Perempuan Tak Butuh Siulan

27 Januari 2017 18:07 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi catcall pada perempuan. (Foto: Innovatedcaptures / Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi catcall pada perempuan. (Foto: Innovatedcaptures / Getty Images)
“Hei cantik, nengok dong!”
“Neng, bagi nomor hape, dong!”
ADVERTISEMENT
“Psst... psstt!”
“Manis amat, Neng!”
'Fiuit *bersiul*'
Seruan-seruan bernada menggoda di atas hanya contoh sederhana dari perlakuan yang kerap diterima perempuan saat sekadar berjalan santai di trotoar, pertokoan, perkantoran, sekolah, hingga tempat wisata.
Lontaran dan siulan usil itu mungkin membuat sebagian perempuan merasa hidup mereka tak pernah tenang, baik di area publik sampai privat.
Siulan dan seruan yang bernada pelecehan seksual itu dikenal dengan istilah catcalling, dan ini kerap terjadi di jalan (street harassment).
Selama ini, perilaku catcalling kerap dianggap lumrah, bahkan dipandang sebagai pujian bagi si perempuan. Dalam kasus ini, perempuan jadi objek untuk “menyegarkan” mata lelaki.
Perilaku catcalling, dalam Street Harassment Report tahun 2014 dideskripsikan sebagai perilaku dan interaksi berbasis gender atau orientasi seksual yang dilakukan oleh orang asing di tempat umum dan tidak diinginkan oleh si penerima, sehingga membuat korban merasa tak nyaman, marah, hingga takut.
ADVERTISEMENT
Ekspresi catcalling beragam, mulai dari memanggil nama, mengomentari fisik atau bentuk tubuh, sampai memanggil dengan kata sifat yang menjurus pada hal-hal berbau seksual.
Namun, catcalling tak terbatas pada panggilan verbal. Catcalling dengan cara nonverbal pun kerap dilakukan dalam bentuk kedipan mata hingga cara memandang yang kurang ajar.
Ilustrasi catcall. (Foto: JackF / Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi catcall. (Foto: JackF / Getty Images)
Fenomena catcalling membuat Kate Walton, seorang warga Australia yang telah tinggal di Indonesia lima tahun, melakukan eksperimen dengan berjalan kaki dari Pasar Mayestik menuju Plaza Senayan, Jakarta Selatan.
Sepanjang perjalanan, Kate menerima perlakuan catcalling dalam berbagai jenis, mulai dari disiuli hingga blakblakan diteriaki dengan kata-kata tak senonoh.
Total, Kate menerima perlakuan catcalling sebanyak 13 kali sepanjang setengah jam berjalan kaki dari Mayestik ke Plaza Senayan.
ADVERTISEMENT
Menghadapi catcalling, perempuan tentu saja lebih sering diam dan berupaya tak peduli. Mereka yang mencoba melawan balik, kerap hanya ditertawakan oleh catcallers.
Pilihan untuk diam pada akhirnya menyumbang tingginya angka pelecehan seksual di seluruh dunia.
Untuk di Indonesia, sejak tahun 2011 Komnas Perempuan mencatat angka pelecehan seksual meningkat hingga hampir 100 persen. Setidaknya 268 kasus pelecehan seksual terjadi di ranah komunitas.
Angka tersebut jelas belum semua, karena hanya menghitung dari jumlah laporan yang diterima korban. Sementara kasus-kasus lain yang tak dilaporkan karena korban tak berani bersuara, otomatis tak bisa ikut dihitung.
Diam tak selamanya emas.
Simak juga