Prabowo Subianto, Rival Abadi di Pilpres yang Kini Merapat ke Jokowi

21 Oktober 2019 17:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prabowo Subianto tiba di Istana Negara, Senin (21/10/2019). Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto tiba di Istana Negara, Senin (21/10/2019). Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo akan segera mengumumkan nama-nama yang akan mengisi kabinetnya. Namun, sebelumnya, Jokowi terlebih dahulu memanggil para tokoh yang akan menjadi menteri ke Istana Merdeka, Jakarta, Senin (21/10).
ADVERTISEMENT
Salah satu tokoh yang dipanggil adalah mantan rival Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo Subianto. Kehadiran Prabowo ini semakin menguatkan kemungkinan sang rival abadi merapat ke kubu pemerintah.
Prabowo dikenal sebagai sosok yang berkali-kali maju ke pilpres. Namun, ia belum pernah berhasil menang, baik sebagai wapres maupun presiden.
Usai Pilpres 2019, Prabowo membuat gebrakan baru. Jika sebelumnya ia setia berada di kubu oposisi, ia mulai mencoba merapat ke kubu pemerintah.
Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo tiba di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
Lantas, bagaimana sepak terjang Prabowo sebagai rival pribadi yang kini menjadi kawan?
Prabowo memulai karier politiknya dengan bergabung dengan Golkar pada 2003 silam. Saat itu, ia mengikuti konvensi calon presiden dari partai berlambang beringin tersebut.
Prabowo lolos hingga babak terakhir bersama enam kandidat lainnya. Di fase terakhir, ia berhasil mengantongi dukungan dari 14 provinsi atau kedua terendah. Sementara itu, Jusuf Kalla yang mendapat suara dari 20 provinsi, malah dipinang oleh Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi cawapres. SBY-Jusuf Kalla kemudian menang Pilpres 2009.
ADVERTISEMENT
Golkar, saat itu, kemudian menyodorkan Wiranto sebagai capres berpasangan dengan Salahuddin Wahid alias Gus Sholah pada Pilpres 2004.
Ilustrasi Partai Gerindra Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Gagal maju sebagai capres tak membuat Prabowo patah arang berkarier di politik. Bersama adiknya, Hasyim Djojodikusumo, mantan aktivis Fadli Zon, dan mantan Deputi V BIN Muchdi Purwoprandjono, Prabowo mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra pada Februari 2008.
Partainya berkembang pesat dalam waktu singkat. Pada Pilkada 2009 saja, partai ini berhasil meraih suara 4,46 persen dan menempatkan 26 wakilnya di DPR RI.
Kesuksesan tersebut membuat Prabowo lebih percaya diri maju di Pilpres 2009. Pada Mei 2008, sebenarnya Prabowo sudah mendaftarkan diri sebagai capres di KPU. Namun, setelah proses tawar menawar, ia menerima pinangan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk menjadi calon wakil presiden di 2009.
ADVERTISEMENT
Namun lagi-lagi, Prabowo kalah di ajang pilpres. Pasangan ini gagal mengalahkan pasangan petahana, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang mendapatkan suara 60,8 persen. Prabowo dan Megawati pun menolak hadir dalam penetapan hasil pilpres.
Tapi ambisi Prabowo untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia tetap tidak padam. Di Pilpres 2014, Prabowo kembali mencalonkan diri sebagai capres. Kali ini, ia menggandeng kader PAN Hatta Rajasa.
Pasangan ini mendapatkan dukungan dari tujuh partai, sementara lawannya, Jokowi-JK hanya mendapatkan dukungan dari lima partai. Dengan jumlah kursi tertinggi di DPR, 51,9 persen, ditambah elektabilitasnya yang tinggi, Prabowo optimistis bisa menjadi presiden.
Tapi sekali lagi, Prabowo harus menelan pil pahit. Prabowo-Hatta kalah dengan jarak suara 6,3 persen.
Masih belum kapok, di Pilpres 2019, Prabowo maju lagi sebagai capres. Kali ini, ia menggandeng rekan satu partainya, Sandiaga Uno.
ADVERTISEMENT
Pencalonan Sandi sebagai cawapres sempat menimbulkan kontroversi. Sebab, posisi Sandi sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dinilai merugikan partai-partai pengusungnya yang lain seperti PKS, PAN, dan Demokrat. Untuk itu, Sandi pun memutuskan untuk mundur dari jabatannya di partai.
Dua kali bertarung, kali ini jarak suara Prabowo dengan Jokowi justru semakin luas. Prabowo kalah dengan jarak suara 27,24 persen. Meski sempat menggugat hasil pemilu ke MK, namun pasangan ini akhirnya tetap kalah.
Suasana Pilpres 2019 yang panas mulai mereda saat Prabowo bertemu dengan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (13/7) lalu.
Pendekatan Prabowo ke kubu pemerintah semakin terlihat saat ia mengadakan pertemuan terbuka dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, yang merupakan partai pengusung utama Jokowi-Ma'ruf. Pertemuan itu merupakan lanjutan dari pertemuan Prabowo dengan Jokowi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dalam acara itu, Prabowo mengaku bersediia membantu Jokowi jika ada masalah kebangsaan. Di sisi lain, Megawati mengaku bersedia menemani Prabowo jika ingin bertemu Jokowi. Pertemuan ini, lalu menguatkan sinyal Gerindra ingin segera mengakhiri rekam jejaknya sebagai pihak oposisi.
Jelang pelantikan presiden-wakil presiden terpilih, Prabowo sinyal merapat makin kuat. Pada 11 Oktober 2019, ia mendatangi Istana untuk bertemu dengan Jokowi. Hal itu sontak memunculkan isu kemungkinan Gerindra merapat ke pemerintah.
Benar saja, sehari setelah bertemu Jokowi, Prabowo pun rajin bersilaturahmi ke partai-partai pengusung Jokowi. Mulai dari NasDem, PKB, hingga Golkar.
Meski demikian, partai-partai pengusung pemerintah masih setengah hati menerima Gerindra di koalisinya. Salah satu alasannya adalah, mereka khawatir jika perbandingan oposisi dan koalisi tidak seimbang, sehingga tidak fungsi check and balance tidak berjalan.
ADVERTISEMENT
Isu tersebut rupanya juga sempat membuat internal Gerindra pecah menjadi dua kubu; kubu yang setuju bergabung dengan pemerintah dan yang tidak. Namun, saat menggelar rakornas di Hambalang, 16 Oktober 2019 lalu, Prabowo meyakinkan para kadernya agar siap bekerjasama dengan pemerintah jika diminta.
Masuknya Prabowo ke kubu pemerintah semakin ditegaskan dengan kehadirannya di Istana Negara, Senin (21/10). Prabowo tiba sekitar pukul 16.20 WIB bersama Wakil Ketua Gerindra Edhy Prabowo. Isu Prabowo menjadi Menhan makin menguat.