Raja Charles III Bangun Portofolio Aset Rp 20 Triliun Sebelum Warisi Takhta

14 September 2022 13:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Raja Inggris Charles berbicara selama Dewan Aksesi di Istana St James, di London, Inggris, Sabtu (10/9/2022). Foto: Victoria Jones/Pool via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Raja Inggris Charles berbicara selama Dewan Aksesi di Istana St James, di London, Inggris, Sabtu (10/9/2022). Foto: Victoria Jones/Pool via REUTERS
ADVERTISEMENT
Raja Charles III menghabiskan setengah abad terakhir untuk membangun portofolio properti senilai miliaran dolar bahkan sebelum secara resmi mewarisi takhta Inggris pada Sabtu (10/9).
ADVERTISEMENT
Sebagai pangeran, Charles mengelola properti pribadi, Duchy of Cornwall atau Kadipaten Cornwall. Dia membentuk tim manajer profesional untuk mengembangkan kadipaten itu selama bertahun-tahun. Alhasil, keuntungannya melambung sekitar 50 persen.
Kadipaten Cornwall memiliki properti-properti sewa tepi laut, depot supermarket di pinggiran kota, ruang kantor di London, lahan pertanian subur di selatan Inggris, dan lapangan kriket The Oval.
Portofolio real estat tersebut menyentuh luas yang hampir sebanding dengan Chicago di Amerika Serikat (AS). Berkatnya, Charles meraup jutaan dolar per tahun dalam pendapatan sewa.
Disadur dari The New York Times, Charles berhasil membangun portofolio sekitar USD 1,4 miliar (Rp 20 triliun). Sementara itu, Elizabeth memegang portofolio sebesar USD 949 juta (Rp 14 triliun).
ADVERTISEMENT
Sebagai raja, Charles akan mengambil alih portofolio Elizabeth. Dia bahkan mendapatkan privilese bebas pajak. Warga biasanya membayar sekitar 40 persen pajak warisan di Inggris.
Ketika mewariskan Kadipaten Cornwall kepada putra sulungnya, William, dia tidak perlu membayar pajak perusahaan pula. Akibatnya, para kritikus anti-monarki mengecam mereka sebagai pihak yang bertanggung jawab serta merugikan negara.
"[Monarki adalah] lembaga publik yang tidak bertanggung jawab yang memiliki kekuatan, kerahasiaan, dan pengaruh untuk dengan sengaja menyalahgunakan posisinya," tegas seorang akademisi Inggris yang kini duduk di Dewan Bangsawan Inggris, Prem Sikka, dikutip dari The Washington Post, Rabu (14/9).
Pangeran Charles duduk di dekat Mahkota Negara Kekaisaran di House of Lords Chamber selama Pembukaan Parlemen Negara di Gedung Parlemen, di London, Inggris, Selasa (10/5/2022). Foto: Dan Kitwood/POOL/AFP
Kadipaten Cornwall didirikan pada abad ke-14 untuk menghasilkan pendapatan bagi pewaris takhta Inggris. Penghasilan tersebut mendanai pengeluaran pribadi maupun resmi Charles.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Charles membayar pajak penghasilan sukarela sekitar 45 persen atas pengasilan pribadinya dari Kadipaten Cornwall. Namun, peraturan itu dilaksanakan tanpa adanya transparansi.
"Kadipaten ini terus dikomersialkan selama beberapa dekade terakhir," ujar seorang dosen dari Universitas Lancaster, Laura Clancy.
"Ini dijalankan seperti bisnis komersial dengan CEO dan lebih dari 150 staf," tambah dia.
Kedua properti milik Elizabeth dan Charles pun hanya mewakili sebagian kecil dari melimpahnya kekayaan keluarga kerajaan Inggris. Forbes memperkirakan, kekayaan itu mencapai USD 28 miliar (Rp 417 triliun). Angka tersebut belum meliputi kekayaan pribadi para anggota keluarga yang diselimuti kerahasiaan.
Aset keluarga kerajaan umumnya terbagi menjadi empat sumber. Sumber pertama adalah Crown Estate atau Lahan Mahkota. Kumpulan lahan dan kepemilikan itu diatur oleh sebuah dewan.
ADVERTISEMENT
Penguasa monarki menjabat sebagai ketua dewan tersebut. Tetapi, Charles tidak memiliki wewenang untuk membuat keputusan akhir terkait pengelolaannya.
West End, London Foto: Shutter Stock
Lahan Mahkota meliputi pusat perbelanjaan, ladang angin, hingga jalanan tersibuk di West End London. Para bangsawan berhak mengambil pendapatan sewa dari properti resmi mereka.
Keuntungan itu diserahkan kepada pemerintah sebelum sebagiannya kembali kepada keluarga kerajaan. Para bangsawan terakhir kali menerima keuntungan sekitar USD 100 juta (Rp 1,4 triliun).
Dana tersebut digunakan untuk tugas kerajaan seperti kunjungan resmi, upah, dan urusan rumah tangga. Tetapi, dana itu tidak menutupi biaya pasukan keamanan yang dibayar pemerintah Inggris.
Sumber keuangan kedua bagi keluarga kerajaan adalah Duchy of Lancaster atau Kadipaten Lancaster yang dimiliki oleh penguasa takhta Inggris. Namun, portofolio senilai USD 949 juta (Rp 14 triliun) itu tidak bisa membandingi sumber ketiga, yakni Kadipaten Cornwall.
ADVERTISEMENT
Pundi-pundi milik keluarga kerajaan juga berasal dari kekayaan pribadi mereka. The Sunday Times memprediksi, Elizabeth mengantongi kekayaan bersih senilai USD 430 juta (Rp 6,4 triliun).
Kekayaan tersebut meliputi aset-aset pribadi Elizabeth, seperti Kastel Balmoral dan Sandringham House. Kendati demikian, sebagian besar kekayaan pribadinya masih menjadi rahasia.
Kastil Balmoral, tempat favorit Ratu Elizabeth II. Foto: Bas Meelker/Shutterstock
Bahkan sebelum naik takhta, Charles adalah penghasil uang terbanyak dalam keluarga kerajaan Inggris. Setelah mewarisi peninggalan dari Elizabeth, kekayaannya tak akan terbayangkan.
Pertumbuhan tersebut datang seiring negaranya mengadang krisis biaya hidup. Gaya hidupnya di istana telah melayangkan tuduhan bahwa dia sangat terputus dari kehidupan rakyat biasa.
Terkadang, Charles menampilkannya dengan gamblang hingga memicu kritik luas. Ketika menjanjikan bantuan bagi keluarga miskin, dia terduduk di atas takhta bergelimang perhiasan.
ADVERTISEMENT
Charles lantas diyakini akan membuat rakyat kembali mempertanyakan relevansi keluarga kerajaan seiring mereka tertatih-tatih dalam krisis biaya hidup.
Institut Legatum memperkirakan, 1,3 orang akan terperosok dalam kemiskinan menjelang musim dingin di Inggris. Tingkat kemiskinan itu mencapai angka tertinggi dalam dua dekade terakhir.
"Bahkan dengan asumsi bahwa harga energi ditetapkan pada tingkat musim panas 2022, masih akan ada 15,2 juta orang dalam kemiskinan selama 2022-2023," tulis analisis Institut Legatum, dikutip dari The Guardian.
"Ini tingkat kemiskinan tertinggi sejak Social Metrics Commission mulai mengukur tingkat kemiskinan pada 2000-2001, dan meningkat 1,3 juta bila dibandingkan dengan tingkat pra-pandemi," imbuhnya.