Lipsus Papua, Kerusuhan Papua, Aksi damai di Bundaran Tugu Perdamaian Timika Indah

Periset LIPI: Masalah Papua Tak Cuma Infrastruktur, tapi Marginalisasi

26 Agustus 2019 10:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Papua menyalakan lilin dalam aksi damai di Bundaran Tugu Perdamaian Timika Indah, Mimika, 19 Agustus 2019. Foto: ANTARA/Sevianto Pakiding
zoom-in-whitePerbesar
Warga Papua menyalakan lilin dalam aksi damai di Bundaran Tugu Perdamaian Timika Indah, Mimika, 19 Agustus 2019. Foto: ANTARA/Sevianto Pakiding
“Masalah utama di Papua tak cuma kurangnya infrastruktur, tapi juga identitas, kekerasan politik, pelanggaran HAM, pelurusan sejarah Papua, dan marginalisasi orang Papua. Jadi Jokowi baru menyelesaikan satu saja—pembangunan. Lainnya belum disentuh.”
Cahyo Pamungkas memaparkan pendapat dan analisisnya dengan lugas via email. Ia blak-blakan saja menuturkan deret persoalan Papua hingga yang terpahit. Ia tak asing dengan Papua. Bersama rekan-rekannya di LIPI, Cahyo yang meraih gelar Ph.D Ilmu Sosial dari Universitas Radboud Nijmegen Belanda itu meneliti soal Papua yang diterbitkan dalam buku berjudul Updating Papua Road Map: Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua yang diluncurkan Oktober 2016.
Papua Road Map memetakan empat masalah utama di Papua, yakni marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua, pelanggaran HAM dan kekerasan negara di Papua yang belum berhasil diputus dan diselesaikan secara adil, sejarah dan status politik Papua yang terus diperdebatkan, dan kegagalan pembangunan.
Masalah keempat—kegagalan pembangunan—kemudian berupaya dibenahi secara serius oleh pemerintah Jokowi. Ia menggelontorkan dana besar-besaran untuk menggenjot pembangunan infrastruktur di Papua guna memperbaiki konektivitas antardaerah di pulau yang terkenal dengan medannya yang sulit itu.
Meski demikian, menurut Cahyo, pendekatan pembangunan semata tidaklah cukup bagi Papua. Perkara marginalisasi, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa orang Papua juga mesti dituntaskan. Bila tidak, kerusuhan bisa dengan mudah merebak seperti yang terjadi baru-baru ini di Surabaya—dan menjalar ke Manokwari, Mimika, Fakfak, dan Sorong.
Personel Polda Jatim menyisir Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, 17 Agustus 2019. Foto: ANTARA/Didik Suhartono
Kerusuhan di Surabaya bukan yang kali pertama menimpa Asrama Mahasiswa Papua. Keributan hampir serupa pernah terjadi tiga tahun lalu di Yogyakarta. Kala itu, Asrama Kamasan I dikepung oleh aparat dan ormas. Sama seperti di Surabaya, kata-kata rasialis pun terlontar dan memicu amarah para mahasiswa Papua.
Tahun 2016 itu, Bambang Purwoko, Dosen Fisipol UGM yang juga Ketua Gugus Tugas Papua di universitas itu, menjadi tempat bertanya berbagai pihak. Hal itu bisa dimaklumi, sebab ia kerap bolak-balik ke Papua dan sejak 1997 aktif meneliti, mendampingi, dan mengadvokasi kebijakan di Provinsi Papua serta Papua Barat.
Meski pernah bersentuhan secara tak langsung dengan insiden di Asrama Mahasiswa Papua Yogya, ia tetap terkejut ketika peristiwa serupa—namun lebih luas dampaknya sampai ke Papua—terjadi di Surabaya pada 16-17 Agustus 2019.
“Apa yang terjadi di Surabaya memang keterlaluan. Karena ulah segelintir orang di Surabaya, semua orang Jawa kena getahnya. Lontaran kata-kata ‘monyet’ yang sudah berulang kali terjadi itu penghinaan berat. Pemerintah harus mengusut tuntas provokatornya,” kata Bambang.
Berikut petikan perbincangan Bambang Purwoko dan Cahyo Pamungkas dengan kumparan secara terpisah, Jumat (23/8).
