Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Pertempuran Kembali Pecah, Proses Perdamaian Armenia-Azerbaijan Goyah
14 September 2022 17:46 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Armenia dan Azerbaijan saling menuduh atas pelanggaran gencatan senjata. Sebab, bentrokan kembali melanda wilayah perbatasan dekat Nagorno-Karabakh.
ADVERTISEMENT
Bentrokan tersebut adalah konflik terburuk sejak perang yang meletus pada 2020. Presiden Rusia, Vladimir Putin, lantas kembali terdesak untuk menengahi pertikaian seperti sebelumnya.
Setelah pertempuran menewaskan sedikitnya seratus tentara Armenia dan Azerbaijan, Putin kemudian menyerukan gencatan senjata pada Selasa (13/9). Walau begitu, upaya perdamaian itu goyah tak lama setelahnya akibat meletusnya pertempuran baru.
"Musuh meluncurkan kembali serangannya dengan menggunakan artileri, mortir, senjata api berkaliber tinggi ke arah Jermuk dan Verin Shorzha," lapor Kementerian Pertahanan Armenia, dikutip dari AFP, Rabu (14/9).
"Meskipun ada reaksi yang jelas dari masyarakat internasional atas situasi tersebut, kenyataannya, kepemimpinan militer-politik Azerbaijan melanjutkan tindakan agresi terhadap wilayah kedaulatan Armenia, menargetkan infrastruktur militer dan sipil," imbuhnya.
Azerbaijan membalikkan tuduhan tersebut terhadap pasukan Armenia. Pihaknya mengabarkan, tentara Armenia justru telah menggencarkan serangan terhadap Kelbajar dan Lachin.
ADVERTISEMENT
"[Armenia] melanggar gencatan senjata dan menembaki posisi Azerbaijan di dekat Kelbajar dan Lachin dengan mortir dan artileri," jelas Kemhan Azerbaijan.
Separatis etnis Armenia di Nagorno-Karabakh memisahkan diri dari Azerbaijan ketika Uni Soviet runtuh pada 1991. Konflik yang menyusul setelahnya merenggut sekitar 30.000 nyawa.
Negara-negara tetangga itu telah berperang dua kali atas wilayah sengketa Nagorno-Karabakh. Daerah kantong Azerbaijan tersebut menaungi penduduk asal Armenia.
Pertempuran berkecamuk pada 1990 sebelum kembali berkobar pada 2020. Selama enam pekan pertempuran terakhir itu, lebih dari 6.500 tentara tewas, baik dari pasukan Armenia maupun Azerbaijan. Rusia kemudian menengahi gencatan senjata.
Berdasarkan kesepakatan itu, Armenia menyerahkan sebagian besar wilayah kekuasaannya. Rusia lalu mengerahkan sekitar 2.000 prajurit penjaga perdamaian ke Nagorno-Karabakh.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari inisiasi yang ditunjukkan Putin, perjanjian perdamaian itu sangat rapuh. Sehingga, analis menggambarkan situasi tersebut sebagai 'bukan perang maupun perdamaian'.
Sejak awal konflik, Uni Eropa memimpin proses normalisasi Armenia-Azerbaijan. Presiden Armenia, Nikol Pashinyan, dan Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, sempat bertemu dengan mediasi UE pada Mei dan April. Keduanya setuju akan memajukan perjanjian damai.
Upaya tersebut meliputi delimitasi perbatasan dan pembukaan kembali jaringan transportasi pula. Analis mengatakan, eskalasi terbaru lantas menghapuskan proses mediasi itu.
"[Eskalasi] membatalkan upaya yang dipimpin Uni Eropa untuk membawa [Armenia] dan [Azerbaijan] lebih dekat dengan kesepakatan damai," terang analis dari Georgian Strategic Analysis Centre, Gela Vasadze.
UE, Amerika Serikat, Prancis, Rusia, Iran, dan Turki telah menanggapi kabar pertempuran teranyar. Mereka menyatakan keprihatinan atas eskalasi dan menyerukan diakhirinya gempuran.
ADVERTISEMENT
Armenia lantas meminta para pemimpin dunia untuk turun tangan pada Selasa (13/9). Pengamat memperkirakan, risiko perang di masa mendatang tampaknya tidak bisa dikesampingkan.
"Perang baru tentu saja diprediksi, melihat akumulasi [militer] Azerbaijan," terang seorang ekonom, Arman Mkhitaryan.
"Kemampuan dan potensi pemerintah [Armenia] saat ini tidak cukup untuk menghadapi tantangan saat ini," imbuhnya.
Kendati demikian, sebagian masyarakat tidak menunjukkan kekhawatiran. Emosi justru memuncak di antara kerabat para prajurit yang tewas. Mereka berkumpul di luar rumah sakit militer di Armenia.
"Kami harus berjuang untuk tanah kami, untuk tanah air kami dan untuk negara kami. Kemenangan akan menjadi milik kami, bila tidak hari ini, maka besok. Kami tidak dapat dipatahkan," ungkap salah satu kerabat tentara Armenia, Sokrat Khachaturyan.
ADVERTISEMENT