Pilu Rakyat Palestina di Gaza Bertahan Digempur Israel: Kami Tak Ada Air

11 Oktober 2023 10:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Asap mengepul di atas gedung-gedung selama serangan udara Israel, di Kota Gaza, Senin (9/10/2023).  Foto: MAHMUD HAMS / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Asap mengepul di atas gedung-gedung selama serangan udara Israel, di Kota Gaza, Senin (9/10/2023). Foto: MAHMUD HAMS / AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik mematikan antara Israel dan kelompok militan Palestina, Hamas, menimbulkan krisis kemanusiaan mendalam yang dengan cepat terjadi di Jalur Gaza — wilayah yang saat ini terkepung.
ADVERTISEMENT
Semula adalah rumah bagi lebih dari dua juta rakyat Palestina, Gaza kini diluluhlantakkan oleh serangan udara Israel hingga yang tersisa hanyalah kehancuran dan secercah harapan untuk bertahan hidup.
Krisis kemanusiaan bermula saat Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, pada Senin (9/10) memerintahkan 'pengepungan total' di area Gaza imbas serangan dan penyanderaan yang dilakukan Hamas.
Lokasi Gaza yang diapit oleh laut dan sebagian besar wilayah Israel itu telah menjadi sasaran jet-jet tempur Israel usai Gallant mengeluarkan perintah pengepungan total.
Dikutip dari CNN, dalam pernyataannya Israeli Defense Forces (IDF) mengatakan serangan udara telah menghantam lebih dari 200 target di Gaza. "Kami memerangi mereka yang bersikap barbar dan akan meresponsnya," ujar Gallant.
Foto udara menunjukkan rumah dan bangunan hancur akibat serangan Israel di Kota Gaza, Selasa (10/10/2023). Foto: Shadi Tabatibi/REUTERS
Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri Palestina mengatakan bahwa sebagian besar target yang diserang penjajah Israel adalah menara, bangunan tempat tinggal, fasilitas sipil, dan banyak masjid.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Palestina, jumlah korban tewas di Gaza kini mencapai lebih dari 900 orang. Di pihak Israel, laporan terbaru menunjukkan jumlah korban tewas mencapai 1.200 orang dan 150 orang lainnya diyakini dalam tawanan Hamas.
Lebih lanjut, perintah pengepungan Gallant ditambah serangan bertubi-tubi dari pasukan Israel telah mendorong krisis kemanusiaan yang lebih cepat dari dugaan.
Rakyat Palestina yang terjebak di Gaza tak memiliki tempat lain untuk berlindung, lantaran serangan udara Israel bahkan menyasar ke lokasi pengungsian yang dikelola PBB (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees/UNRWA).
Pengungsi di tempat pengungsian Nusseirat di Jalur Gaza. Foto: AFP/Thomas Coex
UNRWA mengatakan, mereka telah mengubah 83 sekolah di Gaza menjadi tempat pengungsian sementara. Namun, pada Senin (9/10) sekolah-sekolah itu sudah sangat padat dengan lebih dari 137 ribu orang berlindung dari serangan Israel.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti kota-kota di bagian selatan Israel, wilayah Gaza tidak memiliki tempat perlindungan dari bom atau bunker khusus untuk berlindung dari serangan udara.
Pengepungan oleh pasukan Israel telah menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan warga Gaza seperti air, makanan, listrik, dan bahan bakar.
Salah seorang warga Gaza asal daerah Al Rimal, Nadine Abdul Latif, bercerita bahwa dia dan keluarganya diberi tahu oleh tetangga untuk pergi setelah Israel mengatakan bakal menargetkan serangan ke area kantong itu pada Senin (9/10).
Foto udara menunjukkan rumah dan bangunan hancur akibat serangan Israel di Kota Gaza, Selasa (10/10/2023). Foto: Shadi Tabatibi/REUTERS
Namun, Nadine dan keluarganya memutuskan untuk tetap tinggal di Gaza sebab tidak tahu lagi harus ke mana. "Kami tidak memiliki tempat yang aman untuk dituju," ungkap Nadine.
ADVERTISEMENT
Nadine kemudian bercerita bahwa ayahnya yang selama ini bekerja di Israel telah hilang kontak sejak serangan Hamas dimulai pada Sabtu (7/10). Sampai sekarang, Nadine dan keluarganya bertahan hidup dengan ketidakpastian di tengah sulitnya memperoleh barang-barang esensial seperti air dan makanan.
"Kami tidak punya air, air mati kemarin [Senin]. Kami hampir tidak mendapatkan listrik atau internet, dan kami tidak bisa keluar rumah untuk membeli makanan karena semakin berbahaya," kata Nadine.
Hidup dalam ketakutan akan nyawanya, Nadine berusaha untuk tetap tegar dan berharap ada bantuan yang didatangkan melalui Mesir — seperti di perang-perang sebelumnya.
"Setiap kali dia mendengar suara pesawat, kami bersembunyi di bawah meja," tutup Nadine.