumlah kepala keluarganya hanya puluhan.
Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
Sebagai konsekuensinya, keempat desa tersebut tidak akan menerima dana desa untuk sementara waktu sampai proses hukum selesai. Saat ini Polda Sultra tengah melakukan investigasi dan verifikasi kepada pemerintah daerah.
kumparan mendatangi salah satu desa maladministratif temuan Kemendagri, yaitu Lerehoma di Kecamatan Anggaberi, Rabu (6/11). Di desa yang berada di tengah kebun sawit itu tak banyak rumah atau permukiman penduduk. Merujuk pada keterangan Sekretaris Desa Lerehoma, Aronga, jumlah penduduk desa ini pada 2018 adalah 83 jiwa. .
Tahun 2011 Desa Lerehoma masih berstatus sebagai desa persiapan. Sebagai desa persiapan, Lerehoma membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk bisa ditetapkan sebagai desa definitif. Namun, saat mengajukan dana desa, Lerehoma mencantumkan Perda Nomor 7 Tahun 2011. Di Perda tersebut status Lerehoma pada 2011 bukan sebagai desa persiapan lagi tetapi sudah menjadi desa. Seharusnya sebagai desa persiapan Lerehoma belum bisa mengajukan dana desa.
“2011 itu sudah daftarkan yang kemudian belum resmi. Pada saat pembentukan masih desa persiapan (statusnya),” ujar Aronga.
Aronga mengatakan, Lerehoma menerima Dana Desa pada 2018. Hal tersebut selaras dengan temuan kumparan di data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Lerehoma menerima Dana Desa tahap pertama sejumlah 20 persen pada Mei 2018 atas nama Jasran selaku kepala desa.
Tak banyak aktivitas penduduk yang bisa dijumpai di Lerehoma. Jembatan rusak masih menjadi pemandangan di sana. Lerehoma juga belum teraliri listrik. Tiang-tiang listrik baru mulai didatangkan pada November ini.
Lolosnya Lerehoma menjadi desa menurut Nata Irawan karena pembentukannya berada pada masa transisi, ketika UU Desa Nomor 6 tahun 2014 belum dibentuk. Sementara usul pembentukan desa Lerehoma sudah ada dan disampaikan melalui Perda tersebut sejak 2011.
“Lalu kami verifikasi. Kami di Kementerian Dalam Negeri percaya dong, masa sudah ditetapkan di dalam Perda kemudian kami tolak kan tidak mungkin,” beber Nata.
“Nah, oleh karenanya, karena mungkin di dalam perjalanan keseharian (di desa) tidak ada pelayanan, maka muncullah pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada KPK,” Nata menambahkan.
Namun, sebelum Perda sebetulnya juga sudah ada Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 28 tahun 2006. Dalam Pasal 3 Bab II tentang Pembentukan Desa, disebutkan jumlah penduduk minimal dalam sebuah desa di wilayah Sulawesi adalah 1.000 jiwa atau 200 KK. Dasar hukum itulah yang tidak dipertimbangkan baik oleh Kemendagri maupun pemda setempat. Sebab, 56 desa di Konawe yang dilaporkan fiktif rata-rata berpenduduk kurang dari 200 KK.
Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintah Desa Kemendagri, Aferi mengakui sebelum terbentuknya UU Desa Nomor 6 tahun 2014, sistem kependudukan masih kacau. Hal tersebut berimbas pada proses penetapan desa yang mana calon desa tidak perlu melapor ke Kemendagri soal jumlah penduduk.
Pada 2018 lalu, Kemendagri menurut Aferi telah mencabut tiga desa di Kabupaten Muna, Konawe, dan Buton, Sulawesi Tenggara karena terindikasi fiktif.
“Mencabut (status) desa karena sebelum dipersoalkan oleh aparat penegak hukum kami sudah mendapatkan data bahwa ini tidak ada. Kami cabut,” cerita Aferi.
Jika kembali ke 2016 lalu, pemerintah juga kecolongan dengan adanya desa siluman yang menerima dana desa di Deli Serdang, Sumatera Utara. Empat desa di Kecamatan Namorambe, yakni Uruk Gedang, Gunung Berita, Rumah Keben, dan Tanjung Selamat tercatat menerima Dana Desa pada 2015 meski wilayahnya tak berpenghuni.
Satgas Dana Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang diketuai Kacung Marijan membantah adanya desa siluman di Deli Serdang. Menurutnya desa tersebut memiliki penduduk dan perangkat desa. Namun, roda pemerintahan dan segala aktivitas masyarakat berjalan di desa tetangga. Kepindahan penduduk terjadi lantaran tak adanya pembangunan sama sekali di desa asalnya. Oleh karena itu, Dana Desa dialirkan untuk pembangunan supaya penduduk desa mau kembali ke desa awalnya.
