Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Munculnya beberapa kisah mengenai manfaat ganja untuk pengobatan membuat beberapa pihak mengusulkan agar Indonesia melegalkan mariyuana untuk kepentingan medis.
ADVERTISEMENT
Seperti kisah Reyndhart Rossy di Kupang, NTT, yang mengaku penyakit kelainan sarafnya bisa diobati dengan meminum air rebusan ganja . Namun akhirnya ia harus dipenjara selama 10 bulan karena dinilai melanggar UU Narkotika terkait kepemilikan ganja.
Cerita lainnya juga pernah dialami Fidelis Ari Sudarwoto, seorang PNS di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, pada 2017. Fidelis menanam ganja sebagai obat untuk istrinya, Yeni Riawati, yang menderita Syringomyeila, penyakit langka yang menyerang sumsum tulang belakang.
Namun sejak diberikan ganja, Yeni merasakan sakit yang diderita berkurang dan perkembangan kondisi fisiknya semakin membaik.
Seperti halnya Reyndhart, Fidelis juga ditahan atas kasus kepemilikan ganja dan divonis 8 bulan penjara. Semenjak Fidelis ditahan dan Yeni tak lagi diberi ganja sebagai pereda sakitnya, kondisi Yeni semakin memburuk hingga akhirnya meninggal.
ADVERTISEMENT
Anjuran agar ganja dilegalkan untuk medis sebenarnya pernah disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal 2019. WHO menyatakan, ganja bisa digunakan untuk medis, namun harus ada kontrol yang ketat.
Sejauh ini beberapa negara yang melegalkan ganja untuk kepentingan medis seperti Kanada, Meksiko, Jerman, Denmark, Australia, dan Thailand.
Meski begitu, berbagai pertimbangan mengenai manfaat positif ganja tak membuat sikap Indonesia bergeser dalam menolak ganja untuk alasan apa pun, termasuk medis.
Dirtipidnarkoba Bareskrim Polri, Brigjen Pol Krisno Siregar, menegaskan Indonesia menolak legalisasi ganja untuk medis.
Krisno menyebut, kesepakatan itu diambil dalam rapat koordinasi antar-lembaga yang diprakarsai BNN dan dihadiri olehnya serta beberapa pejabat dari kementerian terkait. Kesimpulan dalam rapat itu akan menjadi jawaban Indonesia untuk Komite Ahli Ketergantungan Obat WHO.
ADVERTISEMENT
Krisno menyatakan, penolakan tersebut lantaran jenis ganja di Indonesia berbeda dengan yang tumbuh di Eropa atau Amerika.
"Perbedaannya dari hasil penelitian bahwa ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18%) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif," kata Krisno dalam keterangannya, Jumat (26/6).
Krisno mencontohkan, ganja medis yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk epilepsi, bukanlah ganja seperti yang ada di Indonesia. Ganja untuk medis tersebut telah melalui proses rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah.
Sedangkan ganja di Indonesia, kata Krisno, tak melalui rekayasa genetik karena tumbuh dari alam dengan kandungan THC tinggi dan CBD rendah.
ADVERTISEMENT
"Di samping itu sangat mudah tumbuh di hutan atau pegunungan kita. Maka ganja yang tumbuh di Indonesia bukanlah jenis ganja yang dapat digunakan untuk pengobatan," kata Krisno.
Lebih lanjut, Krisno menyatakan di Indonesia lebih banyak orang menggunakan ganja untuk bersenang-senang, ketimbang untuk medis. Sehingga apabila ganja dilegalkan, akan lebih banyak dampak buruknya.
"Dengan demikian, adanya rekomendasi legalisasi ganja oleh WHO justru akan menimbulkan permasalahan di Indonesia seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya penggunaan ganja," kata Krisno.
"Untuk itu, seluruh peserta sepakat untuk menolak rekomendasi WHO 5.4 dan 5.5 sebagai statemen dan sikap Indonesia atas rekomendasi tersebut," tutup Krisno.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
ADVERTISEMENT
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.