Politik Dinasti di Pilkada 2020 Rusak Sistem Politik: Seperti Zaman Kerajaan

23 Juli 2020 16:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KPU menggelar simulasi pemungutan suara Pilkada 2020 di Kantor KPU, Jakarta Pusat. Foto: Facebook/@KPU RI
zoom-in-whitePerbesar
KPU menggelar simulasi pemungutan suara Pilkada 2020 di Kantor KPU, Jakarta Pusat. Foto: Facebook/@KPU RI
ADVERTISEMENT
Perhelatan Pilkada 2020 dianggap menghadirkan kontestasi dari politik dinasti lantaran diikuti sejumlah calon yang berasal dari keluarga elite partai atau pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengatakan sebenarnya politik dinasti bukan merupakan hal baru yang terjadi dalam kontestasi politik Indonesia.
Egi menjelaskan langgengnya politik dinasti, lantaran adanya keinginan melanggengkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Padahal, kata dia, hadirnya politik dinasti merusak kesempatan bagi orang lain untuk maju sebagai calon kepala daerah.
"Masalahnya (politik dinasti) pertama, dia punya nafsu melanggengkan diri. Kedua bertujuan untuk kepentingan pribadi keluarga atau diri dia sendiri. Ketiga merusak sistem meritokrasi dan bisa merusak kesempatan orang maju," kata Egi dalam diskusi bertajuk 'Pilkada 2020 Uang Dinasti secara virtual, Kamis (22/7).
"Saya artikan politik sebagai upaya common good kebaikan untuk bersama. Tapi dinasti merusak common good," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Egi menuturkan penyebab dinasti politik tak pernah hilang dalam politik Indonesia lantaran psikologi kerajaan dan kesultanan yang masih melekat dalam politik Indonesia. Sehingga, selalu berujung terhadap personalisasi tokoh tertentu.
"Dinasti politik bukan fenomena baru. Penyebab kenapa Indonesia masih ada politik dinasti nilai feodal masih kuat. Kedua sisa psikologis kerajaan kesultanan masih ada dan berujung pada personalisasi tokoh," ujarnya.
Selain itu, demokrasi elektoral bedasarkan popularitas seorang tokoh masih menjadi strategi primadona partai politik dalam mengusung pasangan calon.
Konferensi pers ICW terkait penetapan Menteri di Kabinet Indonesia Maju. Foto: Abyan Faisal Putratama/kumparan
"Kenapa dinasti politik tumbuh subur, saya lihat ada beberapa hal, suka tidak suka demokrasi elektoral dengan pemilu langsung jadi penyebab menyandarkan popularitas dan politik uang," sebutnya.
Lebih lanjut, Egi menuturkan politik dinasti dapat diselesaikan dengan perbaikan regulasi dalam parpol. Namun, kata dia, hal itu dianggap sulit dilakukan karena representasi formal yang sudah terlanjur buruk.
ADVERTISEMENT
"Permasalahan dinasti bisa diselesaikan dengan perbaikan regulasi atau lewat parpol. Tapi menurut saya tidak cukup kalau kita gantungkan semata pada perbaikan parpol. Representasi formal sudah busuk. Contoh bukti kegagalan representasi formal kasus Gibran, bapak membiarkan anak atau bapak memanfaatkan anak," tuturnya.
"Sayangnya representasi formal sulit diubah karena sudah dijaga buzzer di medsos dan sebagainya. Ada polisi di sini UU ITE itu ada. Mesti ada upaya tandingan terhadap representasi formal yang membusuk," tandas Egi.