Meski beralasan demikian, tentu hal tersebut tetap tidak sesuai aturan karena sebuah desa harus mengandung unsur penduduk, pemerintahan, dan wilayah yang jelas.
Infografik Alur Dana Desa. Foto: Farhan Raudah/kumparan
Carut marutnya penataan desa di Indonesia kini menjadi PR berat bagi Kemendagri. Sebab, Kemendagri menjadi pihak yang menyediakan data desa kepada Kementerian lain. Seperti dalam kasus dana desa, Kemenkeu mengacu pada desa yang telah memiliki kode dari Kemendagri.
"Penyaluran dana desa, itu kan memperhatikan kode (desa)-nya. Maknanya itu untuk berbagai hal, dalam rangka kebijakan pemerintah, karena kode itu sama dengan E-KTP, "one person, one identity", "satu desa, satu identitas"," Aferi menerangkan.
Kemendagri saat ini fokus pada masifnya pemekaran desa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah desa di Indonesia meningkat per tahunnya, yakni 82.190 desa pada 2014 dan 83.931 pada 2018. Peningkatan jumlah desa tersebut berbanding lurus dengan naiknya anggaran dana desa. Tahun 2015, kala dana desa pertama kali dikucurkan, anggaran yang dikeluarkan pemerintah adalah sejumlah Rp 20,8 triliun. Empat tahun berikutnya, 2019, anggaran tersebut meningkat 3 kali lipat lebih yakni Rp 70 triliun. Sehingga terkesan adanya Dana Desa membuat pemekaran desa menjadi masif dan berpotensi menimbulkan masalah baru.
"Desa yang existing sekarang sudah terselesaikan belum batas wilayahnya? Kalau tidak selesai jangan datang ke kami. Karena kalau itu kita ladeni, membuat masalah baru sama dengan yang selalu saya katakan. Ini melahirkan anak haram dari status orang tua haram karena tidak jelas batas wilayahnya," Aferi menerangkan.
Dalam menyalurkan anggaran Dana Desa, selama ini Kemenkeu mengacu pada jumlah desa yang terdaftar di Kemendagri. Hal tersebut menurut salah seorang sumber kumparan di Kemendagri, justru membuat Kemendagri serba dilematis. Sebab, acuan tersebut membuat daerah-daerah semakin antusias untuk memekarkan desa.
"Mestinya, amanatnya Undang-undang Nomor 6, Dana Desa itu diberikan kepada desa terlebih dahulu disalurkan kepada daerah dengan memperhatikan empat indikator, yakni luas wilayah daerah; jumlah penduduk daerah; jumlah angka kemiskinan; dan tingkat kesulitan geografis daerah itu," dia menyebutkan.
Adapun kewenangan dalam distribusi Dana Desa tersebut menurutnya lebih baik diberikan pada pemerintah daerah. Hal tersebut senada dengan azas desentralisasi yang mana menjadi kewajiban daerah, bukan intervensi pemerintah pusat.
"Tapi sekarang ini, langsung dihitung desa ini sekian, desa ini sekian, desa ini sekian, ya orang berlomba-lomba membentuk desa," ujar dia.
Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Selasa (22/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan menginvestigasi adanya laporan desa siluman maupun yang maladiminstratif. Sebab, menurutnya jangan sampai Dana Desa yang tujuannya untuk membangun ekonomi desa justru masuk ke kantong-kantong pribadi yang tak bertanggung jawab.
Ketidakjelasan aliran Dana Desa ini menurut pengamat R. Yando Zakaria perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Satu hal yang perlu digarisbawahi menurut Yando adalah pembuatan daftar desa yang resmi oleh pemerintah.
“Itu sudah jadi urusan negara ini paling tidak semenjak otonomi daerah tahun 1998, ketika daerah otonomi baru marak hingga saat ini sampai pemerintah membuat moratorium. Salah satu penyakitnya akibat tidak jelasnya jumlah desa,” kata Yando kepada kumparan, Jumat (8/11).
Menurutnya verifikasi seharusnya sudah dilakukan sejak pembentukan daerah otonomi baru. Bukan hanya verifikasi ‘abal-abal’ tetapi yang terpantau oleh sistem karena pemerintah sendiri yang membuat dan bertanggung jawab. Misalnya sebuah provinsi terbentuk kalau sudah ada sejumlah kabupaten. Kabupaten terbentuk kalau sudah memiliki jumlah kecamatan tertentu dan seterusnya hingga level desa.
“Artinya, itu semua karya mereka, mulai dari pusat sampai daerah. Kok mereka sendiri yang kemudian merasa ditipu. Yang punya kewenangan mereka kok, yang mengusulkan desa baru atau kabupaten itu pemerintah daerah setempat didukung oleh DPRD setempat, diverifikasi, dan diamini oleh DPR dan gubernur setempat,” kata dia.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten