Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Berurusan dengan desa siluman bukan perkara gampang. Camat Lambuya, Jasmin, pusing tujuh keliling. Sejak beberapa bulan lalu, ia turun ke lapangan, bertanya ke penduduk setempat, membuka peta wilayah, sampai mengecek kode-kode desa yang terdata di Kemendagri. Namun desa siluman yang pada pencatatan pemerintah pusat berada di zona administratifnya, tak pernah ia temukan.
Jasmin berhenti mengelap peluh yang menyisakan minyak di wajahnya ketika mendengar nama Desa Ulu Meraka. Camat Lambuya, Konawe, Sulawesi Tenggara, itu terdiam sejenak. Baginya, Ulu Meraka bak desa siluman —namanya ada tapi keberadaannya misterius.
Siang itu kala matahari tengah terik-teriknya, Jasmin menerima tim kumparan di Kantor Kecamatan Lambuya. Desa siluman jadi pusat perbincangan.
Jasmin tak butuh waktu lama untuk mengingat nama Desa Ulu Meraka. Desa itu pernah menggayuti pikirannya saat ia baru tiga hari menjabat sebagai Camat Lambuya di awal Maret 2019.
Kala itu, desas-desus soal desa siluman sudah beredar. Rumor bermula dari tersebarnya Laporan Hasil Klarifikasi Penyaluran Dana Desa di Konawe oleh Inspektorat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara pada 27 Juli 2018. Dalam laporan itu, Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya dan Desa Uepai serta Desa Moorehe di Kecamatan Uepai terdata sebagai penerima dana desa.
Namun, penyaluran dana desa sebesar Rp 5 miliar untuk ketiga desa itu sepanjang 2015-2018 mandek karena ketiga desa tersebut tak pernah ditemukan. Betapa ganjil.
Jasmin tak berpangku tangan. Ia terus mencari desa siluman itu dengan bertanya kepada pegawai kecamatan lain. Sayangnya, mereka semua hanya menggelengkan kepala.
Desa Ulu Meraka tak terdapat dalam peta wilayah Kecamatan Lambuya. Desa itu tak dikenal satu pun warga setempat. Dinas Pemerintahan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Konawe juga memberikan jawaban serupa: tidak tahu.
“Kenapa Pak Camat mau ke sana? Memang di situ ada wilayahnya? Memang ada masyarakatnya? Memang ada (Desa) Ulu Meraka? Kan nggak ada,” ujar Jasmin mengisahkan ulang perbincangannya dengan penduduk Lambuya kepada kumparan, Kamis (7/11).
Ulu Meraka, dalam data kode desa di Kementerian Dalam Negeri, tertulis sebagai bagian dari Kecamatan Lambuya. Desa itu berkode 74.02.01.2016. Meski tercatat di pusat, pengecekan di lapangan yang dilakukan Jasmin tetap nihil.
Nyatanya, tak ada Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya. Wilayah pemerintahan Jasmin itu memiliki 10 desa bernama Wonuaho, Asaki, Lambuya, Awuliti, Tetembomua, Amberi, Meraka, Watarema, Tanggobu, dan Waworaha.
Memang, ada satu desa yang punya nama mirip dengan Ulu Meraka, yakni Desa Meraka (tanpa Ulu). Nama “Meraka” diambil dari nama sungai yang melintasi desa itu, yaitu Sungai Meraka. Namun, berdasarkan data Kemendagri, Ulu Meraka dan Meraka berbeda. Desa Meraka memiliki kode sendiri bernomor 74.02.01.2027.
Penelusuran terus dilakukan. Ternyata, kecamatan tetangga di sebelah barat Lambuya, Onembute, memiliki desa bernama Ulu Meraka. Masalahnya, lagi-lagi, bukan desa itu yang dimaksud. Sebab, Ulu Meraka yang ada di Kecamatan Onembute punya kode berbeda di Kemendagri. Desa itu bernomor 74.02.37.2005.
Kecamatan Onembute sendiri merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Lambuya berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Nomor 6 Tahun 2008. Menurut Jasmin, ketika Onembute masih masuk dalam wilayah administratif Lambuya, Desa Ulu Meraka—yang masuk kecamatan baru itu—bernama Desa Tanggobu.
Sejarah desa itu tak luput dari perhatian Jasmin. Ia menegaskan, Desa Ulu Meraka di Onembute yang dulu bernama Desa Tanggobu itu berbeda dengan desa siluman yang kemudian ia cari-cari.
“Saya langsung konfirmasi ke dinas terkait, dalam hal ini pemerintah desa, tentang Ulu Meraka. Tapi jawaban dari sana juga memang sudah begitu: tidak ada yang namanya Desa Ulu Meraka (di Lambuya). Katanya, mungkin kesalahan pencatatan atau apa sehingga dobel,” ujar Jasmin.
