Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI terus berkembang seiring rencana amandemen UUD 1945. Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengatakan ada dua gagasan terkait hal itu.
ADVERTISEMENT
Pertama, masa jabatan presiden diperpanjang menjadi 8 tahun namun hanya satu periode. Kedua, masa jabatan presiden tetap 5 tahun untuk satu periode dengan maksimal 3 kali periode. Namun usulan ini banyak ditentang oleh sejumlah kalangan masyarakat, termasuk pengamat dan pakar kepemiluan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan masa jabatan Presiden yang berlaku saat ini sudah ideal.
"Kalau dalam pandangan kami masa jabatan presiden yang sekarang, selama 5 tahun dan paling lama selama dua periode (sudah ideal). Jadi satu periode selama 5 tahun merupakan paling moderat dan tepat untuk Indonesia saat ini," kata Titi dihubungi kumparan, Selasa (26/11).
Titi mengatakan, memang tidak ada pakem atau standar secara universal berapa lama masa jabatan presiden yang ideal. Sebab, di beberapa negara memiliki sistem dan masa jabatan presiden yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
"Ada keragaman masa jabatan. Amerika Serikat itu 4 tahun selama dua periode, lalu Mongolia dan Taiwan juga demikian. Kemudian ada Filipina selama 6 tahun. Lalu juga ada negara-negara lain yang masa jabatannya 7 tahun," terang Titi.
Sehingga menurut Titi, masa jabatan selama 5 tahun dan maksimal 2 periode sudah cocok untuk Indonesia. Ia pun menyebut ada 2 pertimbangan mengapa masa jabatan saat ini sudah ideal dan wacana masa jabatan yang berkembang kurang tepat untuk Indonesia.
Pertama, 5 tahun untuk satu periode merupakan waktu yang tidak terlalu lama bagi rakyat untuk mengevaluasi kepemimpinan presiden.
"Kalau 8 tahun maka waktu otomatis kita harus cukup lama untuk melakukan koreksi terhadap presiden yang sedang menjabat. Sehingga praktik di beberapa negara, butuh waktu lama untuk menunggu koreksi presiden yang sedang menjabat," jelas Titi.
"Saluran koreksinya itu melalui pemilu. Kalau kemudian waktu tunggu itu terlalu lama, kemudian ketidakpuasan itu tereskalasi jadi gerakan jalanan atau konflik antara rakyat dan pemerintah," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Alasan kedua, jika masa jabatan 5 tahun maksimal 3 periode, maka dikhawatirkan akan menghambat kaderisasi calon pemimpin selanjutnya.
"Apalagi kemudian ada kecenderungan membangun hegemoni politik. Bisa saja menguatkannya budaya politik kekerabatan, dan identitas. Dan penyalahgunaan kekuasaan," ungkapnya.
"Ini bisa membuka kelemahan-kelemahan yang justru dihindari dalam pembatasan masa jabatan," tutupnya.