Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ramai-ramai Tolak Permintaan Maaf Belanda atas Perbudakan di Era Kolonial
20 Desember 2022 13:17 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Pemerintah hingga aktivis dari sejumlah negara menolak permintaan maaf Belanda atas perbudakan yang dilakukan terhadap masyarakat mereka pada Senin (19/12).
ADVERTISEMENT
"Selama berabad-abad, negara Belanda dan perwakilannya telah membiarkan, melakukan, mempertahankan, dan mengambil untung dari perbudakan," jelas Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, dikutip dari laman resmi pemerintah Belanda, Selasa (20/12).
Aksi simbolis dalam menanggapi kejahatan terhadap kemanusiaan selalu memantik kontroversi. Perdebatan pun mengguncang banyak negara bekas jajahan Belanda bahkan menjelang pengumuman Rutte.
Dari Suriname, para aktivis dan pejabat mengaku tidak dimintai masukan sebelumnya. Yang sungguh dibutuhkan pun, mereka menegaskan, adalah kompensasi.
Dikutip dari Associated Press, blok perdagangan Komunitas Karibia (CARICOM) telah memublikasikan daftar tuntutan mereka pada 2013. Daftar ini meliputi permintaan maaf resmi dan program repatriasi untuk mengembalikan orang-orang yang ingin pulang ke tanah air.
Hingga kini, permintaan mereka belum terwujud.
ADVERTISEMENT
"Kami masih merasakan efek dari periode itu, jadi dukungan finansial akan disambut," ujar seorang satpam berusia 46 tahun dan keturunan korban perbudakan di Suriname, Orlando Daniel.
Sekitar 60 persen penduduk kini hidup di bawah garis kemiskinan di Suriname. Hingga 22 persen dari 630.000 warga dengan keragaman etnis di Amerika Selatan ini mengidentifikasi sebagai Maroon.
Istilah tersebut merujuk kepada nenek moyang korban perbudakan yang melarikan diri dan membangun komunitas mereka sendiri.
Selain menyinggung reparasi, Suriname turut mengomentari pemilihan waktu Rutte. Politikus dan organisasi masyarakat sipil setempat meyakini bahwa permintaan maaf lebih tepat dikeluarkan Raja Belanda, Willem-Alexander, pada 1 Juli 2023.
Tanggal itu menandai peringatan 160 tahun penghapusan perbudakan Belanda di Suriname.
ADVERTISEMENT
"Mengapa terburu-buru?" tanya Ketua National Platform for Slavery Past yang berbasis di Belanda, Barryl Biekman.
Tuntutan reparasi turut datang dari pensiunan pegawai negeri berusia 73 tahun yang tinggal di Ibu Kota Paramaribo, Irma Hoever.
"Belanda tidak mengerti apa yang telah mereka lakukan terhadap kami," ucap Hoever.
"Mereka masih menikmati apa yang nenek moyang mereka lakukan hingga saat ini. Sedangkan kami masih menderita. Perbaikan diperlukan," katanya.
Aktivis-aktivis dari negara Karibia, Sint Marteen, mengungkap keresahan serupa dengan Suriname. Menolak permintaan maaf sebelum dikeluarkan, mereka menuntut reparasi.
"Kami telah menunggu selama beberapa ratus tahun untuk keadilan yang sesungguhnya. Kami yakin kami dapat menunggu lebih lama lagi," ujar mantan menteri pemerintah dan anggota organisasi nirlaba lokal, Rhoda Arrindell.
ADVERTISEMENT
Setelah permintaan maaf tersebut muncul, Sint Eustatius segera mengeluarkan pernyataan semacam itu pula. Pulau yang terletak di wilayah Karibia tersebut melayangkan kritik atas minimnya konsultasi sebelum permintaan maaf dikeluarkan Rutte.
Sint Eustatius menegaskan, mereka sangat beragam, sehingga membutuhkan pendekatan beragam pula atas sejarah perbudakan.
"Kami tidak akan pernah melupakan banyak tindakan kejam dan keji yang menimpa rakyat kami," tegas pernyataan pada laman resmi pemerintah Sint Eustatius pada Senin (19/12).
"Mengatakan maaf berarti, Anda telah mengakui bahwa Anda telah menyakiti saya dan Anda akan bersikap lebih baik,"
Walau waktunya tidak tepat, Sint Eustatius menyebut permintaan maaf itu menghadirkan kesempatan bagi Belanda.
Rutte menggarisbawahi, pembicaraan mengenai perbudakan berawal dari pengakuan. Namun, Sint Eustatius mempertanyakan tindakan selanjutnya dari pemerintah Belanda. Pihaknya mendesak negara itu memperbaiki kerusakan dan mempromosikan pemulihan.
ADVERTISEMENT
"Kami orang Sintt Eustatius mengakui tanggapan tersebut. Meskipun kami mengakui, apa yang terjadi selanjutnya? Bagaimana kita maju bersama?" tanya pemerintah Sint Eustatius.
Rutte mengatakan, lebih dari 600.000 korban perbudakan dikirim ke Amerika dalam keadaan mengerikan per 1814.
Antara 660.000 hingga lebih dari sejuta orang juga diperdagangkan di Asia oleh otoritas Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC).
Belanda pertama kali terlibat dalam perdagangan budak trans-Atlantik pada akhir 1500-an.
Tetapi, negara ini tidak berperan sebagai pedagang besar sampai pertengahan 1600-an ketika merebut benteng Portugis di sepanjang pantai barat Afrika dan perkebunan di timur laut Brasil.
Perusahaan Hindia Barat Belanda kemudian menjadi pedagang budak trans-Atlantik terbesar. Pihaknya menyeret ratusan ribu pria, wanita, dan anak-anak bekerja di perkebunan gula, kopi, dan produk lainnya.
ADVERTISEMENT
Kerajaan Belanda juga melakukan kolonialisme di Suriname, Curacao, Afrika bagian selatan hingga Indonesia.
Portugis menjadi negara Eropa pertama yang membeli budak di Afrika Barat dengan bantuan dari Gereja Katolik pada 1400-an. Spanyol lalu menyusulnya.
Beberapa ahli berpendapat bahwa produksi gula berskala besar di Brasil memunculkan perdagangan budak Atlantik yang menyebabkan sekitar 12 juta orang Afrika diangkut ke Karibia dan Amerika.
"Pemerintahan-pemerintahan Belanda sejak 1863 gagal untuk secara memadai melihat dan mengakui bahwa masa lalu perbudakan kami terus mengakibatkan efek negatif hingga sekarang," papar Rutte.
Sebagaimana banyak negara lainnya, Belanda telah bergulat dengan masa lalu kolonialnya. Sejarah perbudakan baru ditambahkan dalam kurikulum sekolah negara itu pada 2006.
"Ada sektor dalam masyarakat yang benar-benar berpegang teguh pada kebanggaan kolonial dan sulit mengakui bahwa tokoh sejarah yang mereka cintai telah berperan dalam sejarah ini," kata ahli sejarah kolonial Belanda, Fatah-Black, merujuk pada pelaut dan pedagang yang dipuja sebagai pahlawan di Belanda.
ADVERTISEMENT