Bukan cuma Jasmin yang pusing soal desa siluman. Lurah Uepai, Arifin, juga dibuat kaget dengan desa siluman. Arifin bahkan baru tahu persoalan itu beberapa jam sebelum kumparan menyambangi rumahnya di Lambuya, Rabu sore (6/11).
Arifin baru beberapa hari menjabat sebagai lurah dan tak tahu detail duduk perkara desa siluman yang disebut-sebut berada di wilayah pemerintahannya—Kecamatan Uepai.
Laporan Klarifikasi Inspektorat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara menyebutkan dua desa, Uepai dan Moorehe, sebagai penerima dana desa 2015-2018. Artinya, ratusan juta rupiah dikucurkan untuk kedua desa tersebut. Padahal desa-desa itu tak ada dalam daftar desa di Kelurahan Uepai, Kecamatan Uepai.
“Yang jelas, Desa Uepai itu tidak ada. Yang ada Kelurahan Uepai,” ujar Arifin.
Wilayah Uepai, sebelum berstatus kecamatan, masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Lambuya. Baru pada 2003, berdasarkan Perda Kabupaten Kendari Nomor 15 Tahun 2002, Desa Uepai mekar menjadi Kecamatan Uepai. Kemudian, berdirilah Kelurahan Uepai.
Sementara Desa Uepai yang siluman, berdasarkan catatan Kemendagri, memiliki kode 74.02.18.2001. Desa itu, tegas Arifin, tak ada di wilayahnya.
Desa siluman yang berikutnya, Desa Moorehe, tergolong unik. Wilayah desa ini merupakan kawasan perkebunan yang tak dihuni manusia.
Jasman, Camat Uepai, menyebut Desa Moorehe sudah tak lagi berpenghuni sejak 2016 karena menjadi kawasan hutan lindung. Penduduk Moorehe dipindah ke dua desa lain, yakni Desa Rawua dan Desa Anggopiu di Kecamatan Uepai.
Walau tak memiliki wilayah, eks penduduk Moorehe masih menganggap diri sebagai warga Desa Moorehe. Mereka bahkan mendirikan Sekolah Dasar Moorehe di wilayah Rawua.
“Sebenarnya mereka memang warga di sini, di Rawua. Hanya ketika terbentuk Desa Moorehe, mereka punya lahan di sana. Makanya sempat pindah jadi warga di sana (Moorehe). Tapi kalau rumah, memang asli dari Rawua sini,” ujar Dewi, Sekretaris Desa Rawua, kepada kumparan.
Desa Moorehe, menurut catatan Kemendagri, masih menjadi bagian dari Kecamatan Uepai. Namun, desa itu tak memiliki kode desa.
Perkara desa siluman tak sekadar soal keberadaannya yang misterius, tapi juga soal anggaran berlimpah yang dikucurkan untuk mereka. Data Inspektorat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara mencatat, alokasi dana untuk desa-desa ini mencapai Rp 5 miliar sepanjang 2015-2018.
Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya mendapat alokasi setiap tahun sejak 2015 sampai 2018. Rp 249.820.000 pada 2015, meningkat menjadi Rp 576.945.000 pada 2016-2017, dan naik lagi ke angka Rp 680.607.000 pada 2018.
Sementara Desa Uepai dan Moorehe masing-masing mendapat alokasi dana sebesar Rp 749.698.000 dan Rp 744.804.000, dan tahun berikutnya berkurang menjadi Rp 668.840.000 dan Rp 665.680.000.
Laporan Klarifikasi Inspektorat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara menyimpulkan bahwa alokasi dana desa sebesar Rp 5.084.543.000 telah ditransfer pemerintah pusat ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Kabupaten Konawe.
Namun, dana itu tak disalurkan ke Rekening Kas Umum Desa (RKUDes) karena tiga desa tersebut tidak memiliki wilayah administratif sehingga tidak bisa disebut sebagai desa. Sampai saat ini, dana desa itu mengendap di kas Pemerintah Kabupaten Konawe.
Pasal 147 ayat 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa menyebutkan, seharusnya laporan perbedaan jumlah desa ditembuskan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, sehingga alokasi dana desa dapat direvisi.
Selain itu, masih ada PMK No. 49 Tahun 2016 yang mengantisipasi potensi perbedaan data jumlah desa dan kelebihan penyaluran dana desa. Beleid tersebut mewajibkan kepala daerah untuk melapor kepada Menteri Keuangan bila terdapat perbedaan jumlah desa atau kelebihan dana desa di wilayahnya. Laporan itu akan menjadi bahan evaluasi Menkeu dalam menyalurkan dana desa tahun berikutnya.
