Profil Peraih Nobel Uskup Belo yang Dituduh Lecehkan Anak Laki-laki di Timtim

29 September 2022 12:43 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Carlos Filipe Ximenes Belo. Foto: Twitter/@UNDPNorway
zoom-in-whitePerbesar
Carlos Filipe Ximenes Belo. Foto: Twitter/@UNDPNorway
ADVERTISEMENT
Peraih Nobel Perdamaian, Carlos Filipe Ximenes Belo, mengadang tuduhan pelecehan seksual terhadap sejumlah remaja laki-laki ketika menjadi uskup di Timor Timur. Ia bertugas di eks provinsi ke-27 Indonesia antara 1980-an hingga 1990-an.
ADVERTISEMENT
Laporan itu diungkap salah satu majalah mingguan sayap kiri asal Belanda, De Groene Amsterdammer. Pihaknya meluncurkan investigasi usai mendengar kesaksian seorang pria Timor pada 2002. Saksi itu mengatakan, temannya mengalami pelecehan seksual oleh Belo.
"Pada November 2002, uskup [Belo] tiba-tiba mengundurkan diri. Sejak saat itu, rumor tentang dugaan pelecehan seksual tumbuh menjadi rahasia publik besar-besaran," tulis De Groene, dikutip pada Kamis (29/9).
"Sejumlah wartawan mencoba meliput kasus tersebut. Tetapi uskup itu 'terlalu kuat untuk jatuh'," imbuhnya.
De Groene mengatakan, para korban pelecehan kesulitan mengungkapkan pengalaman mereka. Sebab, mereka takut menghadapi stigma, pengucilan, ancaman, hingga kekerasan.
Bagaimanapun juga, Belo bukan hanya pernah memimpin Gereja Katolik di Timor Leste. Dia juga merupakan pahlawan nasional dan simbol harapan. Sosoknya tersohor kala memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia.
Peraih Nobel Perdamaian Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo memercikkan air suci saat upacara pemberkatan patung Raja Kristus raksasa yang menghadap ke Teluk Dili (24/11/1996). Foto: John Macdougall/ AFP
Disadur dari RFK Human Rights, Belo lahir pada 3 Februari 1948 di sebuah desa kecil di Timor Timur, Wailakama. Saat itu, tanah airnya masih menjadi negara jajahan Portugal. Sepanjang hidupnya, Belo dibesarkan oleh keluarga petani dan dididik di sekolah Katolik.
ADVERTISEMENT
Belo adalah anak kelima dari pasangan Domingos Vaz Filipe dan Ermelinda Baptista Filipe. Ayahnya yang merupakan seorang guru meninggal dunia dua tahun setelah dia lahir. Keluarga Belo mengarungi kemiskinan mendalam yang mencekik seluruh bangsa.
Belo lantas mulai bekerja di sawah sejak masih balita. Terkadang, dia harus berjalan tiga jam dalam sehari untuk mendapatkan beras. Ketika masih kecil, Belo senang berpura-pura menjadi uskup.
Dalam biografi From the Place of the Dead: Bishop Belo and the Struggle for East Timor (1999), Belo dikatakan pernah meletakkan kulit jeruk bali pada kepalanya. Dia lalu mengambil batang untuk dijadikan crozier dan meminta sepupunya untuk mencium tangannya.
Masa kecilnya tersebut lalu dihabiskan di sekolah-sekolah Katolik di Kota Baucau dan Kota Ossu. Belo kemudian melanjutkan pendidikannya di seminari Dare di luar Dili sebelum lulus pada 1968.
ADVERTISEMENT
Belo sempat bepergian ke Portugal untuk mempelajari teologi dan filsafat setelah menjadi anggota Serikat Salesian atau Salesian Don Bosco (SDB) pada 1973. Selama masa itu, Timor Timur mendapatkan kemerdekaan dari Portugal, tetapi kemudian memilih bergabung dengan Indonesia.
Mantan Panglima Daerah Militer IX Udayana Mayjen Sintong Panjaitan (kiri) bersalaman dengan Uskup MGR (Monseigneur) Carlos Filipe Ximenes Belo saat upacara sertijab Pangdam IX Udayana di lapangan Puputan , Badung, Bali. Foto: Jalil Hakim/TEMPO
Belo ditahbiskan sebagai imam di Portugal pada 1980. Dia bergegas kembali ke Timor Timur untuk mengajar sebagai guru. Setibanya, Belo terkejut menyaksikan kemiskinan dan kekejaman perang.
