Pesantren Al-Fatah: Menuntun Waria di Persimpangan Iman

13 Juli 2017 17:42 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Waria sedang mengaji di Pesantren Waria Yogya. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Tak mudah mencari Pondok Pesantren Al-Fatah. Menyusuri gang-gang kecil di Kotagede, selatan kota Yogyakarta, tak terlihat satu bangunan pun yang layak disebut pondok pesantren. Yang ada hanya deretan rumah joglo. Tak heran, sebab area tersebut merupakan wilayah bersejarah Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Hingga ketika rasa penasaran mulai berganti putus asa, seorang perempuan berjilbab merah keluar dari rumah joglo bercat putih hijau.
Ia melambaikan tangan, mengetahui sedang dicari-cari. Dengan penampilan berbeda dari perempuan lain, mudah untuk mengenali bahwa perempuan tersebut adalah waria. Shinta Ratri namanya, pengurus Ponpes Waria Al-Fatah yang berlokasi di Kotagede.
Shinta Ratri di Pesantren Waria Yogya. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Jauh sebelum kami berkunjung ke rumahnya, Shinta sering muncul di sejumlah media. Pengasuh Ponpes Al-Fatah yang dikhususkan untuk para waria itu, selama beberapa waktu menjadi tajuk berita nasional. Namanya bahkan diberitakan media-media luar negeri sekelas New York Times, TIME, dan BuzzFeed.
Shinta asli Kotagede. Ia lahir di sana. Rumah joglo seluas 200 meter persegi tersebut merupakan warisan orang tua. Pada 2014, Shinta “menyulap” rumah itu menjadi pesantren. Ia memindahkan Ponpes Al-Fatah dari Notoyudan ke Kotagede.
ADVERTISEMENT
Saat kami sambangi 28 Juni lalu, rumah joglo artistik yang menjadi lokasi Ponpes Al-Fatah itu begitu sepi. Maklum, masih suasana Lebaran.
Di halaman belakang, hanya tampak deretan pakaian perempuan tersampir di jemuran, menjadi pemandangan satu-satunya di pekarangan tempat para santri biasa hilir mudik.
“Biasanya ramai tiap hari, ada kegiatan. Tapi sekarang masih pada mudik,” kata Shinta kepada kumparan.
Wajah Shinta pada Februari 2016 banyak dimuat di berbagai media karena berita buruk yang menerpa dia dan pesantrennya. Al-Fatah diprotes oleh beberapa kelompok masyarakat. Ponpes itu diminta ditutup karena beberapa alasan.
Setidaknya ada tiga alasan di balik tuntutan penutupan Al-Fatah. Pertama, dianggap tak berizin karena lokasi yang ditempati adalah rumah biasa, bukan untuk pesantren. Kedua, dianggap meresahkan warga setempat, semisal menurut camat pernah ditemukan minuman keras di sana. Ketiga, dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang tak mengakui keberadaan transgender termasuk waria.
ADVERTISEMENT
Menghadapi semua kekisruhan itu, Shinta berusaha tenang. Ia dan kawan-kawan waria lain mengatakan, hanya ingin memiliki wadah untuk memenuhi kebutuhan spiritual mereka sebagai manusia biasa. Itu sebabnya Shinta mendirikan Pesantren Al-Fatah pada 2008.
Saat menceritakan kembali segala aral yang ia hadapi, raut wajah dan gerak tubuh Shinta amat tenang. Tak terdengar nada kesal atau marah pada intonasi suaranya. Ia bicara mantap dan yakin, tak lirih ketakutan atau meluap-luap penuh dendam.
Bagaimanapun, waria termasuk kelompok yang paling sering menerima diskriminasi karena stigma yang melekat pada mereka. Waria punya banyak sebutan, mulai wadam (hawa adam), bencong, transgender perempuan--yang kesemua istilah itu mengategorikan mereka ke dalam kelompok dengan orientasi seksual dan ekspresi gender LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).
ADVERTISEMENT
Secara umum, transgender perempuan mengalami tekanan berlapis. Laporan Human Rights Watch misalnya menyebut mereka kesulitan mendapat pekerjaan. Secara spesifik, waria bernasib buruk dan kebanyakan hanya bisa mengamen, bekerja di salon, atau bahkan menjadi pekerja seks komersial.
Kehidupan para waria di jalanan tak selalu seceria kecrekan alat musik mereka. Dunia waria begitu keras, diisi berbagai macam kekerasan fisik maupun struktural. Tapi, ujar Shinta, waria tak sepenuhnya bisa disalahkan atas semua suratan buruk yang menimpa mereka.