Desa memang tidak secara otomatis menerima dana desa dari pemerintah pusat. Prosedur penyaluran dana desa dari kabupaten ke desa diatur lewat PMK No 225/PMK .07/2017.
Untuk bisa mendapat dana desa tahap I sebesar 20 persen, desa harus menyusun peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Berikutnya, untuk memperoleh kucuran dana desa tahap II sebesar 40 persen, desa mesti melaporkan realisasi penyaluran penyerapan dana desa tahap I dan hasil implementasi dana desa tahun sebelumnya.
Sementara untuk mencairkan dana desa tahap III, desa harus melaporkan realisasi penyaluran dana desa dengan penyerapan minimal mencapai 75 persen. Desa juga harus membuat laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output dana desa tahap I dan tahap II.
Desa dengan sisa anggaran lebih dari 30 persen akan mendapat sanksi dari Menkeu berupa pemotongan dana desa hingga penghentian penyaluran dana desa.
Aturan tersebut dianggap Gusti Pasaru, Kepala Inspektorat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, mestinya membuat alokasi dana untuk desa siluman berhenti. Namun, Pemkab Konawe membiarkan pemerintah pusat terus menggelontorkan dana untuk desa siluman.
“Kalau satu tahun saja mungkin ada kekeliruan. Tapi kok tiga tahun berturut-turut (dana desa) dialokasikan terus,” kata Gusti.
Alokasi dana desa yang didapat Konawe terhitung besar, sebab kabupaten ini punya banyak desa. Pada 2019, Konawe beroleh Rp 222 miliar untuk 294 desa yang berada di wilayah administratifnya.
Jumlah itu, berdasarkan data Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, menjadikan Konawe sebagai kabupaten dengan jumlah penerima dana desa terbanyak nomor dua di Sulawesi Tenggara.
Alokasi dana desa ke Konawe juga terus meningkat. Masih merujuk pada data yang sama di Kemenkeu, pada 2016 Konawe menerima kucuran dana sebesar Rp 142 miliar untuk 241 desa.
Tahun berikutnya, 2017, seiring penambahan jumlah desa menjadi 297 desa, alokasi dana ke Konawe juga meningkat sampai Rp 221 miliar. Kemudian pada 2018, kucuran dana ke Konawe sempat turun menjadi 201 miliar, namun naik lagi pada 2019 ke angka Rp 222 miliar.
Wakil Bupati Konawe, Gusli Topan Sabara, membenarkan tiga desa siluman di wilayahnya mendapat kucuran dana dari pemerintah pusat. Namun, ujarnya, selama empat tahun terakhir, Pemkab Konawe tidak pernah menyalurkan dana tiga desa itu ke kas desa.
Alokasi dana untuk tiga desa siluman disimpan Pemkab Konawe menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) di kas daerah.
“Pemerintah Kabupaten Konawe sudah menghentikan dananya. Dana desa sebesar Rp 5.849.543.000 ada di kas daerah (kabupaten),” ujar Gusli.
Ucapan itu sejurus dengan Kepala Desa Moorehe Thoha Mansur, Camat Lambuya Jasmin, dan Camat Uepai Jasman. Hanya saja, Jasman mengatakan dana desa untuk Uepai dialihkan ke Desa Tanggondipo yang masih masuk ke wilayahnya.
Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Kabupaten Konawe pada 2018 mencantumkan, SiLPA di Konawe mencapai Rp 3.197.798.852. Bahkan pada tahun sebelumnya, SiLPA Konawe tercatat sebesar Rp 13.263.086.926.
Hasil audit BPK menyatakan, laporan realisasi dana desa di Konawe mencapai Rp 231.179.139.835. Pada laporan tersebut, tiga desa siluman di Konawe—Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya serta Desa Uepai serta Desa Moorehe di Kecamatan Uepai—tidak tercatat menerima dana desa.
Kini, Polda Sulawesi Tenggara menyelidiki dugaan korupsi alokasi dana desa terhadap desa siluman di Konawe. Menurut Kasubdit Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi Polda Sultra Komisaris Dolfi Kumaseh, tim penyidik telah melakukan pemeriksaan fisik ke 26 dari 56 desa yang diduga fiktif di Konawe.
“Dua dari 23 desa itu sama sekali tidak ada warganya. Penyidik sudah mengamankan dokumen terkait perkara tersebut,” kata Dolfi.
Sebanyak 57 saksi juga diperiksa, di antaranya kepala desa, aparatur sipil negara di dinas pemerintahan kabupaten, sampai pegawai di Kemendagri.
Kasus desa siluman memang bukan main-main.