‘Roti Ini untuk Hidup Anak dan Cucuku’

12 Januari 2017 7:34 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kakek Khaerudin menarik gerobak rotinya. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kakek Khaerudin menarik gerobak rotinya. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Rintik hujan perlahan membasahi Jakarta pada malam itu. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh.
ADVERTISEMENT
Di antara riuh manusia yang mencari tempat berteduh, terlihat sosok tua sedang duduk dengan tenang. Gerobak putih yang berisi roti berdiri di dekatnya. Bapak tua itu duduk tenang sambil melamun di pinggir jalan. Tak peduli hujan mulai membahasi badannya.
Rasa penasaran kemudian mengantarkan kaki saya mendekati kakek tua yang sedang menikmati lamunannya di belakang tempat parkir sepeda motor Mall Kota Kasablanka. Melihat saya datang mendekat, dengan penuh antusias, bapak tua itu menawarkan dagangannya. Di gerobak terlihat roti berbagai rasa.
"Rotinya satu dong pak," ujar saya.
"Ah, ini dik, ada yang tawar, yang manis juga ada, donatnya juga kalau mau?" ucapnya seraya berdiri.
Mengenakan baju koko cokelat lengkap dengan peci hitam, kakek itu langsung mengambil roti yang saya mau. Kami kemudian terlibat percakapan singkat.
ADVERTISEMENT
“Nama saya Khaerudin,” katanya memperkenalkan diri. Khaerudin mengaku sudah berjualan roti sejak tahun 1988.
"Saya sudah 93 tahun, sejak zaman Belanda lho," ucapnya disusul tawa.
Kakek Khaerudin bersama gerobak dagangannya. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kakek Khaerudin bersama gerobak dagangannya. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Tiba-tiba hujan turun semakin deras. Kakek Khaerudin dengan sigap menutup gerobaknya dengan terpal dan plastik. Saya pun bergegas pergi.
Keesokan harinya, saya melihat gerobak putih biru muda itu lagi. Gerobak itu terparkir di Masjid Al Mubarakah, Menteng Dalam, Jakarta Selatan. Saya penasaran di mana Kakek Khaerudin berada. Saat masuk ke teras masjid, saya menemukan lelaki 93 tahun itu sedang beristirahat.
Khaerudin bercerita, setiap hari dia mulai berjualan selepas subuh. Gerobak pemberian orang itu telah menemani perjalanannya sejak tahun 1990. Gerobak yang setiap pagi penuh berisi roti beraneka rasa itu dibawanya berkeliling hingga malam hari. Setiap hari, hingga pukul 24.00 WIB, tubuh renta Khaerudin menarik gerobak yang ukurannya empat kali lebih besar dari badannya.
ADVERTISEMENT
Selepas subuh, Khaerudin berangkat dari tempat tinggalnya di Menteng Atas. Kakek Khaerudin tinggal bersama dengan teman seprofesi di sebuah kamar yang disediakan pemilik pabrik roti, yang dagangannya dia jajakkan setiap hari.
Sebelum fajar menyingsing, kaki Khaerudin melangkah menyusuri jalanan, menyambut warga yang mencari sarapan pagi. Siapa tahu, ada warga yang ingin sarapan dengan roti. Roti beraneka rasa yang dijajakan Khaerudin dihargai Rp 10-15 ribu.
Kakek Khaerudin berjuang menarik gerobak roti. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kakek Khaerudin berjuang menarik gerobak roti. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Tubuh rentanya menyusuri jalanan dari Jalan Persada, Gereja Asisi, Jalan Peningkatan II. Saat waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB, Khaerudin menghentikan langkah kakinya. Dia mampir ke musola atau masjid yang ditemui di tengah perjalanan. Khaerudin langsung menjalankan salat Dhuha. Selepas salat, pria asli Bumiayu, Jawa Tengah itu beristirahat sambil menanti waktu Dhuhur.
ADVERTISEMENT
Setelah Dhuhur, Khaerudin meneruskan perjalanannya. Sepanjang jalan, dia selalu menyapa orang yang berlalu lalang, tukang parkir, penjual kopi, petugas kebersihan, hampir semua mengenal Khaerudin. Sambil berjalan pelan, Khaerudin berkisah soal keluarganya.
“Anak saya 10, tapi yang masih hidup 4. 1 laki-laki, 3 perempuan,” tuturnya.
Memiliki 4 anak ternyata tak membuat Khaerudin bisa beristirahat dan menikmati masa tuanya. Di usia 93, Khaerudin masih harus bekerja keras untuk menghidupi anak dan cucunya. Bahkan, Khaerudin juga tidak tahu akan sampai kapan raganya kuat menarik gerobak roti yang menjadi sandaran hidup keluarga besarnya.
