Putusan MK: Eks Koruptor Harus Tunggu 5 Tahun Jika Ingin Maju Pilkada

11 Desember 2019 12:04 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat sidang putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. 
 Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat sidang putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Gugatan yang diajukan ICW dan Perludem ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada memasuki tahap akhir.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang putusan perkara nomor 56/PUU-XVII/2019, MK menerima sebagian gugatan ICW dan Perludem yang meminta agar eks koruptor yang ingin maju Pilkada diberi jeda selama beberapa tahun.
MK menyatakan eks narapidana, termasuk kasus korupsi, harus menunggu selama 5 tahun setelah bebas jika ingin maju Pilkada.
"Dalam pokok permohonan,mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK, Anwar Usman, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (11/12).
"Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan narapidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap," lanjut Anwar.
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: Dok. KPK
Dengan putusan tersebut, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada berubah. Pasal tersebut awalnya berbunyi:
ADVERTISEMENT
Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Setelah putusan MK, pasal tersebut diubah menjadi:
Pasal 7 ayat (2) huruf g:
(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
ADVERTISEMENT
Jeda 5 tahun itu lebih rendah dari permintaan ICW dan Perludem yang ingin eks napi korupsi diberi jeda selama 10 tahun setelah menjalani pidana.
Adapun sebelumnya ICW dan Perludem mengajukan gugatan itu lantaran adanya fakta di mana mantan napi korupsi yang dicalonkan lagi di Pilkada kembali mengulangi perbuatannya melakukan korupsi dan terkena OTT KPK.
Sidang pembacaan putusan gugatan Pemilukada ICW-Perludem dan Tsamara-Faldo Maldini di Mahkamah Konstitusi, Rabu (11/12). Foto: Maulana Ramadhan
"Seperti pada kasus Muhammad Tamzil, Bupati Kudus yang terpilih di Pilkada 2018 dan terkena OTT KPK pada 2019," ucap Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.
"Selain itu ketiadaan jeda dari bebasnya mantan napi dengan pencalonan yang bersangkutan di Pilkada, membuat parpol dengan mudah mencalonkan mantan napi dan diikuti keterpilihan si mantan napi di Pilkada. Semisal di (Pilkada) Minahasa Utara dan Solok," tutupnya.
ADVERTISEMENT