Putusan Hakim di Kasus Gazalba Dikhawatirkan Picu Banjir Eksepsi Terdakwa KPK

29 Mei 2024 12:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh berupaya menghindari pertanyaan wartawan saat keluar dari Rumah Tahanan Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Rutan KPK di Jakarta, Senin (27/5/2024). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh berupaya menghindari pertanyaan wartawan saat keluar dari Rumah Tahanan Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Rutan KPK di Jakarta, Senin (27/5/2024). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Putusan sela majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengabulkan eksepsi terdakwa Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh karena Jaksa KPK dinilai tak punya delegasi dari Jaksa Agung dianggap akan jadi preseden buruk di perkara yang ditangani KPK.
ADVERTISEMENT
Pegiat antikorupsi mengkhawatirkan putusan tersebut memicu terdakwa lain menggunakan dalil yang sama. Sebab, selama ini dan dalam aturannya, KPK memang tidak harus memiliki delegasi dari Jaksa Agung dalam melakukan penuntutan.
KPK memiliki kewenangan sendiri melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan sesuai yang diamanatkan UU No.19 tahun 2019. Sehingga putusan yang dijatuhkan hakim Fahzal Hendri dkk itu dinilai menjadi contoh buruk.
“Dampak dari putusan ini dapat signifikan. Hal tersebut dapat menimbulkan upaya para tersangka dan terdakwa KPK menggunakan pendekatan yang sama. Pada akhirnya akan terjadi banjir upaya eksepsi dengan menggunakan dasar yang sama sehingga pada akhirnya upaya penuntutan KPK menjadi sia-sia,” kata Ketua IM57+ Institute — organisasi eks KPK — M Praswad Nugraha, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/5).
Markas IM57+ Institute. Foto: Twitter/@tatakhoiriyah
Hal serupa juga disampaikan ahli hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan. Kata dia, bila putusan sela ini dikuatkan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, maka semua perkara korupsi yang ditangani KPK bisa saja akan mengajukan PK.
ADVERTISEMENT
“Bila putusan sela ini dikuatkan di PT [Pengadilan Tinggi], maka seluruh terpidana tipikor yang ditangani KPK, akan mengajukan PK (untuk yang belum pernah PK), dan semua ‘akan’ dilepaskan. KPK dengan sendirinya tidak dapat melanjutkan penangan perkara Tipikor,” kata Agustinus kepada kumparan.
Putusan PN Jakarta Pusat ini akhirnya dianggap turut melemahkan KPK. Terlebih sebelumnya KPK juga kalah di praperadilan kasus Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej.
“Dalam pra peradilan yang diajukan eks Wamenkumham, KPK juga kalah karena persoalan prosedur berkaitan dengan penyelidikan yang sejak lama menjadi standar di KPK. Lalu KPK akan sekadar menjadi lembaga pencegah korupsi, sebagaimana belakangan diharapkan berbagai pihak. Inikah akhir dari KPK?” kata Agustinus.
Momen Gazalba Saleh keluar dari Rutan KPK, Senin (27/5/2024). Foto: Hedi/kumparan
IM57+ juga menilai bahwa putusan sela tersebut sebagai upaya untuk melemahkan independensi dan fungsi penindakan KPK. “Ternyata hakim berpotensi ikut serta di dalamnya,” ungkap Praswad.
ADVERTISEMENT
Praswad menjelaskan, putusan yang mengabulkan eksepsi Gazalba Saleh mengesampingkan KPK sebagai lembaga independen. Pertimbangan hakim menyebut Direktur Penuntut Umum KPK harus mendapatkan delegasi dari Jaksa Agung untuk melakukan penuntutan.
Pertimbangan Fahzal dkk itu dianggap tak sejalan bahkan berlawanan dengan pilar independensi KPK, yaitu one roof enforcement system, yang artinya proses pengaduan masyarakat, penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan berada di satu atap. Tidak boleh diintervensi oleh lembaga lainnya.
Konsep ‘satu atap’ itu ada sebagai jawaban didirikannya KPK, lembaga yang kala itu dicanangkan untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi ketika lembaga lain tidak optimal menjalankan fungsinya.
“Itulah mengapa desain kekhususan tercermin di dalam UU KPK sebagai lex specialis dari UU lainnya. Apabila ini [putusan sela] diterapkan maka independensi KPK akan hilang karena setiap proses penuntutan harus mendapatkan ‘persetujuan’ dari Jaksa Agung melalui delegasi. Artinya otoritas penuntutan KPK berada di bawah Jaksa Agung,” imbuh Praswad.
IM57+ Institute bentukan eks pegawai KPK melakukan pendampingan penyusunan peraturan Rektor UNJ terkait pengendalian gratifikasi. Foto: Dok. Istimewa
IM57+ mempertanyakan tujuan dari rangkaian putusan sela Gazalba Saleh yang tidak begitu berjauhan dengan jarak dikabulkannya praperadilan Wamenkumham yang kala itu juga hendak mengubah sistem pendidikan KPK. Praperadilan Eddy dikabulkan karena hakim menilai KPK harus melakukan proses penyidikan proses umum yang berbeda dan tidak sesuai dengan definisi dalam UU KPK.
ADVERTISEMENT
“Inilah menjadi sinyal adanya upaya pelemahan KPK yang berpotensi terjadi secara sistematis pasca revisi UU KPK. Terlebih, perlu didalami adanya potensi konflik kepentingan dalam penanganan perkara hakim agung ini karena dilakukan diluar kewenangan eksepsi dan didasarkan pada alasan yang tidak sesuai UU KPK,” pungkas Praswad.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat konfrensi pers kasus korupsi sistem proteksi TKI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/1/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dampak putusan sela ini juga dikhawatirkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Bagi dia, bila hakim Tipikor semua berpendapat sama, maka kasus-kasus yang diproses KPK akan terhenti.
“Bisa-bisa perkara-perkara yang saat ini sedang dalam proses naik ke penuntutan juga terhenti kalau hakim-hakim lainnya juga berpendapat sama,” kata Alex kepada wartawan, Selasa (28/5).
Putusan sela mengabulkan eksepsi Gazalba Saleh yang diketok majelis hakim PN Jakarta Pusat menuai sorotan. Selain pertimbangan dianggap janggal, amar putusannya juga tidak biasa, yakni langsung membebaskan Gazalba Saleh pada putusan sela. Padahal hakim belum memeriksa pokok dan materi dakwaan Jaksa KPK.
ADVERTISEMENT
Ini kedua kali Gazalba melenggang keluar Rutan KPK. Sebelumnya, pada perkara dugaan suap dia juga divonis bebas.