Hidup bagi Khaerudin, tak selamanya mudah. Anak laki-laki satu-satunya yang masih hidup, menderita gangguan jiwa dan sering sakit. Anak perempuan lainnya tengah terlilit utang setelah bertahun-tahun ditinggalkan suami yang menikah dengan orang lain. Anak-anaknya kini hanya bisa bergantung kepada hasil jerih payah Khaerudin.
ADVERTISEMENT
Istri, anak dan cucu yang berada di kampung menjadi alasan Khaerudin tetap semangat bekerja. Sebagai kepala keluarga, dia harus bertanggung jawab terhadap keluarga.
"Kadang saya suka nggak tega, anak masih nggak mampu ya saya harus membantu," katanya dengan nada bergetar.
Tak lama berjalan, langkah kaki Khaerudin kembali terhenti. Kali ini dia mampir di salah satu masjid. Gerobak roti diletakkan ke halaman dan Khaerudin langsung masuk ke teras masjid.
Khaerudin kemudian meluruskan badannya di atas karpet masjid. Berselang beberapa menit, Khaerudin tertidur. Meski hanya beralas karpet, pria kelahiran 1923 tetap tertidur pulas. Ayah 4 anak itu baru bangun menjelang Ashar.
ADVERTISEMENT
Kakek Khaerudin tengah tertidur. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kakek Khaerudin tengah tertidur. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Selepas salat, Khaerudin sudah bersiap melanjutkan perjalanan. Dagangannya baru laku setengah. Sesaat sebelum Khaerudin berdiri, datang seorang wanita yang langsung menghampiri Khaerudin. Wanita itu ternyata Munawaroh, anak Khaerudin yang kini bekerja sebagai asisten rumah tangga di Cibinong.
Anak dan ayah itu sempat berbincang beberapa saat. Mereka lalu makan bersama, Munawaroh membawa nasi bungkus untuk dimakan bersama ayahnya.
Setelah makan, tangan Khaerudin merogoh kantong jaketnya. Dia kemudian mengeluarkan lembaran uang pecahan lima puluh ribu dan ratusan ribu rupiah. Beberapa lembar uang dia berikan kepada sang anak.
Kakek Khaerudin bersama anaknya, Munawaroh. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kakek Khaerudin bersama anaknya, Munawaroh. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Munawaroh mengatakan, dia memang rutin mendatangi sang ayah dua pekan sekali. Tujuannya untuk meminta uang yang kemudian akan dia bagikan ke anggota keluarga yang lain.
ADVERTISEMENT
“Kakakku yang perempuan ditinggal suaminya, yang satu lagi cidera saat bekerja, nggak bisa ngapa ngapain lagi. Giliran saya ya ada aja cobaannya,” tutur Munawaroh.
Kakek Khaerudin tidak keberatan dua minggu sekali diminta uang oleh anaknya. Bagi dia, tujuannya bekerja keras berpuluh-puluh tahun memang untuk menghidupi keluarga. Bila anak-anaknya belum bisa hidup sendiri, maka semua kebutuhan masih menjadi tanggung jawabnya.
“Alhamdulillah sampai saat ini bisa dapat Rp 50-100 ribu setiap hari. Yang penting bisa setoran dan kirim ke anak, Rp 2 juta tiap bulan,” tegas Khaerudin.
Kakek Khaerudin menangis di tengah salatnya. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kakek Khaerudin menangis di tengah salatnya. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Menjelang senja, Khaerudin melanjutkan perjalanan mencari rezeki. Sambil berjalan, Khaerudin bercerita, dirinya pernah ditabrak pemotor hingga gerobaknya rusak. Beruntung, Khaerudin tidak cedera meskipun harus mengeluarkan uang lebih untuk membetulkan gerobak.
ADVERTISEMENT
Langkah kaki Khaerudin menuju ke tempat pertemuan kami di malam sebelumnya, belakang tempat parkir motor Kota Kasablanka. Kakek Khaerudin menjual sisa dagangannya di tempat itu hingga tengah malam.
Di tengah kerja kerasnya, Kakek Khaerudin memiliki keinginan besar, yakni berangkat umroh. Namun, dengan kondisi keluarganya saat ini, Khaerudin sangat ikhlas bila sampai akhir hidupnya, mimpi terbesarnya itu tidak terwujud.
"Saya pingin banget umroh, tapi ya gimana, uangnya nggak cukup, masih belum ada rezeki karena sekarang kan masih suka ngasih anak-anak," ujarnya sambil menerawang jauh ke depan.