Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Ribut-ribut Vaksin, Ini Fatwa MUI Soal Imunisasi
13 Juni 2017 17:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Ribut-ribut pro-kontra vaksin sesungguhnya sudah lama menyeruak. Mereka yang kontra beralasan, vaksin mengandung zat gelatin babi sehingga haram digunakan untuk imunisasi. Sementara mereka yang pro lebih melihat pada manfaat kesehatan dari vaksin.
ADVERTISEMENT
Soal ini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menerbitkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Fatwa ini diterbitkan pada 23 Januari 2016.
MUI mulai menggodok fatwa ini sejak 2013. Ada sejumlah pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa ini.
1. Bahwa ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan, yang dalam praktiknya dapat dilakukan melalui upaya preventif agar tidak terkena penyakit, dan berobat manakala sakit agar diperoleh kesehatan kembali, yaitu dengan imunisasi.
2. Bahwa imunisasi, sebagai salah satu tindakan medis untuk mencegah terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit berat, kecacatan, dan kematian.
3. Bahwa ada penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik karena pemahaman keagamaan bahwa praktik imunisasi dianggap mendahului takdir maupun karena vaksin yang digunakan diragukan kehalalannya.
ADVERTISEMENT
[Baca Juga: Mengenal Hepatitis ]
Dalam fatwanya, MUI menyebut imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk usaha untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.
Imunisasi semestinya menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram dan tidak dibolehkan, kecuali ada beberapa hal ini:
1. Digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat. A-ldlarurat (darurat) ialah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia. Sedangkan al-hajat ialah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
2. Belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci.
ADVERTISEMENT
3. Adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal
[Baca Juga: Ditemukan Vaksin Ebola Baru yang 100 Persen Ampuh ]
Fatwa itu juga memutuskan imunisasi wajib hukumnya bila seseorang yang tidak diimunisasi bisa menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya.
Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).
MUI juga memberikan rekomendasi terkait imunisasi. Ada 7 rekomendasi dari MUI:
1. Pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
2. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
3. Pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan sertifikasi produk vaksin.
4. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal.
5. Produsen vaksin wajib menyertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan sosialisasi pelaksanaan imunisasi.
7. Orang tua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan, termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi.