Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Proklamasi Teduh di 17 Agustus: Kami Bangsa Merdeka
17 Agustus 2017 7:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Pandu Kartawiguna merasa gelisah. Pemuda itu bingung dan heran karena tak ada aksi massa besar-besaran usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan. Mestinya, menurut dia, pernyataan kemerdekaan diikuti oleh tindakan radikal semacam rakyat Paris menjebol Penjara Bastille saat Revolusi Prancis yang meruntuhkan pemerintahan monarki absolut di negeri itu.
ADVERTISEMENT
Padahal, sejak sepekan sebelumnya, Pandu telah bersiap menyambut Proklamasi dengan terus membawa sebilah keris bersamanya. Senjata tajam itu, menurut Pandu seperti diceritakan Julius Pour dalam Djakarta 1945: Awal Revolusi Kemerdekaan, merupakan keris pusaka warisan leluhur.
Keris tersebut diniatkan Pandu digunakan untuk “menjaga keselamatan pribadi dan membunuh para pengkhianat bangsa.”
Dengan membawa keris itu pula, Pandu dan kawan-kawannya berkumpul di kawasan Pasar Senen. Mereka mendengar kabar dua anggota kelompok mereka, Chaerul Saleh dan Sukarni Kartodiwirjo, menghilang dan diduga ditawan Jepang.
Chaerul Saleh dan Sukarni merupakan pentolan tokoh muda yang berperan di sekitar Proklamasi. Mereka pemimpin Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31, termasuk di antara para pemuda yang sejak awal mendesak Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa memedulikan “restu” Jepang, dan bagian dari otak peristiwa Rengasdengklok yang “menculik” Sukarno-Hatta selama sekitar 14 jam.
ADVERTISEMENT
Para pemuda, salah satunya dengan membawa pistol curian, lantas bergegas ke Kantor Kempetai (polisi militer Jepang) di Kebon Sirih.
Di ruang tahanan, Sukarni berteriak keras, “Tidak apa-apa kami mati, karena Indonesia sudah merdeka. Tanahnya akan disuburkan darah orang-orang Jepang yang akan segera kami sembelih.”
Tak perlu lama menunggu, Sukarni dan Chaerul Saleh segera bebas setelah Kantor Kempetai didatangi mahasiswa. Petugas yang menahan mereka khawatir dengan ancaman pemuda untuk melakukan sweeping atas orang-orang Jepang di seantero Jakarta.
Demikianlah pemuda-pemuda Indonesia yang biasa diburu Jepang jika “berulah”, kini berbalik menggertak Jepang, seiring keberanian yang muncul pasca-Proklamasi yang menurut mereka terlampau tenang itu.
Meski menurut kelompok pemuda Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kurang revolusioner dan berkobar, antusiasme masyarakat tak dapat dibantah.
ADVERTISEMENT
Shigetada Nishijima, Juru Bahasa Laksamana Tadesha Maeda, perwira Jepang yang rumahnya dipakai para tokoh Indonesia untuk merumuskan naskah Proklamasi, terbangun pukul 09.00 karena mendengar derap orang-orang melintas di depan rumahnya, Jalan Kebon Sirih.
Begitu melongok keluar, Nishijima kaget melihat ratusan orang berbaris seperti militer. Mereka bergerak teratur sembari membawa bambu runcing dan bendera Merah Putih. Orang-orang itu menyanyikan lagu-lagu yang di telinga Nishijima terdengar sangat bersemangat dan membuat bulu kuduk merinding.
Pagi masih muda ketika rakyat bergelombang mendatangi halaman rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56, Menteng. Total seribu orang lebih berkumpul di kediaman Sukarno, meluber hingga ke jalanan.
“Barisan pertama justru datang dari Tangerang dan Klender. Pakaian mereka umumnya compang-camping… Meski penampilan mereka berantakan, dari sorot mata mereka, tampak semangat menyata-nyala. Mereka membawa bambu runcing atau golok,” kata Shodanco Latief Hendraningrat, prajurit PETA yang mengerek Bendera Merah Putih, seperti ditulis Julius.
ADVERTISEMENT
Menjaga seribu lebih massa jelas bukan perkara mudah, dan itulah yang mesti dilakukan Dr. Moewardi, Komandan Barisan Pelopor. Ia mengerahkan anggotanya yang menyandang bambu runcing dan ragam senjata tajam lain. Mereka berjaga mengelilingi lokasi upacara di halaman kediaman Sukarno.
