Revisi PKPU Masih Bolehkan Kumpulkan Massa, Berpotensi Langgar Protokol

24 September 2020 16:24 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Kampanye Akbar Joko Widodo di Makassar. Foto: Instagram/@pramonoanungw
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Kampanye Akbar Joko Widodo di Makassar. Foto: Instagram/@pramonoanungw
ADVERTISEMENT
Dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020 yang telah terbit tadi pagi, salah satu aturan yang menarik perhatian adalah KPU masih mengizinkan paslon kampanye dengan maksimal 50 orang di ruangan. Aturan ini disayangkan Deputi Direktur Pusakpol UI Nurriyah.
ADVERTISEMENT
"Saya menyayangkan PKPU karena dalam regulasi masih dibuka ruang untuk parpol maupun peserta pemilu mengumpulkan massa, walaupun ada catatan protokol kesehatan. Kalau konteksnya UU saya masih paham karena desain UU kita dibuat dalam situasi normal," kata Nurriyah dalam webinar yang digelar Formappi, Kamis (24/9).
Menurut Nurriyah, PKPU yang terbit tadi pagi masih normatif dan belum bisa menyesuaikan situasi dan tantangan pandemi. Ia pun juga menyoroti penekanan protokol kesehatan dalam PKPU, padahal kenyataannya di lapangan masyarakat masih belum bisa secara disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Petugas kebersihan melintas di dekat papan sosialisasi pemilu 2019 di kawasan Bundaran HI. Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
"Kita mengatur protokol kesehatan seolah-olah pemilih memang sudah memiliki kesadaran penuh. Padahal realitanya pemilu kita tidak pernah jauh dari kerumunan. Ketika penyelenggara pemilu masih berpegang pada cara pandang normatif, oke boleh pertemuan asalkan ABC, kita tahu ada persoalan kepatuhan peserta pemilu," tuturnya.
ADVERTISEMENT
"Aturan yang sudah tegas bunyinya saja bisa dilanggar, apalagi kalau memberikan celah. Dalam konteks ini ketentuan yang memperbolehkan tatap muka, kan, multitafsir. Artinya kalau alasan-alasan seperti itu masih dibunyikan, kita belum siap pemilu di era pandemi. Kita belum betul-betul paham apa yang dimaksud dengan pembatasan di era pandemi," lanjutnya lagi.
Padahal, kata Nurriyah, pembatasan di masa pandemi dilakukan agar pergerakan masyarakat terbatas demi mencegah penularan virus, dan hal itu yang seharusnya menjadi pertimbangan DPR, KPU, dan Bawaslu ketika merevisi PKPU. Sehingga PKPU Nomor 13 Tahun 2020 ini penegakan aturannya masih terlalu akomodatif dan soft karena tidak ada tindakan tegas yang langsung dikeluarkan ketika ada paslon yang melanggar.
"Jadi terlalu akomodatif, pun metode pembatasan ini masih sangat soft. Pertama, imbauan dulu baru teguran. Yang dibutuhkan dan diperbolehan bukan imbauan tapi force regulation. Semua pertemuan dibuat secara daring, ada kebijakan PSBB, ada karantina lokal. Masyarakat saja bisa dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan baru. Artinya parpol dan peserta pemilu sepertinya dipaksa, seharusnya dipaksa, bahkan harus dipaksa untuk menyesuaikan dengan pandemi," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Nurriyah meminta KPU untuk betul-betul memastikan protokol kesehatan berjalan dengan kegiatan seperti sosialisasi dan kampanye harus dilakukan secara online. Hal ini agar tidak ada celah bagi peserta pemilu untuk menyelenggarakan pertemuan tatap muka berapa pun jumlah massanya.
"Kegiatan yang dimaksudkan seperti sosialisasi, kampanye harusnya diatur dalam bentuk online, dan itu harus dilakukan. Jadi jangan dibuka ruang untuk peserta pemilu menafsirkan sendiri apa kira-kira pertemuan yang boleh dilakukan online dan offline. Jadi penting karena kalo kita berasumsi, ada 50 orang di setengah titik pertemuan (maka) ada 2 juta kasus baru," pungkasnya.