Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Siapa Saja Korbannya?

12 Januari 2023 16:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga melintas di depan poster aktivis yang hilang di kawasan Beji. Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
zoom-in-whitePerbesar
Warga melintas di depan poster aktivis yang hilang di kawasan Beji. Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
ADVERTISEMENT
Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan pengakuan negara terhadap kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal itu ia sampaikan setelah menerima laporan akhir pelaksanaan tugas dan rekomendasi pelanggaran HAM berat di masa lalu. Laporan itu sebelumnya diterima Menkopolhukam Mahfud MD dari Tim Pelaksana Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat di Masa Lalu (PPHAM).
"Saya telah membaca dengan saksama laporan dari Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat yang dibentuk berdasarkan Keppres 17/2022," ucap Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1).
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat pada yang pertama," imbuhnya.
Ilustrasi orang hilang. Foto: Shutter Stock
Salah satu yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat adalah peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998). Bagaimana kasusnya?
ADVERTISEMENT
Penghilangan orang secara paksa mengacu pada penculikan para aktivis, pemuda, dan mahasiswa yang kala itu ingin menegakkan keadilan serta demokrasi pada masa pemerintahan Orde Baru. Mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dipandang sebagai kelompok yang membahayakan serta mengancam stabilitas negara.
Peristiwa ini terjadi pada periode 1997-1998, jelang pemilihan Presiden (Pilpres) untuk periode 1998-2003. Kala itu, terdapat dua agenda politik besar yang tengah disiapkan: Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Maret 1998, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI.
Prajurit Kopassus. Foto: Romeo Gacad/AFP
Pelaku kasus peristiwa penculikan ini ialah Tim Mawar. Diambil dari buku Widji Thukul Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa (2017) karya Ristia Nurmalita, Tim Mawar adalah sebuah tim dari kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Group IV dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dibentuk untuk melakukan penculikan para aktivis politik pro demokrasi yang dianggap membahayakan posisi Presiden Soeharto. Tim ini dikomandoi oleh Komandan Batalyon 42, Mayor Bambang Kristiono.
ADVERTISEMENT
Tim Mawar yang juga bertugas mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan, dan teror, kala itu menyusun rencana penangkapan sejumlah aktivis yang diduga terlibat dalam peristiwa ledakan di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat pada 18 Januari 1998. Mayor Bambang mendapat data intelijen berisikan Sembilan nama yang menjadi prioritas untuk ditangkap.
Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
Kesembilan nama di atas dipulangkan ke tempat asalnya masing-masing. Namun ada 13 orang lainnya yang juga ditahan oleh Tim Mawar. 13 aktivis tersebut hingga kita belum diketahui keberadaannya. Berikut daftarnya.
Wiji Thukul membaca puisi. Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
Tempat penyekapan seluruh aktivis yang ditangkap disebut berada di Cijantung. Tempat tersebut juga sebagai markas Kopassus. Di dalam markas tersebut terdapat ruang rapat, ruang interogasi, hingga sel.
ADVERTISEMENT