Profil GAR ITB, Wadah Alumni yang Laporkan Din Syamsuddin ke KASN

14 Februari 2021 10:25 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin saat menghadiri Kongres Umat Islam ke-VII di Bangka Belitung.  Foto: Andesta Herli Wijaya/ kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin saat menghadiri Kongres Umat Islam ke-VII di Bangka Belitung. Foto: Andesta Herli Wijaya/ kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan eks Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin, ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada Oktober 2020 dan Januari 2021. GAR menilai Din telah melanggar Undang-Undang yang melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) berpolitik.
ADVERTISEMENT
Din Syamsuddin memang menjabat dosen FISIP di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan berstatus ASN. Din juga menjadi anggota Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Bandung (MWA ITB) dari kalangan masyarakat periode 2019-2024.
Di media sosial, publik ramai membicarakan GAR ITB. Organisasi ini disebut-sebut tidak terafiliasi ITB dan tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM.
Jadi, apa sebetulnya GAR?
Anggota GAR ITB, Nelson Napitupulu, menegaskan GAR memang bukan organisasi masyarakat maupun struktural. GAR adalah wadah bagi alumnus ITB yang concern terhadap maraknya radikalisme dan intoleransi di Indonesia secara umum, dan di ITB secara khusus.
"Wadah ini terbuka untuk seluruh alumnus ITB yang memiliki concern yang sama. Kita enggak pakai ketua umum. Kita adalah kumpulan orang-orang yang concern terhadap radikalisme yang terjadi, khususnya di civitas akademika ITB. Concern-nya di situ. Struktur organisasinya enggak ada," ujar Nelson saat dihubungi kumparan, Minggu (14/2).
Din Syamsuddin Foto: Helmi Afandi/kumparan
"Kita selalu diskusi, berbicara, menyampaikan sesuatu. Kita tidak mendaftarkan diri ke Kemenkumham sebagai Ormas," sambungnya.
ADVERTISEMENT
GAR ITB didirikan pada akhir tahun 2019. Semua berawal dari diskusi aktif di WhatsApp group.
Sebelum GAR berdiri, sekumpulan alumnus lintas universitas bergabung dan menamakan diri mereka sebagai Nusa Kinarya Rumah Indonesia (NKRI). Isunya pun lebih luas, membahas Pancasila dan radikalisme di kampus.
"Ada alumni ITB, UI, UIN, Universitas Pancasila, dan sebagainya. Tapi ini tidak mengatasnamakan lembaga, murni kumpulan individu-individu," kata Nelson.
"Jadi sebetulnya awalnya bukan eksklusif ITB, jadi memang ini awalnya adalah sekumpulan orang orang termasuk saya, concern soal radikalisme, kemudian kita berkumpul dengan beeberapa Perguruan tinggi dari kampus lain," imbuh Nelson.
Di waktu yang sama, kata Nelson, isu intoleransi di ITB kian menguat. Oleh karena itu, NKRI berganti nama dan hanya difokuskan untuk isu di ITB.
ADVERTISEMENT
"Kemudian karena pada saat itu di ITB lumayan kuat intoleransi, dibuatlah GAR, sebelumnya namanya NKRI. Karena ada persoalan lebih spesifik di ITB, maka kita bikin GAR saja. Maka ditambahkan ITB-nya, jadi hanya alumnus ITB, teman-teman kampus lain jadi tidak ikut di situ," kata Nelson.
Menurut Nelson, keanggotaan di WhatsApp group dibuat per angkatan tahun alumni karena terbatas kapasitas maksimum, yakni 250 orang. Setelah berdiskusi di WAG, para perwakilan GAR bertemu secara tatap muka maupun online untuk merumuskan kembali pendapat para anggota.
"Kalau yang aktif, kalau mau dibilang sebagai motor, mungkin ada sekitar 20 orang, ya, tapi kita ada semua, ya, boleh ngasih saran, merespons, ada berita, diskusi," tutur Nelson.
ADVERTISEMENT
"Kita basisnya awalnya adalah WAG, jadi kita diskusi di situ, kemudian kalau ada hal yang dianggap penting maka beberapa orang akan berkumpul, mendiskusikan offline. Lalu silakan yang lain dirumuskan, sukarelawannya, ya, relawan bebas saja, siapa saja yang mau merumuskan, baik itu secara teks dan diedit apa yang kurang, lalu dilempar ke forum, drafnya seperti ini, kemudian ada menanggapi, sebaiknya bagaimana, dikoreksi," sambungnya.
Nelson menyebut, hingga kini, GAR aktif menggelar diskusi dan rapat terbuka. Beberapa tokoh pun diundang, termasuk alumnus senior seperti tokoh politik di era Orde Baru sekaligus eks Menteri Kelautan dan Perikanan, Sarwono Kusumaatmadja.
"Pernah mengundang juga Pak Sarwono, Sarwono Kusumaatmadja, dia alumni ITB yang pernah punya pengalaman di republik ini," kata Nelson.
ADVERTISEMENT
Terkait pelaporan terhadap Din, Nelson menegaskan bukan karena radikalisme. Namun, Din dianggap telah melanggar UU ASN karena telah berpolitik.
"Ya, kan ada mendirikan KAMI, menentang pemerintah, itu kan tidak boleh, ada UU-nya, sebagai ASN. Kalau dia sebagai profesional non-ASN, ya, boleh boleh saja. Kedua, dia adalah MWA ITB. Ini kenapa dia yang diprotes, disampaikan pengaduan, karena menyangkut ITB, kan GAR ini ITB centre, jadi memperterang hal hal yang terjadi di ITB, din syamsuddin itu MWA ITB," kata Nelson.
"Jadi yang kita persoalkan di sana, seorang anggota MWA yang adalah ASN melakukan praktik politik praktis, termasuk menghasut, menebar hoaks," pungkasnya.