Potensi Mangrove di Pesisir Papua Barat: Ekowisata sampai Pusat Riset

21 Desember 2020 9:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti mengamati mangrove di Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti mengamati mangrove di Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
ADVERTISEMENT
Luas hutan mangrove di Papua Barat merupakan yang terbesar dibanding provinsi lain di Indonesia. Menurut data Conservation International Indonesia (CII), luasnya mencapai 482.029 hektare dari total 3,49 juta hektare luas hutan mangrove di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi di pesisir dan penyimpan karbon. Namun, tak dipungkiri, ekosistem mangrove juga kerap digunakan sebagai penunjang kesejahteraan masyarakat di pesisir pantai Papua Barat.
Meski hutan mangrove di Papua Barat luas, para peneliti dalam Ekspedisi Mangrove Yayasan Econusa, menemukan bahwa pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat pesisir di sekitar hutan mangrove tergolong rendah. Sebab, mereka memiliki alternatif pemanfaatan sumber daya alam lainnya dan belum bergantung ke mangrove.
“Umumnya masyarakat lokal di pesisir Selatan Papua Barat memanfaatkan ekosistem hutan mangrove untuk mencari hasil hutan guna memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari seperti ikan, kerang-kerangan, kepiting, teripang dan udang,” tulis laporan Ekspedisi Mangrove 2019 yang digawangi beberapa peneliti dari Universitas Papua dan Balitbangda Papua Barat.
ADVERTISEMENT
Dari temuan tersebut, belum tampak pemanfaatan mangrove dalam skala besar di wilayah ekspedisi di 9 kampung dan 5 Kabupaten di pesisir Papua Barat. Apa saja kira-kira yang pengembangan pemanfaatan mangrove yang bisa dilakukan di pesisir Papua Barat?

Kayu ekspor

Di sejumlah desa pesisir Papua Barat, masyarakat memanfaatkan kayu pohon mangrove untuk penyangga bangunan, seperti membangun rumah atau gereja. Kayu mangrove juga dapat memiliki nilai tambah ketika diproduksi dan diolah lagi dalam skala industri.
Salah satu yang memproduksi kayu mangrove di Papua Barat adalah PT Bintuni Utama Murni Wood Industies (BUMWI) di Pulau Amutu. Perusahaan kayu ini mengolah mangrove menjadi bahan yang siap diekspor.
“Dia mengelola kayu mangrove, dia buat dalam bentuk chip, dicacah begitu, dan diekspor. Banyak fungsinya diekspor ke luar negeri, bisa untuk bahan bakar untuk musim dingin untuk penghangat, dan lain sebagainya,” kata peneliti Ekspedisi Mangrove dari Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Jimmy F. Wanma, kepada kumparan 18 Desember 2019 silam.
Peneliti Kehutanan Universitas Papua, Jimmy F. Wanma mengamati mangrove di Kampung Air Besar, Fakfak. Foto: Agaton Kenshanahan
Jimmy mengatakan jika mangrove di pesisir Papua Barat dari sisi komposisi, usia, hingga diameter pohon sudah memenuhi syarat untuk dimanfaatkan kayunya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Tapi tetap saja harus memperhatikan aturan-aturan, harus memperhatikan kelestarian dan tata cara pengambilan yang tidak merusak lingkungan,” tambah Jimmy.

Ekowisata

Pemanfaatan mangrove di Papua Barat bisa juga bisa merambah ke ekowisata. Menurut Jimmy, wacana semacam itu sudah banyak didiskusikan di kalangan akademisi, praktisi, hingga birokrat yang peduli isu-isu kehutanan.
“Jadi mangrove bintuni itu ada orang-orang yang senang untuk mengeluarkan duit hanya untuk perjalanan mengitari sungai melihat tegakkan mangrove, memasuki celah-celah vegetasi mangrove. Kemudian mancing atau melakukan tracking atau hanya berjalan melihat-lihat mangrove. Itu berpotensi sekali ada yang suka melakukan itu,” kata Jimmy.
Warga memancing ikan di kawasan mangrove Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
Sembari menikmati hamparan pohon mangrove, para turis bisa melakukan kegiatan seperti birdwatching hingga mengamati kehidupan masyarakat tradisional di sekitar vegetasi mangrove. Itu merupakan kegiatan yang menurut Jimmy dapat ditawarkan paket ekowisata mangrove.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, Jimmy menyiasati tantangan pembangunan ekowisata mangrove di pesisir Papua Barat. Salah satunya adalah persoalan transportasi.
“(Misalnya), Bintuni itu kan jauh, untuk sampai ke sana itu kalau misalnya pakai ukuran Jakarta, berarti kita harus terbang sampai Manokwari terlebih dahulu, jalan darat sekian jam atau naik pesawat kecil lagi. Sampai di Bintuni baru kita naik speed boat untuk sampai ke lokasi yang indah tadi itu. Nah itu bisa jadi pertimbangan bagi orang yang mau ke sini, karena pasti biayanya juga tidak murah,” kata dia.

Produk UMKM

Di wilayah Indonesia lain petani mangrove lokal memanfaatkan mangrove sebagai produk-produk olahan UMKM. Misalnya di Mangunharjo, Semarang, Kelompok Tani Mangrove Lestari mengolah mangrove sebagai makanan, sirup, hingga pewarna batik.
ADVERTISEMENT
Manajer Program Ocean Yayasan Econusa, Wiro Wirandi, pun menyoroti hal tersebut. Menurutnya dalam Ekspedisi Mangrove, belum ditemukan masyarakat yang mengolah mangrove untuk berbagai produk semacam itu.
Kue Mangrove Foto: Warta Bromo
“Mereka tidak memanfaatkan mangrove olahan untuk dijual, ya mungkin karena enggak ada pembelinya. Bisa jadi kalau mereka bisa mengolah pun, di daerah sana memang enggak ada pembelinya juga,” kata pria yang akrab disapa Wiro itu kepada kumparan (18/12).
Secara terpisah, Jimmy pun mengamini Wiro. Menurutnya, masyarakat bisa mengolah mangrove jika memang ada penerimaan dan kebutuhan akan hal tersebut.
“Mungkin karena ketersediaan cukup, jadi belum ada perasaan kekurangan, karena selalu ada sumber dayanya. Tetapi bahwa tidak ada nilai tambah, hasilnya dasar sekali dari pemanfaatan itu,” tutur Jimmy.
ADVERTISEMENT

Pusat penelitian mangrove

Jimmy mengusulkan pemanfaatan mangrove di pesisir Papua Barat juga dapat dimaksudkan untuk tujuan pendidikan. Salah satunya dengan membangun pusat penelitian (research center) mangrove.
“Mungkin orang-orang di Asia Tenggara atau di dunia mau belajar mangrove datang ke Papua Barat, ditempatkan di satu tempat yang mangrovenya lengkap dalam struktur dan formasi, datang dan mempelajari bagaimana struktur dan formasi mangrove terbesar yang kita miliki ini, jadi bahan untuk pendidikan juga,” kata peneliti yang membidangi Ekologi itu.
Peneliti dari Ekspedisi Mangrove 2019 berdiskusi hasil pengamatan mangrove di Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
Menurut Jimmy, selama ini di Fakultas Kehutanan, harus turun ke lapangan mencari mangrove yang tersebar di Papua Barat. Para peneliti, menurutnya, bakal terbantu jika ada satu pusat riset di tengah hutan yang keadaannya bagus dan bebas dari gangguan.
ADVERTISEMENT
“Kita mungkin bisa ada temuan-temuan baru di hutan mangrove. Jadi pemanfaatan bisa ke arah situ,” tutupnya.