Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
RI Ajak Negara Kawasan LCS untuk Fokus Kerja Sama, Bukan Bersaing
14 Oktober 2021 17:51 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar, pada Lokakarya ke-30 Laut China Selatan (LCS) yang digelar Kemlu, menegaskan pentingnya kerja sama negara -negara kawasan untuk menangani tantangan bersama di LCS.
ADVERTISEMENT
Lokakarya ke-30 Laut China Selatan digelar pada 13-14 Oktober 2021. Acara tahunan ini tahun lalu ditunda akibat pandemi COVID-19.
Dalam sambutannya, Mahendra mengajak negara-negara kawasan LCS untuk berfokus pada satu hal: kerja sama dan dialog antarnegara.
“Suka atau tidak suka, kita semua ada di sini, di kawasan Laut China Selatan. Kita harus selalu memilih kerja sama dibandingkan kompetisi, dan dialog dibandingkan persaingan,” ujar Mahendra pada Kamis (14/10).
Saat ini, LCS tengah dihadapkan dengan perubahan iklim . Krisis ini dapat menyebabkan naiknya permukaan laut. Dampaknya pun akan dirasakan oleh penduduk di pesisir dan juga lingkungan.
“Kita menyaksikan bencana alam yang terjadi berulang kali, seperti gelombang tinggi, ombak, dan juga banjir dan angin puting beliung, yang menyebabkan kerusakan buruk pada permukiman manusia di pesisir dan juga ekosistem pesisir,” kata dia.
Kerusakan yang buruk tersebut, menurut Mahendra, akan mengganggu tatanan hidup dan juga perekonomian penduduk di kawasan LCS.
ADVERTISEMENT
“Pertama-tama, kita harus bekerja sama dan secara kolaboratif mendiskusikan langkah untuk menghadapi tantangan ini, serta mempertahankan keberlanjutan laut kita. Pembahasan soal perubahan iklim, kelautan, dan lingkungan di lokakarya ini menjadi sangat relevan,” jelasnya.
Dengan ini, ia mengajak negara-negara untuk terus bertukar informasi, jaringan, serta cara-cara terbaik untuk melestarikan kawasan. Selain itu, program gabungan, pelatihan, dan pembangunan kapasitas juga dapat dilakukan.
Kemudian, dalam menjalankan pemulihan pascapandemi yang berkelanjutan, Mahendra menekankan pentingnya mengoptimalkan penggunaan sains, teknologi, serta informasi.
“Ini meliputi upaya kita dalam transformasi ekonomi menjadi ekonomi hijau yang berkelanjutan dan lebih bersih. Data-data serta analisis berbasis bukti harus menjadi pedoman dalam proses pengambilan keputusan,” lanjutnya.
Mahendra turut mengajak negara-negara untuk berfokus pada pembangunan sumber daya manusia dan peningkatan keahlian komunitas lokal di wilayah LCS. Program ini, baginya, harus ditujukan pada pengembangan kapabilitas serta mendorong kreativitas warga setempat.
“Cara terbaik untuk mencegah potensi konflik adalah dengan mencari persamaan dan berkolaborasi, untuk menjadi landasan utama dari kepercayaan di antara para partisipan,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Lokakarya ke-30 ini diikuti oleh 67 peserta dari 11 partisipan (negara kawasan LCS), yaitu Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand, Tiongkok, Chinese Taipei, serta Vietnam.
Acara tahunan sejak 1990 ini diselenggarakan secara hybrid oleh Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri, bersama dengan Badan Informasi Geospasial dan Pusat Studi Kawasan Asia Tenggara.
Laut China Selatan merupakan salah satu pusaran konflik bagi sejumlah negara kawasan. Klaim atas wilayah di LCS kerap tumpang tindih, dengan China mengeklaim sebagian besar lautan.
Klaim ini dikecam oleh sejumlah negara seperti Filipina dan Vietnam, yang juga mengeklaim sejumlah area laut tersebut ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka.