Repotnya Jadi Pekerja Tunanetra di Masa Pandemi

14 Juni 2020 12:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pedagang kerupuk tunanetra Foto: Aria Pradana/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pedagang kerupuk tunanetra Foto: Aria Pradana/kumparan
Bagi Ronald Simanjuntak, menghadapi pandemi tak ubahnya makan buah simalakama: bekerja dengan risiko terpapar COVID-19 atau berdiam diri di rumah dengan risiko tak bisa mendapat uang guna memenuhi kebutuhan hidup.
Ronald adalah seorang penyandang tunanetra. Ia tak punya privilese bekerja di tempat tinggalnya seperti sebagian orang. Pria yang hidup sendiri di Jakarta ini menggantungkan sumber pendapatan dari berjualan kerupuk keliling.
Setiap hari ia harus berangkat dari kosnya di Cipinang, Jakarta Timur, menuju Kelapa Gading, Jakarta Utara, untuk berjualan. Dalam sehari ia bisa berkeliling selama empat sampai tujuh jam untuk menjual sekitar 30 bungkus kerupuk.
Di sisi lain, Ronald mengidap asma. Ia sadar kondisi ini semakin membuatnya rentan tertular COVID-19. Padahal, saat berdagang Ronald tak bisa menghindari kontak dengan para pelanggannya. Itu yang membuatnya semakin cemas.
“Kadang-kadang pembeli saya batuk, ya saya mau gimana?” kata Ronald.
Pedagang kerupuk tunanetra. Foto: Aria Pradana/kumparan
Rasa khawatir juga menghinggapinya ketika ia harus berjalan di tengah kerumunan orang. Tetapi Ronald tak punya pilihan. Ia hanya berharap masker dan kebiasaannya membersihkan tangan menggunakan hand sanitizer cukup melindungi dirinya.
Ronald tak punya sumber mata pencaharian lain, oleh karenanya ia tetap menjalani aktivitas harian penuh risiko itu.
“Saya lebih cemas lagi kalau enggak makan karena enggak kerja. Karena kan enggak mungkin saya dagang dari rumah,” kata Ronald.
Ronald hanya salah satu penyandang disabilitas yang bekerja di sektor informal di DKI Jakarta. Mereka masuk kelompok yang rentan secara kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan kelompok disabilitas rentan terpapar COVID-19. Hal ini karena mereka mengalami hambatan dalam mengakses fasilitas kebersihan, harus menyentuh banyak benda, kesulitan menjaga jarak fisik, dan kesulitan dalam mengakses informasi seputar COVID-19.
Di ibu kota, kelompok ini semakin rentan, terutama bagi kaum penyandang tunanetra. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor informal yang mengharuskan mereka keluar rumah dan berinteraksi dengan banyak orang.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Jakarta Persatuan Tunanetra Indonesia, Eka Setiawan, mengungkapkan jumlah penyandang tunanetra di ibu kota kira-kira 750 orang. Dari jumlah itu, menurutnya, hanya 10 persen yang bekerja di sektor formal dan bisa bekerja di tempat tinggalnya masing-masing. Sementara sebagian besar bekerja di sektor informal seperti tukang pijat atau—seperti Ronald—berjualan kerupuk keliling.
Pekerjaan tukang pijat, misalnya, tetap dilakoni para penyandang tunanetra meski praktik layanan pijat dilarang di ibu kota selama Pembatasan Sosial Berskala Besar.
“Ada yang tetap praktik secara individu, tapi itu karena keterdesakan—mau tidak mau mereka (harus) melakukan itu,” kata Eka.
Padahal, ketika melayani pelanggan, para penyandang tunanetra rentan terpapar virus karena harus melakukan kontak erat dengan pelanggan tersebut.
“Logikanya tidak mungkin kita memijat tanpa bersentuhan,” kata Eka yang juga penyandang tunanetra.
Keadaan yang penuh risiko ini membuat penyandang tunanetra berpikir untuk mencari pekerjaan lain yang lebih aman. Namun, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Keterbatasan para tunanetra membuat mereka kesulitan berganti mata pencaharian seperti orang nondisabilitas. Mahretta Maha, seorang tunanetra yang aktif di organisasi disabilitas, mengatakan muncul diskusi di kalangan tunanetra untuk mencari pekerjaan alternatif.
“Supaya teman-teman bisa memiliki pekerjaan lain, itu sedang kita coba tapi kita juga belum ketemu jalan keluarnya,” kata perempuan yang biasa disapa Retta ini.
Kelas kecantikan untuk orang tunanetra. Foto: REUTERS/Nacho Doce
Di tengah pandemi, situasi menjadi serba sulit bagi tunanetra. Eka yang sehari-hari menjadi guru di tempat pelatihan khusus bagi tunanetra juga terpaksa menyetop beberapa program pelatihan. Sebab, pelatihan bagi tunanetra sulit dilakukan dengan protokol jaga jarak.
Sebagian besar pelatihan bagi tunanetra mengandalkan metode sentuhan, dan itu justru meningkatkan risiko penularan COVID-19.
Selain itu, pelatihan dengan pertemuan fisik tidak lagi dimungkinkan. Padahal, ujar Eka, tak semua materi bisa diajarkan secara daring.
“Logikanya, ketika kita mengajarkan teman tunanetra (untuk) akses komputer, mau tidak mau harus mengajarkan posisi ASDF (posisi jari pada tombol keyboard). Itu kan enggak bisa pakai gambar. Jadi memang harus ada pertemuan (langsung),” kata Eka, berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan para penyandang tunanetra.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak corona.