PM Rishi Sunak: Era Keemasan Hubungan Inggris-China Sudah Berakhir

29 November 2022 13:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perdana Menteri Inggris yang baru Rishi Sunak menyampaikan pidato di luar Jalan Downing Nomor 10, di London, Inggris, Selasa (25/10/2022). Foto: Hannah McKay/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Inggris yang baru Rishi Sunak menyampaikan pidato di luar Jalan Downing Nomor 10, di London, Inggris, Selasa (25/10/2022). Foto: Hannah McKay/REUTERS
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, menyebut 'era keemasan' hubungan negaranya dengan China telah berakhir pada Senin (28/11).
ADVERTISEMENT
Sunak merujuk pada ungkapan mantan Menteri Keuangan Inggris, George Osborne, pada 2015. 'Era keemasan' menggambarkan hubungan ekonomi yang lebih erat di bawah pemerintahan Osborne.
Tetapi, relasi baik tersebut telah memburuk sejak saat itu.
"Mari kita perjelas, apa yang disebut 'era emas' telah berakhir, bersamaan dengan gagasan naif bahwa perdagangan akan mengarah pada reformasi sosial dan politik," tegas Sunak dalam pidato kebijakan luar negeri pertamanya di London, dikutip dari Reuters, Selasa (29/11).
Pidato tersebut datang ketika ketegangan meningkat antara kedua negara setelah jurnalis BBC yang bekerja di China, Ed Lawrence, ditangkap selama meliput protes terhadap kebijakan nol-COVID di Shanghai. Dia mengaku diserang dan ditendang polisi.
Sunak tidak hanya menyinggung unjuk rasa di China. Dia turut mengacu pada dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur di Xinjiang, serta pembatasan kebebasan pers di Hong Kong.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Sunak tentu tidak akan diterima baik oleh China. Tetapi, ini sebenarnya merupakan pesan yang lebih lunak dibandingkan masa kampanye Sunak. Dia pernah menyebut China sebagai 'ancaman nomor satu' terhadap keamanan domestik dan global.
Sejumlah demonstran memegang kertas putih saat menggelar unjuk rasa pembatasan COVID-19 di Beijing, China. Foto: Thomas Peter/REUTERS
Sejumlah anggota Partai Konservatif kerap mengkritik Sunak. Mereka menganggap Sunak tidak tegas seperti pendahulunya, Liz Truss, terhadap China. Saat menjabat sebagai Menkeu Inggris, Sunak menyerukan keseimbangan hubungan ekonomi dan masalah HAM.
Namun, sikap tersebut berubah. Sunak gagal bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping, pada sela-sela KTT G20 di Bali.
Inggris juga mulai melarang kamera CCTV buatan China di gedung-gedung pemerintahan sejak pekan lalu. Sunak mengatakan, Inggris harus mengubah pendekatannya terhadap China.
Tetapi, Sunak memperingatkan tentang risiko Perang Dingin. Dia menggarisbawahi, pengaruh global China tidak dapat diabaikan.
ADVERTISEMENT
"Kami menyadari China menimbulkan tantangan sistemik terhadap nilai-nilai dan kepentingan kami, tantangan yang semakin akut saat bergerak menuju otoritarianisme yang lebih besar," ujar Sunak.
"Tentu saja, kita tidak bisa begitu saja mengabaikan signifikansi China dalam urusan dunia untuk stabilitas ekonomi global atau masalah seperti perubahan iklim. AS, Kanada, Australia, Jepang, dan banyak lainnya juga memahami hal ini," tambah dia.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menghadiri acara Welcoming Dinner and Cultural Performance KTT G20 2022 di kawasan Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK), Badung, Bali, Selasa (15/11/2022). Foto: Fikri Yusuf/ANTARA FOTO
Menurut Sunak, Inggris perlu mengadopsi 'pragmatisme yang kuat' terhadap pesaing-persaingnya. Melanjutkan langkah pendahulunya, Inggris akan mempertahankan bantuan militer Ukraina pada 2023.
Berada di belakang Amerika Serikat (AS). Inggris menjadi donor militer terbesar kedua bagi Ukraina. Pemerintah mengucurkan bantuan sebesar GBP 2,3 miliar (Rp 43 triliun) sepanjang 2022.
"Jadi jangan ragu, kami akan mendukung Ukraina selama diperlukan. Kami akan mempertahankan atau meningkatkan bantuan militer kami tahun depan. Dan kami akan memberikan dukungan baru untuk pertahanan udara," jelas Sunak.
ADVERTISEMENT
Sunak mengatakan, Inggris perlu mengambil pendekatan jangka panjang serupa terhadap musuh dan pesaingnya, Rusia dan China.
"Dalam menghadapi tantangan ini, pemikiran jangka pendek atau angan-angan tidak akan cukup. Kita tidak dapat bergantung pada argumen atau pendekatan Perang Dingin, atau sekadar sentimentalitas tentang masa lalu," pungkas dia.