Shinta menceritakan bagaimana kawan-kawan warianya disingkarkan oleh keluarga mereka, juga masyarakat luas. Menjadi mereka, yang mengalami konflik batin sekaligus diperlakukan buruk oleh lingkungan, sama sekali tak mudah.
“Kawan-kawan yang sejak lama meninggalkan keluarga, lalu hidup di jalanan. Moralitas yang terbangun kan jadi moralitas jalanan,” kata Shinta.
Kegiatan mengaji di Pesantren Waria Yogya. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Beribadah saja, yang merupakan hak dasar manusia dan di Indonesia (mestinya) terjamin lewat Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, sulit untuk dipraktikkan para waria. Mereka dicibir, diteriaki, dan dibicarakan secara bisik-bisik di belakang punggung.
ADVERTISEMENT
“Mereka merasa tak nyaman beribadah di tempat umum. Padahal kawan-kawan waria juga manusia yang ingin beribadah,” kata Shinta.
Ini misalnya dialami seorang santri Al-Fatah bernama YS Al-Buchory. Kepada kumparan secara terpisah, YS mengisahkan sekelumit kisah hidupnya.
YS memilih jati diri sebagai waria pada 1994. Namun ia perlu waktu untuk menunjukkan pilihannya itu kepada keluarga. Ia belum siap, dan karenanya memilih indekos--mengambil jarak dari keluarga yang hampir pasti tak suka dengan pilihan hidupnya.
Masalah terus muncul. Dalam proses belajar hidup mandiri, YS merasa kesulitan. Ia tak punya uang untuk menghidup diri, lantas mengambil langkah yang umum dilakukan sebagian waria.
“Aku mulai mejeng di pinggir jalan, bekerja malam. Ya tentu saja aku harus melayani laki-laki,” kata YS, Senin (3/7).
ADVERTISEMENT
YS bertahan dengan pekerjaannya di jalanan itu selama lima tahun. Sepanjang waktu itu, ia terus berupaya berdialog tentang identitasnya sebagai waria kepada orang tuanya. Ia cukup beruntung karena ternyata orang tua menerima pilihannya dengan baik.
Penerimaan orang tua terhadapnya membuat YS kian bertekad untuk keluar dari lumpur hitam dunia malam. Ia ingin menjadi orang yang lebih baik, dan memutuskan untuk belajar berorganisasi di lembaga swadaya masayarakat (LSM).
Namun meski ia telah memiliki wadah aktualisasi diri di LSM, ada satu kebutuhan yang belum terpenuhi: rohani. Dan akhirnya YS bergabung dengan Pesantren Al-Fatah untuk mengisi dahaga spiritualnya.
“Saat aku bergabung dengan pesantren, aku berusaha belajar dan mencari tahu sesuatu yang selama ini aku tinggalkan, yaitu agama. Setiap waria, dalam relung hatinya pasti memiliki keinginan untuk beribadah,” ucap YS.
ADVERTISEMENT
Seorang waria. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Rabu tengah malam (6/7), Bunga berjalan agak sempoyongan di Jalan Urip Sumoharjo, salah satu pusat aktivitas publik di Yogya. Dari mulutnya, bau minuman keras menguar agak menyengat.
Seperti biasa, Bunga, waria asal Medan yang telah puluhan tahun tinggal di kota gudeg itu, minum alkohol sebelum keluar untuk bekerja--mengamen keliling di jalanan.
Jalan Urip Sumoharjo yang biasa jadi lokasi Bunga mengamen, berubah wujud jadi area merah jika malam menjelang. Motor berknalpot bising dengan pengendara yang meracau adalah wajah kehidupan wilayah itu, dan Bunga ikut ambil bagian dalam gaya hidup demikian.
Sayup-sayup di telinganya, Bunga mendengar juga kabar tentang pesantren waria yang menawarkan ketenteraman hidup. Ia berkata, mungkin akan bergabung jika diajak. Namun nadanya sinis, menandakan ketidakyakinan atas ucapannya.
ADVERTISEMENT
“Saya cuma mikir cari nafkah ngamen. Sulit (ke pesantren) karena jauh juga lokasinya,” kata Bunga.
Memang tak semua waria mau dengan sukarela terlibat dalam kegiatan peribadatan di Al-Fatah. Banyak di antara mereka yang memiliki pergulatan batin hebat. Sebab selain dikerangkeng konstruksi sosial, mereka juga dibuai kehidupan malam.
Shinta sang pengelola pesantren pun tak bisa sepenuhnya merangkul seluruh waria di Yogya. Dari sekitar 232 waria, hanya 42 di antaranya yang menjadi santri.
Kebanyakan waria merasa tak layak beribadah. Dan mereka merasa mustahil memantaskan diri untuk melangkah ke pesantren.
