Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana perjalanan panjang Masyumi, organisasi yang didirikan di masa penjajahan Jepang , ini di Indonesia?
Sejak awal menduduki Indonesia, Jepang sudah menganggap kekuatan umat Islam menjadi 'tantangan' tersendiri. Mereka butuh suatu badan untuk menggalang dukungan melalui lembaga agama Islam.
Alih-alih mendekati partai Islam yang memang sudah ada sejak zaman Belanda, Jepang justru lebih tertarik merombak Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), payung sejumlah ormas Islam sejak 1937, dan mengubahnya menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi pada 24 Oktober 1943 yang kemudian menjadi tanggal berdirinya Masyumi.
Keputusan Jepang itu sebenarnya cukup dimengerti. Partai-partai Islam zaman Belanda seperti Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII) mayoritas bergerak di wilayah perkotaan dan memiliki pemikiran modern. Padahal, Jepang ingin memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kiai di pedesaan.
ADVERTISEMENT
Para kiai di pedesaan memiliki peran yang penting bagi Jepang. Sebab, mereka mampu menggerakkan masyarakat luas untuk mendukung Perang Pasifik, baik sebagai buruh atau tentara. Apalagi, saat itu, Jepang sudah gagal mendapat dukungan para nasionalis dari Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Selama masa pendudukan Jepang, Masyumi memang belum menjadi partai. Seperti pendahulunya, MIAI, mereka adalah 'rumah' bagi empat organisasi Islam yang diizinkan saat itu, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.
Menjadi Partai
Begitu Indonesia merdeka, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta pun mengeluarkan Maklumat Nomor X tentang anjuran membentuk partai politik. Mendengar hal ini, Mohammad Natsir --yang saat itu menjadi Ketua Umum Masyumi-- pun bergerak cepat.
Tanggal 7-8 November 1945, di Gedung Madrasah Mu'alimin Muhammadiyah Yogyakarta, seluruh pemimpin muslim dan perwakilan organisasi muslim dikumpulkan. Mereka sepakat untuk membentuk satu-satunya partai politik yang menyalurkan aspirasi umat Islam: Partai Masyumi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, dalam kongres itu, ada sejumlah nama yang diusulkan, misalnya Partai Rakyat Islam. Namun mereka sepakat memilih nama Masyumi, meski bukan merujuk pada Masyumi versi Jepang. Sang ketua kongres, Sukiman Wirjosandjojo, dipilih menjadi ketua umum yang pertama.
Dua Faksi di Tubuh Masyumi
Masyumi adalah sebuah organisasi besar yang berusaha merangkul semua pihak, baik organisasi atau perorangan. Namun, sejak didirikan, sebenarnya sudah ada dua faksi di tubuh Masyumi: sosialis-religius yang dipimpin Natsir, Sjafruddin prawiranegara, dan Mohammad Roem; dan kelompok pemuka agama konservatif yang dipimpin Sukiman serta Jusuf Wibisono.
Dalam buku 'Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral', Remy Madinier menyebut perbedaan itu sebenarnya sudah bisa dilihat dari simpul yang terjalin selama 1930-an. Sukiman mengawali kariernya di politik jauh sebelum masa perang dan membidani Partai Islam Indonesia. Sedangkan Natsir kebalikannya. Ia mengawali kariernya sebagai guru di Persatuan Islam sebelum bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB).
ADVERTISEMENT
"Sukiman memasuki agama melalui politik dan sepak terjang perjuangannya selalu tak lepas dari urutan prioritas tersebut. Sedangkan Natsir menempuh jalan sebaliknya," tulis Remy.
Dua organisasi besar yang menjadi anggota istimewa Masyumi, Muhammadiyah dan NU, juga ikut terseret dalam konflik dua faksi ini. Muhammadiyah cenderung mewakili sayap moderat, sedangkan NU sayap konservatif.
Puncaknya, pada Desember 1949, dalam Kongres Masyumi, Wali Kota Yogyakarta saat itu, yang juga merupakan tokoh dari Muhammadiyah, Mohammad Saleh, menyindir para kiai.
“Politik adalah luas. Politik ini saudara-saudara, tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih, jangan dikira scope-nya politik ini hanya di sekeliling pondok dan pesantren saja. Dia luas menyebar ke seluruh dunia,” kata Saleh.
Terang saja, anggota NU tak terima. Mereka meminta Saleh mencabut ucapannya, namun Saleh bergeming. Akhirnya sekitar 30 anggota NU walkout dari ruang kongres.
NU merasa semakin tersisihkan setelah Mohammad Natsir terpilih menjadi ketua umum di kongres ini. Sedangkan Sukiman, yang lebih disukai NU, menempati jabatan yang baru diciptakan namun kurang berpengaruh: presiden partai.
ADVERTISEMENT
“Kedudukan Sukiman justru memunculkan dualisme kepemimpinan Masyumi. Pada 1952, kedudukan itu dihapuskan dan Sukiman menjadi wakil ketua partai di bawah Natsir,” tulis peneliti Deliar Noer.
Akhirnya, di Muktamar NU ke-18, Mei 1950, Wahab Chasbullah mendesak agar NU menarik diri dari Masyumi. Meski sebagian besar menilai keputusan itu terlalu dini, namun diam-diam NU juga mempersiapkan diri untuk peran politik yang lebih besar. Di awal 1951, PBNU membentuk Majelis Pertimbangan Politik (MPP) dengan KH Muhammad Dachlan sebagai ketuanya untuk menyusun pembentukan NU sebagai partai politik.
Didukung Sukarno, Masyumi Pimpin Kabinet
Di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno saat itu memberikan tanggung jawab pembentukan kabinet pemerintahan pertama pasca-kemerdekaan kepada Natsir. Dengan 49 kursi di parlemen, Masyumi menjadi partai terbesar yang menduduki kursi DPR.