Belo sempat bertugas sebagai Direktur di Kolese Salesian di Fatumaca. Delapan tahun kemudian, Belo diangkat sebagai Administratur Apostolik Diosis Dili oleh mantan Presiden RI, Soeharto. Dia mengambil alih kepemimpinan Gereja Katolik Timor Timur.
Dalam posisi barunya, Belo mewakili suara rakyat dengan blak-blakan. Selang lima bulan setelah diangkat, dia menyampaikan khotbah yang memprotes keras kebrutalan Pembantaian Kraras. Belo sering kali mengorganisasi protes massal yang berlangsung secara damai.
ADVERTISEMENT
"Meskipun banyak ancaman terhadap hidupnya, Uskup Belo terus berbicara untuk perlawanan tanpa kekerasan terhadap penindasan," tulis laman Nobel Peace Summit.
Sepanjang gerakan kemerdekaan Timor Timur, Belo berteguh pada perlawanan tanpa kekerasan. Sejak diangkat menjadi uskup, Belo mendengarkan orang-orang yang menceritakan penyerbuan, penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan oleh pasukan Indonesia.
Anak-anak menghadiri peringatan HUT ke-20 Restorasi Kemerdekaan Timor Leste di Istana Kepresidenan Timor Leste, Dili, Jumat (20/5/2022). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Belo kemudian menyelundupkan surat kepada Presiden Portugal, Paus, dan Sekretaris Jenderal PBB pada 1989. Dia meminta bantuan internasional untuk masyarakat di Timor Timur.
"Kami sedang sekarat sebagai sebuah bangsa dan sebuah negara," tulis surat Belo, dikutip dari Pillar Catholic.
Setelah pembantaian berdarah pada 1991, Belo juga berhasil menyelundupkan dua saksi ke Jenewa. Mereka mengungkapkan pelanggaran HAM kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNCHR).
ADVERTISEMENT
Belo merilis sebuah pernyataan terbuka pada 1994. Dia menuntut penarikan pasukan Indonesia, serta pemberian hak-hak sipil dan perizinan untuk referendum Timor Timur. Berkat usaha-usahanya, Belo menerima Penghargaan Nobel Perdamaian pada 1996.
Timor Timur akhirnya mendapatkan referendum tentang penentuan nasib sendiri pada 1999. Pemerintah transisi PBB kemudian menuntun negara itu hingga merdeka sepenuhnya pada 2002.
"Saya berbicara tentang hal-hal ini sebagai seseorang yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesaksian atas apa yang telah saya lihat dan dengar, untuk bereaksi terhadap apa yang saya tahu benar, untuk menjaga nyala api harapan tetap hidup, untuk melakukan yang mungkin dilakukan untuk menghangatkan bumi untuk satu hari lagi," ungkap Belo, dikutip dari laman RFK Human Rights.
Kelompok pro-kemerdekaan Fretilin Timor Timur menyerukan hak asasi manusia dalam misa yang dirayakan oleh Paus Yohanes Paulus II 12 Oktober 1989 di Dili, ibu kota Timor Timur. Foto: Kerry Weavind/AFP
De Groene mengatakan, upaya untuk membeberkan kasus-kasus pelecehan seksual oleh Belo sempat mengemuka setelah kemerdekaan Timor Leste. Namun, ada kekhawatiran bahwa skandal semacam itu dapat membawa dampak menghancurkan pada negara.
ADVERTISEMENT
Negara itu baru saja memperoleh kemerdekaan, tetapi Belo secara tiba-tiba mengundurkan diri dari keuskupan Dili. Paus membebaskan Belo yang saat itu berusia 54 tahun dari tugasnya pada 26 November 2002. Belo beralasan bahwa dia menderita kelelahan fisik dan mental.
Belo meninggalkan Timor Leste untuk menjalani perawatan kesehatan di Portugal pada Januari 2003. Dia juga mengambil posisi sebagai asisten pastur di Mozambik selama beberapa tahun sebelum kembali lagi ke Portugal. Belo masih tinggal di negara itu hingga kini.