Ketegangan melingkupi para penjaga dan hadirin, seiring naiknya matahari. Suasana makin mencekam karena Proklamasi belum juga dibacakan. Semua cemas tentara Jepang akan keburu datang menyerbu, menggagalkan acara, membatalkan Indonesia Merdeka.
Osa Kurniawan Ilham, dalam bukunya, Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi, menuliskan bahwa Dr. Moewardi, komandan yang bertanggung jawab atas keselamatan hadirin menjelang Proklamasi, memberanikan diri masuk ke kamar Sukarno dan mendesaknya segera membacakan Proklamasi tanpa Hatta, jika Hatta tak juga tiba.
Tapi Sukarno tegas menolak usul itu. Ia--yang pagi itu diserang demam tinggi sehingga harus disuntik dokter--yakin Hatta akan datang tepat waktu pukul 10.00 sesuai kesepakatan.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak akan membacakan Proklamasi kalau tidak bersama Bung Hatta, titik. Kalau tidak mau menunggu, silakan baca proklamasi sendiri.”
Bagi Sukarno, keberadaan Hatta di sampingnya amat vital. Hatta bukan sekadar tokoh bangsa dan sahabat bertukar pikiran, melainkan juga “pengaman” dan “jaminan” bagi umur panjang Indonesia yang akan diproklamasikan.
Dalam hati, Sukarno berucap, “Aku memerlukan Hatta, karena aku orang Jawa dan Hatta dari Sumatera. Demi persatuan, aku memerlukan seseorang dari Sumatera. Hatta adalah pilihan paling baik agar bisa menjamin datangnya dukungan dari rakyat di pulau besar itu. Sukarno dan Tanah Air Indonesia menunggu kedatangan Hatta.”
Lima menit sebelum pukul 10.00, Hatta--yang hanya perlu berjalan kaki lima menit menuju kediaman Sukarno--tiba di Pegangsaan Timur 56.
ADVERTISEMENT
“Bung Hatta datang!” seru orang-orang, menyebarkan rasa lega ke seluruh hadirin di jalanan dan halaman rumah Sukarno.
Bersama Hatta, Sukarno keluar rumah. Setelah itu, semuanya berjalan serba-cepat. Pidato singkat disampaikan, dan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan Sukarno.
“... Sekarang telah tiba saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam genggaman tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangannya, akan dapat berdiri dengan kuat.”
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun ‘05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta
“Bagi saya, Proklamasi Kemerdekaan itu antiklimaks sesudah tiga tahun kami harus hidup dalam suasana tegang serta konspirasi untuk bisa mengejar cita-cita kemerdekaan dengan beragam kegiatan tanpa mengenal lelah, tanpa merasa haus dan lapar. Suasana penuh ketegangan terus-menerus sejak 14 Agustus berakhir dengan pembacaan Proklamasi--terdiri dari beberapa kalimat kering, ditulis di rumah seorang pembesar Jepang… dan dibacakan dengan nada datar oleh Sukarno yang tubuhnya secara kebetulan diserang demam,” ujar Abu Bakar Lubis dari kelompok pemuda, dalam bukunya, Kilas Balik Revolusi.
ADVERTISEMENT
Hari itu, Jumat 17 Agustus 1945 di bulan Ramadan yang teduh, Proklamasi bergaung di Jakarta tanpa pertumpahan darah.
Sukarno dalam biografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, menyebut 17 sebagai angka favoritnya.
“17 merupakan angka yang suci. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam bersembahyang 17 rakaat dalam sehari. ...sudah menjadi kemauan Tuhan bahwa pembacaan Proklamasi akan jatuh di hari-Nya yang keramat.”
Selamat Hari Merdeka.
Untuk anda yang punya cerita menarik seputar riwayat Proklamasi Kemerdekan Indonesia, atau #Momentum72 tahun Indonesia merdeka saat ini, atau bahkan soal perlombaan 17 agustusan unik di lingkungan sekitar, sila berbagi cerita via akun kumparan.
Jika belum punya akun kumparan, bisa langsung buat dengan mudah. Klik panduan berikut: Q & A: Cara Membuat Akun & Posting Story di kumparan
ADVERTISEMENT
Jangan lupa masukkan topik Momentum 72 saat mem-publish story ;)
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.