ADVERTISEMENT
Awalnya, Natsir mencoba membentuk kabinet dengan menggabungkan Masyumi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan parti terbesar kedua. Saat Natsir menyampaikan ide itu ke Sukarno, Sukarno pun merasa senang dan mendoakan agar Natsir bisa berhasil.
Namun, tentu saja, perjalanannya tak akan semudah itu. Sikap Masyumi dan PNI yang saling berseberangan justru membuat perundingan yang dilakukan berakhir keras.
Meski Natsir gagal mendapatkan dukungan PNI, namun rupanya Sukarno tetap mendukungnya. Bahkan, Sukarno beberapa kali mengundang Natsir dan pemimpin partai lain untuk mendiskusikan pembentukan kabinet.
Seluruh pimpinan partai lain sebenarnya sudah sepakat akan menjalani koalisi. Namun, Natsir merasa tidak puas karena PNI belum bergabung.
"Apa salah saya kepada PNI?" tanya Natsir kepada Anwar Harjono, dikutip dari 'Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan'.
ADVERTISEMENT
Karena gagal merangkul PNI, awalnya Natsir berniat mundur. Namun Sukarno tetap bersikeras menunjuk Natsir menjadi formatur kabinet.
"Di masa itu, Saudara Natsir masih tetap favorit Bung Karno," kata Mohammad Hatta dalam 'Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan'.
Pemilu 1955
Bubarnya Kabinet Natsir tak membuat suara Masyumi melemah. Di pemilu pertama Indonesia tahun 1955, Masyumi berhasil mendapatkan 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan.
Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya bisa meraih sepertga suara yang didapat PNI dan hanya setengahnya di Jawa Timur. Hal ini membuat posisi Masyumi secara nasional hanya menempati posisi kedua setelah PNI.
Meski demikian, secara keseluruhan, sebenarnya jumlah kursi Masyumi di parlemen justru naik. Di Pemilu 1955 ini, Masyumi berhasil mendapatkan 57 kursi.
ADVERTISEMENT
Sukarno dan Ajal Masyumi
Di masa Demokrasi Terpimpin, rupanya Natsir lebih banyak membawa Masyumi ke arah konfrontatif dan membuat hubungannya dengan Sukarno menjadi renggang. Masyumi tak setuju dengan niat Sukarno mencampuri urusan pemerintahan di luar kapasitasnya sebagai kepala negara. Di sisi lain, tawaran dari partai komunis juga kian menguat.
Tudingan atas percobaan pembunuhan kepada Sukarno di Perguruan Cikini pun dilemparkan ke Masyumi. Natsir dan beberapa pemimpin Masyumi yang merasa terancam dengan tudingan itu pun akhirnya memilih bergabung dengan para perwira di Sumatera yang menentang pemerintah pusat.
Jalan menuju kehancuran pun tak bisa dihindari. Sayup-sayup, terdengar wacana untuk melarang Masyumi. Dengan terpaksa, Masyumi pun memutuskan untuk melepas anggota-anggota istimewa mereka dari ikatan partai.
Di tengah situasi genting ini, konflik dua faksi di internal Masyumi masih berlangsung. Kelompok Sukiman dan Jusuf Wibisono mendesak agar Natsir segera dipecat. Namun, karena pengaruh Natsir masih kuat, meski tak lagi didukung resmi, ia tetap keluar dari tudingan bersalah.
ADVERTISEMENT
Natsir saat itu memang masih berstatus ketua umum. Namun, teman dekatnya, Prawoto Mangkusasmito lah yang menjalankan tugas sebagai ketua ad interim.
Sayangnya, Prawoto tak mampu menghalangi langkah Sukarno untuk membubarkan Masyumi. Bahkan, setelah Sukarno lengser, Prawoto juga tak bisa menghidupkan kembali Masyumi saat Orde Baru.
"Sebabnya tak lain adalah karena adanya Masyumi-phobia, karena ada sesuatu yang dimitoskan, yaitu yang mengatakan bahwa Masyumi anti-Pancasila, bahwa Masyumi akan membawa revolusi ke kanan," kata Prawoto dalam pidatonya di Jakarta, Oktober 1966.
Upaya Hidupkan Lagi Masyumi
Setelah pemerintahan Presiden Soeharto runtuh di tahun 1998, sejumlah pendukung Masyumi sebenarnya berusaha membangkitkan lagi partai mereka. Namun, kali ini, mereka menggunakan cara lain, yaitu mendirikan partai baru, Partai Bulan Bintang (PBB).
ADVERTISEMENT
Puluhan tahun kemudian, rupanya upaya menghidupkan lagi Masyumi tak berhenti saat Orde Baru. Sejumlah deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) pada November 2020 mendeklarasikan niat mereka menghidupkan Masyumi atau Masyumi Reborn di aula Masjid Furqon, Kramat Raya, Jakarta Pusat.
"Iya, namanya adalah mendeklarasikan kembali aktifnya partai politik Islam Indonesia, Masyumi. Masyumi Reborn itu tagline," kata Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani saat dihubungi, Sabtu (7/11).
Saat dihubungi terpisah, deklarator KAMI MS Kaban mengatakan dalam deklarasi nanti akan dibentuk majelis syuro yang akan menindaklanjuti deklarasi untuk membentuk partai Islam.
"Jadi gini. Ini semacam namanya Milad itu, ya, Milad kan kalau orang ulang tahun jadi mengenang 75 tahun Masyumi," kata Kaban.
ADVERTISEMENT
"Sekalian ini mendeklarasi calon-calon majelis syuro-nya. Nanti majelis syuronya lah yang akan menindaklanjuti untuk melahirkan partai politik Islam," jelasnya.