De Groene mengeklaim, Vatikan mengetahui tuduhan-tuduhan terhadap Belo bahkan sejak pengunduran dirinya. Tetapi, pihaknya tidak mendisiplinkan dia secara terbuka. De Groene mengatakan, Belo juga menghadapi pembatasan perjalanan oleh Vatikan sejak 2002.
Alhasil, dia tidak boleh kembali ke negara asalnya. Hukuman pengasingan jarang dikenakan oleh Vatikan, tetapi biasa digunakan dalam kasus pelecehan seksual oleh uskup. Ketua Konferensi Waligereja Timor Leste mengonfirmasikan pembatasan tersebut.
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Shutter Stock
"Dia harus meminta izin dari Vatikan untuk melihat apakah mereka mengizinkannya datang [ke Timor Leste] atau tidak," terang Uskup Norberto do Amaral dalam sebuah wawancara pada September 2019.
ADVERTISEMENT
"Atas masalah mengapa dia tidak bisa datang, silakan tanyakan pada Vatikan'," sambung dia.
De Groene menghubungi 20 orang yang mengetahui dugaan pelecehan oleh Belo. Kantor berita itu berbicara kepada politikus, pihak profesional dan gereja, hingga pekerja LSM. Separuh sumber mereka mengenal korban, sedangkan yang lainnya mengetahui kasusnya.
De Groene turut menjangkau para korban. Tetapi, sebagian dari mereka tidak ingin mengangkat pengalamannya ke media.
Kasus kekerasan itu dikatakan berlangsung dalam jangka waktu lama. Dua korban yang mengungkap pengalamannya kepada De Groene mengaku dilecehkan Belo pada 1990-an.
Tetapi, De Groene mengatakan, Belo melakukan tindak kekerasan tersebut bahkan sebelum menjadi uskup, yakni pada 1980-an di Desa Fatumaca. Dalam periode tersebut, Belo sedang bekerja di SDB.
ADVERTISEMENT
De Groene mengutip dua korban yang mengaku mendapatkan uang setelah mengalami kekerasan oleh Belo, yakni Paulo dan Roberto. Keduanya merahasiakan identitas asli mereka.
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
Paulo mengatakan, dia mengalami pelecehan seksual saat masih berusia 15 atau 16 tahun ketika mengunjungi kediaman Belo di Dili. Sementara itu, Roberto berkali-kali melewati kekerasan seksual sejak berusia sekitar 14 tahun di biara maupun di rumah Belo.
Paulo kini berusia 42 tahun, sementara Roberto berusia 45 tahun. Para pria itu mengeklaim telah menyaksikan anak-anak laki-laki lainnya yang juga kerap dipanggil ke kediaman Belo.
"Dia tahu bahwa para anak laki-laki ini tidak punya uang. Jadi ketika dia mengundang Anda, Anda datang dan dia memberi Anda sejumlah uang," ujar Paulo.
ADVERTISEMENT
De Groene telah meminta tanggapan Gereja Katolik. Pihaknya menghubungi Takhta Suci, Dicastery for the Doctrine of the Faith (DDF), Uskup Agung Dili Virgílio do Carmo da Silva, dan Rektor Mayor SDB Ángel Fernández Artime. Tetapi, mereka belum merespons.
De Groene juga mengaku telah secara langsung berusaha menghubungi Belo. Pihaknya mengatakan, Belo segera menutup telepon mereka sesaat setelah mengangkatnya.
"Yang saya inginkan adalah permintaan maaf dari Belo dan gereja. Saya ingin mereka mengakui penderitaan yang menimpa saya dan orang lain, sehingga kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan ini tidak terjadi lagi," ungkap Roberto.
Ketika ditanyai tentang pemberitaan tersebut, Vatikan mengatakan bahwa pihaknya mengetahui laporan De Groene. Vatikan mengatakan, pihaknya akan meluncurkan penyelidikan terkait.
ADVERTISEMENT
"[Vatikan akan] memeriksa informasinya," jelas juru bicara Vatikan, Matteo Bruni, dikutip dari Kyodo News, Kamis (29/9).