Peneliti LIPI Cahyo Pamungkas. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Bagaimana Anda melihat kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya yang kemudian menjalar ke sejumlah daerah di Papua?
Cahyo: Ada dugaan bahwa rasisme di Surabaya adalah suatu provokasi politik untuk memancing kerusuhan yang lebih besar di Papua. Tetapi itu sulit dibuktikan. Yang dapat kita lihat adalah akar-akar sikap rasisme terhadap orang Papua sudah melekat dalam sebagian orang Indonesia non-Papua, yang menganggap orang Papua kurang beradab, malas, bodoh, dan lain-lain. Stereotip negatif terhadap orang Papua ini terus berkembang pada masyarakat di luar Papua sampai sekarang.
Bambang: Apa yang terjadi di Surabaya menjelang 17 Agustus memang keterlaluan. Aparat dan sekelompok ormas melakukan tindakan rasis yang seperti disengaja untuk membangkitkan amarah mahasiswa dan masyarakat Papua.
Lontaran kata-kata “monyet”—apalagi sudah berulang kali terjadi—dianggap sebagai penghinaan berat.
Saya setuju dengan tuntutan gubernur dan masyarakat Papua agar pemerintah mengusut tuntas provokator utama yang menjadi sumber masalah meledaknya kerusuhan di kota-kota di Papua dan Papua Barat.
Sejumlah mahasiswa Papua mengatakan, ejekan rasial sudah sering ditujukan kepada mereka sehingga kini mereka benar-benar emosi. Bagaimana Anda memandang ini?
Bambang: Masyarakat Papua pada dasarnya sangat baik. Ada yang lembut, ada pula yang kasar. Itu wajar, persis seperti kita di Jawa—ada yang kasar, tetapi banyak pula yang halus karakternya.
Ejekan dan sikap segelintir orang di Surabaya tiba-tiba menjadi pemicu sebuah ledakan aksi yang cukup masif dan cenderung destruktif di beberapa daerah. Kita harus mencermati betul, apa yang sesungguhnya terjadi di balik semua ini.
Ketua Gugus Tugas Papua UGM Bambang Purwoko. Foto: Dok. Bambang Purwoko
Apakah ada hambatan dalam proses akulturasi?
Bambang: Rata-rata mahasiswa Papua di Jawa memang menghadapi kesulitan membaur dengan masyarakat Jawa. Sebab utamanya, banyak masyarakat Jawa yang tidak bisa menerima kehadiran mahasiswa Papua hanya karena asumsi keliru, karena stereotip negatif.
Di sinilah pentingnya masyarakat Jawa membuka diri, bertoleransi, berlapang dada menerima adik-adik mahasiswa Papua dengan segala perbedaan karakternya. Tetapi ini tidak mudah. Harus diakui bahwa orang Jawa juga berkontribusi terhadap “keterasingan” mahasiswa Papua dari lingkungan sosialnya di Jawa.
Jadi memang harus ada proses akulturasi budaya. Salah satunya melalui pendidikan. Juga penting ada sosialisasi terhadap masyarakat di luar Papua. Ini yang tidak pernah dilakukan pemerintah atau pemerintah daerah di Jawa. Banyak kepala daerah dan aparat keamanan yang membiarkan masyarakat Jawa bersikap rasis.
Sangat banyak orang Jawa yang tinggal dan mencari kehidupan di Papua. Mereka menetap di kota-kota dan gunung-gunung di Papua, dan diterima dengan sangat baik oleh masyarakat Papua. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat Jawa juga bisa menerima dengan baik kehadiran mahasiswa dan masyarakat Papua untuk hidup bersama.
Jokowi dan Iriana di Merauke, Papua, November 2018. Foto: Dok. Biro Pers Setpers
Presiden Jokowi gencar membangun Papua. Ia bahkan 11 kali mengunjungi Papua. Tapi dengan kerusuhan kali ini, hal itu tampaknya kurang berguna? Dalam artian, warga Papua tetap memendam ketidakpuasan?