“Aduh Bu, saya belum siap untuk pengajian. Saya merasa masih berdosa,” ujar Shinta menirukan ucapan salah seorang rekan waria.
Shinta mencoba meyakinkan. “Adalah hak prerogatif Tuhan untuk menentukan apalah salat dan doa waria diterima atau tidak.”
ADVERTISEMENT
Tapi Shinta tak memaksa, sebab Pesantren Al-Fatah hadir bukan untuk memaksa. Ia dibentuk agar para waria bisa menggenggam hak mereka untuk beribadah--mencoba mendekatkan diri kepada Tuhan selayaknya manusia lain.
Pondok pesantren waria Al-Fatah. (Foto: suarakita.org)
Selain menjadi wadah untuk ibadah, pesantren juga menjadi tempat bagi para santri waria guna menumpahkan unek-unek mereka.
Di Al-Fatah, terdapat beberapa ustaz pendamping santri. Kurikulum belajar dan kelas pengajian juga disediakan. Para santri wajib hadir lima jam setiap harinya.
Soal apakah doa waria diterima atau tidak oleh Tuhan, Shinta dan para santri Al-Fatah punya pengalaman tak terlupa.
Menjelang Idul Adha 2016, Al-Fatah ingin sekali ikut berkurban. Namun ketiadaan dana membuat mereka tak yakin bisa mengumpulkan uang untuk membeli hewan kurban.
Sembari berharap biaya terkumpul, para santri melakukan khataman Alquran secara kolektif.
ADVERTISEMENT
“Dari 42 santri yang ada, yang bisa baca Alquran cuma 10 orang. Maka saya bagi dari 30 juz, masing-masing (santri yang bisa baca Alquran mengaji) tiga juz,” kata Shinta.
Khataman digelar rutin tiap Jumat, Sabtu, dan Minggu. Para santri mengikuti dengan tekun. Mereka membaca Alquran sesuai bagiannya, hingga khatam Alquran tercapai.
Beberapa hari kemudian, keajaiban datang. Seorang ibu mendatangi Al-Fatah dan menyumbang dana Rp 2 juta secara cuma-cuma. Rasa haru langsung menyergap para santri. Cita-cita mereka berkurban akhirnya terlaksana.
Para waria di Pesantren Waria Yogya. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Para santri waria Al-Fatah tak mengaji sendiri. Sejak 2010, hampir setiap harinya mereka didampingi Ustaz Arif Nuh Safri. Sang ustaz, di tengah tekanan yang menghantam bertubi-tubi, sepenuhnya berniat membantu kawan-kawan waria yang ingin beribadah.
ADVERTISEMENT
“Hal yang paling melekat pada waria adalah stigma. Mereka dianggap orang yang tidak pantas beribadah, tidak mensyukuri kodrat, hingga menjadi olokan. Itu sudah biasa mereka terima,” ucap Arif, Selasa (4/7).
Saat pertama kali datang ke Al-Fatah, Arif dapat langsung melihat betapa para waria di sana memiliki keinginan besar untuk belajar agama.
Bagi Arif, manusia, apapun dia, waria atau bukan waria, pasti ingin dekat dengan Tuhan di hati kecilnya.
“Ada hak ketuhanan yang melekat dalam diri manusia yang ia bawa sejak lahir, dan itu melekat dalam setiap individu. Waria, meski dipandang jauh dari agama, juga tak bisa memungkiri punya hak ketuhanan dalam dirinya yang harus diekspresikan,” ujar Arif.
Ia paham seperti apa emosi yang berkecamuk di dada para waria itu. Ia menangkap rasa bimbang dalam diri mereka. Sebab banyak waria mengalami tekanan besar dari keluarga dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Justru dalam kegundahan itulah, agama diyakini dapat memberi ketenangan. “Tapi bagaimana bisa memperoleh ketenangan, jika mau ibadah saja sulit,” kata Arif.
Ustaz yang kerap membeerikan tausiah di pengajian umum itu melihat ada perbaikan signifikan pada waria yang rutin beribadah. Para santri waria kian rajin salat dan menempa diri dengan ilmu agama.
Arif mengajak publik menggunakan cara pandang yang bijak dalam melihat waria yang biasa hidup di jalanan.
“Yang menyebabkan mereka tidak peduli sekitar adalah karena penolakan yang terlalu banyak. Tapi ketika ada keluarga yang bisa menerima mereka, secara pendidikan dan spiritual itu lebih bagus ke mereka.”
Ketika sebagian lainnya memilih untuk menjauhi para waria itu, Arif memilih untuk terus mendampingi. Baginya, rahmat Tuhan bisa turun kepada siapapun.
ADVERTISEMENT