Polling kumparan: 80,93% Pembaca Tak Setuju Jika Jokowi Jadi Cawapres di 2024

3 Oktober 2022 15:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon presiden petahana nomor urut 01 Jokowi berjalan di hadapan pendukungnya saat kampanye di Batam. Foto: Antara/M N Kanwa
zoom-in-whitePerbesar
Calon presiden petahana nomor urut 01 Jokowi berjalan di hadapan pendukungnya saat kampanye di Batam. Foto: Antara/M N Kanwa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebanyak 80,93 persen pembaca kumparan menyatakan tidak setuju jika Jokowi menjadi cawapres di tahun 2024 mendatang. Pernyataan tersebut diperoleh berdasarkan polling kumparan yang diedarkan pada 19 September-3 Oktober 2022.
ADVERTISEMENT
Total ada sebanyak 2.176 responden yang menjawab polling ini. Sebanyak 1.741 orang di antaranya menyatakan 'Tidak Setuju’. Ini berarti, hanya ada 435 orang atau 19,07 persen yang menyatakan ‘Setuju’ jika Jokowi menjadi cawapres di Pemilu 2024.
Sebelumnya, wacana terkait Jokowi bisa jadi cawapres di Pemilu 2024 mendatang memang menuai polemik di masyarakat. Hal tersebut bermula dari ucapan Jubir MK Fajar Laksono yang menyebut tidak ada aturan eksplisit soal Presiden yang telah menjabat selama dua periode lalu mencalonkan diri sebagai Cawapres. Hal itu ia sampaikan kepada wartawan pada 12 September lalu.
Sehingga menurut Fajar, jika mengacu pada bunyi pasal tersebut, tidak terdapat adanya larangan bagi presiden dua periode untuk menjadi wakil presiden di periode berikutnya.
ADVERTISEMENT
Usai isu ini mencuat, Sekretariat Bersama (Sekber) Prabowo-Jokowi mengajukan gugatan atau judicial review UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu dilayangkan agar Jokowi bisa mengajukan diri menjadi cawapres.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi para hakim anggota memimpin jalannya sidang putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Meski begitu, Jokowi sempat tak ingin menanggapi wacana tersebut. Ia juga heran mengapa wacana seperti ini bisa muncul kembali. Pasalnya, sebelum isu cawapresnya beredar, Jokowi sempat dihadapkan dengan narasi soal presiden 3 periode hinggi perpanjangan masa jabatan.
"Urusan 3 periode sudah saya jawab. Begitu saya jawab, muncul lagi yang namanya perpanjangan. [Itu] juga sudah saya jawab. Ini muncul lagi sekarang jadi wapres," ujarnya.
"Itu dari siapa? Kalau dari saya akan saya terangkan. [Ini] bukan dari saya, saya enggak mau nerangin," tandas dia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, wacana tersebut juga dinilai memiliki problema konstitusional. Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, pun menentang pemahaman konstitusi yang disampaikan Jubir MK bahwa Jokowi bisa jadi cawapres di 2024.
"Soal apakah Presiden Jokowi dapat menjadi calon wapres dalam Pemilu 2024, jawabannya jelas tidak bisa. Mengapa? Karena Pasal 7 UUD 1945 membatasi masa jabatan presiden untuk maksimal 2 periode," ucap Denny.
Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari membuka acara Simulasi sistem informasi partai politik di Jakarta, Kamis (9/6). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Hal senada juga disampaikan Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari. Ia menjelaskan, dalam hal seseorang telah menjabat sebagai Presiden selama 2 kali masa jabatan dan kemudian mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden, akan terdapat problem konstitusional sebagaimana ketentuan norma Pasal 8 UUD.
Berikut uraiannya:
1. Bila A telah menjabat sebagai Presiden 2 kali masa jabatan mencalonkan diri sebagai cawapres, tetap sah dan tidak ada larangan dalam konstitusi.
ADVERTISEMENT
2. Bila B sebagai capres terpilih dan dilantik sebagai Presiden, dan A dilantik sebagai wapres, maka dalam hal terjadi situasi sebagaimana Pasal 8 UUD:
"Maka A tidak dapat menggantikan kedudukan sebagai Presiden karena A telah pernah menduduki jabatan selama 2 kali masa jabatan sebelumnya," kata Hasyim.
"Dalam situasi tersebut, A tidak memenuhi syarat sebagai Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 tentang Pemilu," tutur Hasyim.