Radikalisme dan Penyimpangan Bahasa

1 November 2019 17:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Dalam satu pekan terakhir, kata radikalisme begitu menarik perhatian publik. Google Trends mencatat pencarian kata itu melonjak selama 27 Oktober-1 November 2019, kemudian kini berada di puncak popularitas dengan perolehan angka 100. Artinya, ada banyak orang yang ingin mengetahui makna kata tersebut.
ADVERTISEMENT
Rasa ingin tahu terhadap kata itu dipicu pernyataan Presiden Jokowi saat menyinggung alasan di balik pengangkatan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Menurut Jokowi, Jenderal Purnawirawan TNI itu dipilih untuk memberantas radikalisme.
"Kita ingin yang berkaitan dengan pemberantasan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi betul-betul secara konkret bisa dilakukan oleh Kemenag," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Kamis (24/10)
Presiden Joko Widodo saat sidang kabinet paripurna perdana di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Foto: Dok. Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Belum genap dua pekan usai Jokowi menyatakan hal tersebut, Menag Fachrul Razi melontarkan pernyataan kontroversial. Ia menyinggung soal penggunaan celana cingkrang hingga cadar yang seharusnya tak dipakai aparatur sipil negara (ASN).
“Saya ingin menunjukkan program prioritas Kemenag karena ini visi misi presiden. Nah ini dia program prioritas kami yang memang mengacu pada visi misi presiden," ungkap Fachrul Razi di Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (31/10).
Menteri Agama Fachrul Razi di acara Konsolidasi perencanaan pencapaian dan misi Presiden serta sasaran dan target indikator bidang PMK dalam RPJM 2020-2024. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Nah, sebenarnya apa definisi radikalisme itu?
ADVERTISEMENT
Menelusuri Jejak ‘Radikalisme’
Jejak radikalisme yang paling awal terungkap dalam buku berjudul ‘Islam Politics and Change: The Indonesian Experience After the Fall of Suharto’ (2016). Dalam buku itu, istilah radikalisme sebagai hal yang buruk mulai dikenal kala Kartosuwirjo memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI).
Kartosuwiryo. Foto: Wikipedia
Darul Islam merupakan gerakan politik yang mengatasnamakan agama. Mereka ingin mengubah dasar negara Pancasila menjadi berhaluan Islam. Meski kemudian, aksi itu ditumpas oleh Presiden Sukarno. Sejak saat itulah, istilah radikalisme erat kaitannya dengan aksi-aksi fanatik hingga teror yang dibingkai atas nama Tuhan. Konotasinya adalah negatif.
Menariknya, dalam buku itu pula, disebutkan bahwa Serikat Islam (SI) yang berdiri pada 1911 pun merupakan organisasi Islam radikal. Dalam artian, SI merupakan organisasi yang memiliki kesadaran terhadap kemandirian ekonomi dan politik. Sesuatu yang kala itu merupakan barang langka di Tanah Air. Radikalisme pun menemui makna positifnya dalam pengertian tersebut.
Sarekat Islam. Foto: Wikipedia
Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kemendikbud.go.id mendefinisikan 'radikalisme' dalam tiga makna. Yakni, Paham atau aliran yang radikal dalam politik; Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; Sikap ekstrem dalam aliran politik.
ADVERTISEMENT
Menurut pakar linguistik Universitas Indonesia (UI), Frans Asisi Datang, radikalisme yang kandung dipahami masyarakat Indonesia adalah yang cenderung destruktif. Hal itu diperkuat dengan definisi yang ada di dalam KBBI yang menurutnya jauh dari kesan positif. .
“Jika dikaitkan dengan asal-usul kata dan makna kamus, kata radikalisme bernuansa negatif. Padahal, kata itu seharusnya mengaca pada sikap totalitas, yaitu hingga ke akar-akarnya,” kata Frans saat dihubungi kumparan, Jumat (1/10).
Patung filsuf Socrates di Yunani. Foto: Pixabay
Secara etimologis, radikal memang berasal dari bahasa latin yakni ‘Radix’. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), Radix berarti ’akar’, ’sumber’, atau ’asal-mula’. Radix lalu dipahami sebagai hal yang mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial atas bermacam gejala.
Di Yunani kuno, radikalisme dipahami sebagai cara berpikir yang mempertanyakan segala sesuatu. Para filsuf seperti Thales, Socrates, Plato, hingga Aristoteles berupaya menjelaskan fenomena alam dan sosial secara radikal. Yakni, mendalam hingga menyentuh pada akar permasalahan.
ADVERTISEMENT
Sementara Eropa awal abad ke-20, radikalisme acapkali dikaitkan dengan kelompok kiri. Mereka yang ada di barisan radikal adalah mereka yang menentang struktur kapitalisme.
Kini di Amerika Serikat (AS), radikalisme justru merujuk pada orang-orang yang ‘berjihad’ atas nama agama. Definisi tersebut marak dipergunakan usai peristiwa Gedung WTC yang dihancurkan oleh Al-Qaeda pada tahun 2001.
Tentara Al-Qaeda. Foto: Reuters/Feisal Omar
Secara khusus, Michael T. Flynn, penasihat keamanan nasional era Presiden George Bush, menulis buku The Field of Fight: How We Can Win the Global War Against Radical Islam and Its Allies (2016). Dalam buku itu, ditegaskan bahwa musuh dunia adalah radikalisme agama.
Frans mengatakan, radikalisme yang dipahami di masa lalu dan sekarang telah mengalami perubahan yang luar biasa. Saat ini, kata dia, makna kata radikalisme telah mengerucut menjadi sikap yang tidak toleran terhadap yang lain.
ADVERTISEMENT
“Padahal, kata radikal sebenarnya mengacu pada suatu sikap yang positif yaitu totalitas dalam sebuah tindakan, tidak setengah-setengah,” ungkapnya.
Penyimpangan Bahasa
Meski definisi ‘radikalisme’ mengalami pergeseran makna, Frans melihat tak ada yang salah dengan itu. Menurutnya, penyimpangan bahasa akan terjadi seiring dengan perkembangan zaman.
“Suatu hal yang wajar sekali dan ini menjadi ciri bahasa, yaitu bahasa selalu dalam keadaan berubah. Perubahan makna selalu terjadi, apakah meluas atau menyempit, apakah membaik atau memburuk,” kata Frans.
Spanduk Bahaya Radikalisme Foto: ANTARA/Andreas Fitri A.
Dalam konteks agama, kata dia, kata 'radikalisme' dipilih lantaran belum ada istilah lain yang ditawarkan untuk menggambarkan fenomena gerakan agama yang dijalankan secara ekstrem.
Sementara itu, Presiden Jokowi pun menyadari adanya kekeliruan terhadap penggunaan istilah radikalisme. Oleh sebab itu, ia menawarkan satu istilah baru terhadap fenomena tersebut.
ADVERTISEMENT
"Harus ada upaya serius untuk mencegah meluasnya, apa yang sekarang ini banyak disebut, radikalisme. Atau mungkin, apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan? Misalnya manipulator agama," kata Jokowi di rapat terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10)
Berdasarkan aturan perundang-undangan, belum ada pasal yang mendefinisikan apa itu radikalisme. UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang terorisme tak mendefinisikan pengertian kata tersebut. Kata 'radikalisme' ditulis sebanyak satu kali tanpa ada definisi yang meyertainya.