RCTI dan iNews Ungkap Alasan Gugat UU Penyiaran ke MK, Singgung Netflix-YouTube

23 Juni 2020 17:42 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Semakin berkembangnya internet membuat masyarakat mulai beralih dari tayangan TV konvensional ke siaran berbasis internet seperti YouTube atau Netflix.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan studi Nielsen pada 2018, durasi menonton platform digital mendekati durasi menonton TV. Durasi masyarakat menonton siaran berbasis internet rata-rata 3 jam 14 menit per hari, sedangkan durasi menonton TV rata-rata 4 jam 53 menit per hari.
Meski durasi menonton siaran berbasis internet terus meningkat, namun tak dibarengi dengan standar penyiaran yang sama dengan TV. Hal itu yang mendasari RCTI dan iNews menggugat UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatan nomor 39/PUU-XVIII/2020 tersebut, iNews diwakili David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur. Sementara RCTI diwakili Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur. Gugatan tersebut telah dibacakan di sidang MK pada Senin (22/6). Sidang beragendakan pembacaan gugatan.
Ilustrasi YouTube. Foto: REUTERS/Dado Ruvic
RCTI dan iNews menggugat Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang berbunyi 'Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran'.
ADVERTISEMENT
RCTI dan iNews menilai ketentuan pasal tersebut menimbulkan kerugian konstitusional bagi mereka. Sebab, membuat adanya perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara TV konvensional dengan penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT).
“Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran,” kata kuasa hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang dikutip dari situs MK.
RCTI dan iNews mencontohkan adanya perbedaan antara TV konvensional dengan layanan OTT, salah satunya terkait kewajiban tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Apabila tidak mematuhi P3SPS, TV konvensional dapat dikenakan sanksi oleh KPI. Sementara layanan OTT tidak ada kewajiban memenuhi P3SPS sehingga luput dari pengawasan KPI.
Ilustrasi nonton Netflix sambil ngemil. Foto: Pixabay
RCTI dan iNews pun mengutip pernyataan Ketua KPI Agung Suprio yang berencana mengawasi siaran di YouTube dan Netflix. Namun pernyataan tersebut langsung mendapatkan reaksi dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Perbedaan lainnya yakni layanan OTT tidak wajib mengikuti rule of the game dalam UU Penyiaran seperti (i) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; (ii) persyaratan penyelenggaraan penyiaran; (iii) perizinan penyelenggaraan penyiaran; (iv) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran; (v) pedoman perilaku siaran; dan yang tidak kalah penting adalah (vi) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran.
Padahal menurut pemohon, layanan OTT seharusnya masuk kategori 'siaran' apabila merujuk Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran yang berbunyi 'Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran'.
Dengan demikian, menurut pemohon, berbagai macam layanan OTT pada dasarnya juga melakukan aktivitas penyiaran, sehingga seharusnya masuk dalam rezim penyiaran. Perbedaannya hanya terletak pada metode penyebarluasan yang digunakan. Pada aktivitas penyiaran konvensional yang digunakan adalah spektrum frekuensi radio, sementara layanan OTT menggunakan internet.
Ketua Majelis Hakim Panel Mahkamah Konstitusi Aswanto (tengah) memimpin sidang perdana pengujian Perppu Penanganan COVID-19 di Mahkamah Konstitusi. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Untuk itu, RCTI dan iNews meminta MK agar menyatakan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
RCTI dan iNews juga meminta agar pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “… dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”.
Sehingga RCTI dan iNews meminta Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran berbunyi 'Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum 12 frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran'.
ADVERTISEMENT
Menanggapi gugatan tersebut, hakim MK Arief Hidayat mempertanyakan permintaan tambahan frasa pada pasal yang diuji.
“Kalau petitum andaikata dikabulkan Majelis, apakah tidak ada implikasi terhadap pasal-pasal yang lain dalam Undang-Undang Penyiaran. Karena Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran merupakan jantungnya, jadi tolong dipelajari,” kata Arief.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.