Cahyo: Karena masalah utama di Papua bukan hanya persoalan kurangnya infrastruktur, tetapi juga persoalan identitas, status politik, pelurusan sejarah Papua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, kegagalan pembangunan dan penyelenggaraan otonomi khusus, dan marginalisasi orang Papua. Jadi Pak jokowi hanya menyelesaikan satu saja. Yang lain belum disentuh, yakni persoalan pelurusan sejarah dan pelanggaran HAM masa lalu.
Ironi Tanah Papua. Desainer: Basith Subastian/kumparan
Tentang pembangunan Papua, sebagian kalangan terdidik menganggap itu sebagai kewajiban pemerintah Indonesia terhadap orang Papua, sedangkan kemerdekaan dianggap sebagai hak orang Papua. Mereka senang Jokowi membangun jalan, tetapi tidak akan melupakan hak mereka sebagai bangsa merdeka.
Kalangan aktivis lain mengatakan bahwa pembangunan adalah instrumen kapitalisme dan militerisme yang mengancam kelanjutan masa depan orang Papua.
Nah, pendekatan keamanan tidak menjawab persoalan di Papua. Militer dan polisi adalah pelaku dalam kekerasan politik dan pelanggaran HAM pada masa lalu. Cara yang paling efektif adalah menarik militer dari kampung-kampung orang Papua, dan membatasi militer hanya sebagai kekuatan pertahanan, tetapi tidak terlibat dalam pengelolaan kehidupan masyarakat sipil Papua.
Dari penelitian LIPI, bagaimana sesungguhnya orang Papua memandang Indonesia?
Cahyo: Sebagian besar aktivis Papua, terutama generasi mudanya, menganggap Indonesia negara kolonial yang membentuk koloni-koloni pendatang, yang dijaga oleh aparat keamanan. Selain itu, mereka menganggap Indonesia hanya ingin mengambil sumber daya alam Papua tanpa membangun orangnya.
Orang asli Papua juga masih mencurigai adanya depopulasi, di mana jumlah orang asli Papua semakin menurun dan jumlah pendatang semakin meningkat.
Kenapa persoalan terkait Papua tak kunjung tuntas? Meski misal mereda, namun bisa dengan mudah kembali gaduh?
Bambang: Ada banyak sebab, salah satunya proses integrasi yang belum tuntas. Ini masih ditambah adanya akumulasi distrust atau ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap bentuk kehadiran negara di Tanah Papua. Ini antara lain disebabkan trauma masa lalu, khususnya ketika negara hadir dalam wujud kekuatan militer yang represif.
Trauma itu tidak mudah hilang, sehingga ketika negara sudah hadir dalam bentuk pembangunan yang menyejahterakan, tetap saja dicurigai. Bahkan sekelompok elite dengan tegas menolak pembangunan. Mereka berkata bahwa masyarakat tidak butuh pembangunan. Tetapi pernyataan itu menurut saya misleading, sangat bias elite.
Salah satu aspek pembangunan utama yang sangat penting dan mendasar sebetulnya adalah pembangunan di bidang pendidikan. Sebab lain dari berlarut-larutnya masalah di Papua menurut saya adalah ketertinggalan di bidang pendidikan.
Bahwa pembangunan di Papua tertinggal dibanding daerah lain memang benar. Wajar karena Papua dan Papua Barat adalah provinsi yang masih sangat muda. Tetapi tidak berarti masyarakatnya terbelakang.
Pemuda dan mahasiswa Papua berdemonstrasi di sekitar Mabes TNI AD, Jakarta, 22 Agustus 2019. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Pendekatan apa yang paling tepat untuk warga Papua?
Cahyo: Tidak ada cara lain selain dialog, baik dialog sektoral atau dialog untuk rekonsiliasi. Dialog sektoral adalah dialog untuk menyelesaikan sektor-sektor kehidupan orang asli Papua. Dialog untuk rekonsiliasi adalah dialog nasional untuk membahas masa depan orang Papua dengan melibatkan semua kelompok, termasuk OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan diaspora Papua atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Bambang: Kasus ini seharusnya menjadi momentum pembelajaran dan perenungan bagi kita untuk bersikap lebih baik terhadap saudara-saudara kita dari Papua. Untuk berempati dengan mereka, merangkul mereka menjadi bagian dari keluarga kita. Mari lakukan hal ini dengan ketulusan hati dan kasih.
_________________
Simak Liputan Khusus kumparan: Meredam Bara Papua
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten