Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Rudal, Perempuan Korut, dan Hal-hal Tak Beres di Olimpiade Pyeongchang
9 Februari 2018 22:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Kira-kira beginilah skenarionya:
ADVERTISEMENT
Dan skenario tersebut mendapat awalan yang manis.
Kamis (8/2) malam, grup orkestra milik pemerintah Korea Utara, Samjiyon, berhasil memukau 1.700 pengunjung di Gangneung, Korea Selatan. Kelompok orkestra dengan 137 anggota itu menggelar konser selama 100 menit di Pusat Seni dan Kebudayaan Gangneung, satu setengah jam perjalanan mobil dari tuan rumah Olimpiade, Pyeongchang.
Yang agak tidak diduga, sambutan tamu undangan pada kontingen musik Korea Utara di dalam auditorium itu begitu meriah. Samjiyon tak hanya menampilkan lagu-lagu terkenal dari negeri sendiri macam “Glad to Meet You”, tapi juga membawakan beberapa lagu Barat terkenal macam langgam Broadway “Phantom of the Opera”.
Tamu undangan puas. “Mereka membawakan lagu-lagu terkenal supaya kami bisa menikmati konsernya. Ini benar-benar di luar harapan saya,” ucap Jun Sang-sik, pejabat Korea Selatan yang menonton konser tersebut bersama anak perempuannya.
ADVERTISEMENT
“Anakku bilang dia bangga melihat Korea Selatan dan Utara tampil bersama,” tambahnya, seperti dilansir Reuters . Tak sampai di situ, teriakan-teriakan dari kursi penonton juga ramai meminta Samjiyon menambah satu lagu lagi untuk penutup.
Meski permintaan itu ditolak, sambutan hangat masyarakat Korea Selatan membuat kontingen Korea Utara senang. Ketua kontingen musik mereka, Hyon Song-wol --mantan anggota girl band Korea Utara, Moranbong Band, sekaligus yang dirumorkan sebagai mantan pacar Kim Jong-un-- tersenyum di bangku penonton.
Samjiyon berdendang, publik Korea Selatan riang. Rudal-rudal yang selama ini beterbangan dianggap gertak sambal saja. Kim Jong-un kan manusia, pasti bisa khilaf. Yang penting masa depan: diplomasi seni-olahraga berjalan lancar, proses unifikasi pun berjaya. Tak ada lagi Selatan-Utara, yang ada hanya Republik Korea.
ADVERTISEMENT
Yeay!
Tapi, kan, tidak begitu.
Seperti dilaporkan The Chosunlibo , sempat terjadi ketegangan di belakang layar konser Samjiyon. Grup orkestra tersebut mencoba menyelundupkan dua lagi propaganda Korea Utara, yaitu “Moranbong” dan “Baekdu and Halla Are My Nation’s”. Untungnya, petugas Korea Selatan mengetahui dan menggagalkan rencana tersebut.
Dan ternyata, masalah tadi hanyalah fragmen kecil. Kenyataannya, Olimpiade Pyeongchang 2018 menjadi salah satu olimpiade paling bermasalah sejak pertama kali dilaksanakan di 1924. Masalah paling ringan saja cukup mematikan: ini adalah Olimpiade Musim Dingin yang terdingin sepanjang sejarah.
Apabila selama ini rekor dipegang oleh Olimpiade Lillehammer 1994 di Norwegia dengan suhu -11 derajat Celcius, suhu saat pembukaan Olimpiade Pyeongchang 2018 nanti terancam membahayakan para atlet: -22 derajat celcius .
ADVERTISEMENT
Itu baru yang paling ringan. Yang lain?
Pyongchang, Pyeongchang, PyeongChang, atau Pyongyang?
“Pyeongchang, ya, bukan Pyongyang,” bentak editor saya, saat memeriksa draf tulisan soal Olimpiade Pyeongchang sebelumnya. Saya memang coba salah-ketikkan satu. Ternyata dia jeli dan saya kena damprat.
Tapi tak semua sejeli editor saya. Pada Oktober 2014, seorang peternak sapi asal Kenya menjadi tamu undangan sebuah konferensi PBB soal keanekaragaman hayati yang digelar di Pyeongchang. Daniel Olomae Ole Sapit, namanya.
Yang tak umum adalah apa yang terjadi setelahnya. Agen perjalanan yang membelikannya tiket ke Pyeongchang, justru salah beli tiket dan mengirimnya ke Pyongyang, ibu kota Korea Utara.
“Ada banyak kebingungan antara dua kota tersebut,” kata Sapit, dikutip dari NBC .
ADVERTISEMENT
Alhasil, Sapit ditahan oleh pihak keamanan Bandara Internasional Pyongyang selama lebih dari empat jam. Ia dipaksa membayar USD 500 untuk membiayai tiket keluar dari Korea Utara. Sapit juga dipaksa menandatangani sebuah surat pernyataan, bahwa tidak akan pernah lagi mengunjungi Korea Utara tanpa visa.
“Aku menandatanganinya dengan sangat cepat,” aku Sapit, yang kemudian dikirim ke China sebelum melanjutkan perjalanan ke Korea Selatan.
Pemerintah Pyeongchang sendiri menyadari kemiripan nama kotanya dengan ibu kota Korea Utara. Maka dari itu, pada awal milenia ini, Pemerintah Kota Pyeongchang melakukan rebranding.
Sebelum tahun 2000, hasil alih bahasa resmi dari aksara Korea nama kota tersebut bukanlah Pyeongchang seperti sekarang. Dulu, kota tersebut masih dikenal sebagai “Pyongchang”.
ADVERTISEMENT
Maka, agar tidak dikira sarang para diktator, pemerintah menambah sebuah huruf (E) dan mengkapitalkan sebuah huruf lainnya (C). Jadilah PyeongChang --meski banyak kantor berita asing tetap menulisnya sebagai Pyeongchang.
Impunitas demi Pyeongchang
Sampai saat ini, Pyeongchang baru menjadi negara Asia ketiga yang dipilih sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin. Dua sebelumnya terjadi di Jepang, di Sapporo pada 1972, dan Nagano pada 1998. Catatan ini akan meningkat empat tahun mendatang, ketika Beijing, China menjadi tuan rumah selanjutnya.
Perjalanan Pyeongchang sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin terhitung panjang. Kota tersebut kalah bidding dua kali: kalah oleh Vancouver, Kanada di Olimpiade Musim Dingin 2010; juga kalah oleh Socchi, Rusia di Olimpiade Musim Dingin 2014.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Kim Jin-sun, Gubernur Gangwon (tempat Pyeongchang berada) tak mau menyerah. Terlebih, sebuah survei oleh TNS Korea --sebuah agensi survei di Korsel-- pada Oktober 2009 menunjukkan bahwa 91 persen masyarakat Korsel mendukung agar Pyeongchang menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin.
Dukungan dan promosi agar Pyeongchang menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin juga hadir dari atlet figur skating top dunia asal Korea Selatan, Kim Yuna. Selain itu, Lee Kun-hee, anggota International Olympics Comittee (IOC) sekaligus pemilik perusahaan teknologi telekomunikasi raksasa dunia, Samsung, juga menyatakan dukungannya.
Kabar baik datang pada 2011. Dalam voting IOC, 63 suara yang didapatkan Pyeongchang mengalahkan dua kandidat lainnya. Munich, Jerman hanya mendapat 25 suara, sementara Annecy, Prancis cuma berhasil mengumpulkan 7 suara.
ADVERTISEMENT
Namun, terpilihnya Pyeongchang bukannya tanpa kontroversi. Lee Kun-hee, salah satu sosok yang amat penting dalam terpilihnya Pyeongchang sebagai tuan rumah, sempat menjadi terdakwa kasus penghindaran pajak dan tindak pidana korupsi. Kun-hee bahkan sempat menerima vonis penjara selama tiga tahun atas tindakannya tersebut.
Namun, pada 2009, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak secara kontroversial mengampuni hukuman untuk Kun-hee tersebut. Ia diberi amnesti spesial yang membuatnya tidak jadi ditahan. Dengan tidak ditahan, Kun-hee masih bisa menjadi anggota IOC. Kritik besar mengemuka.
“Pengampunan ini mendukung ungkapan umum bahwa di Korea Selatan, Samsung berada di atas hukum dan pemerintahan,” ucap Kim Sang-jo, pakar ekonomi dari Hansung University sekaligus direktur sebuah LSM Solidarity for Economic Reform.
ADVERTISEMENT
“Presiden Lee berbica soal kepentingan nasional, tapi seorang terdakwa berkeliling dunia untuk mengkampanyekan bidding Olimpiade Korea Selatan hanya akan menyakiti kepentingan dan citra dari Korea Selatan sendiri,” tambahnya, dikutip dari The New York Times.
Parade Militer Korea Utara Salah Tanggal
Kamis (8/2) kemarin, Pemerintah Korea Utara menggelar parade militer tahunan. Parade militer tersebut digelar tertutup bagi media-media luar Korea Utara, yang membuat dunia internasional hanya tahu yang ditunjukkan oleh Pemerintah Korea Utara lewat tayangan tunda di televisi nasional.
Secara jumlah, sebenarnya parade kali ini lebih kecil ketimbang yang digelar di tahun-tahun sebelumnya. Namun, seperti dikatakan Alistair Coleman dari BBC , ada beberapa detail yang sebenarnya penting untuk diperhatikan, seperti:
ADVERTISEMENT
Meski begitu, tetap saja yang menjadi perhatian utama adalah soal waktu. Di tahun-tahun sebelumnya, parade militer Korea Utara selalu dilakukan pada bulan April, tepatnya 15 April di setiap tahunnya.
Tanggal tersebut dijuluki dengan Hari Matahari, yaitu bertepatan dengan hari kelahiran Bapak Bangsa Korea Utara, Kim Il Sung. Tanggal tersebut sudah digunakan sebagai jadwal tetap parade militer tahunan sejak dekade 1970an, bahkan hingga tahun 2017 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Lalu, mengapa tiba-tiba Kim Jong Un menggeser jadwal parade militer ke 8 Februari, satu hari sebelum pembukaan Olimpiade Pyeongchang 2018?
Sebenarnya, parade militer tersebut tak benar-benar salah tanggal. Korea Utara punya alasan kuat untuk ini. Mereka menjelaskan bahwa Kim Il Sung mengubah Tentara Rakyat Revolusioner Korea (KPRA) menjadi Tentara Nasional Korea Utara pada 8 Februari 1948. Dari situ, secara resmi 8 Februari menjadi hari kelahiran Tentara Nasional Korea Utara.
“Korea Utara mencoba mengambil alih panggung Olimpiade, yang mana seharusnya perhatian hanya untuk keberhasilan Korea Selatan sebagai penyelenggara,” kata Peter Jennings, direktur eksekutif Australian Strategic Policy Institute.
Tapi mengapa sekarang? Mengapa, saat kedua negara tampil pembukaan Olimpiade di bawah satu bendera, saat Korea Utara tengah diterima baik oleh kompatriot di sebelah selatannya, justru mereka melakukan provokasi ini?
ADVERTISEMENT
Menurut Jennings, parade ini dilakukan Korea Utara untuk meningkatkan ketegangan dan memunculkan ketakutan di antara kontingen Olimpiade Pyeongchang dari seluruh dunia.
“Ini adalah aksi provokasi tipikal dari Kim Jong-un, yang ingin mengatakan bahwa Korea Utara masihlah ancaman besar buat Korea Selatan, meskipun tim Olimpiade mereka bergabung,” kata Jennings dikutip dari CNBC .
Sementara, bagi Denny Roy, ahli keamanan Asia Pasifik dari East-West Center, sebuah think tank dari Honolulu, Amerika Serikat, Korea Utara merasa telah berhasil membajak Olimpiade Pyeongchang ini.
“Menurut saya, di perspektif Korea Utara, mereka merasa telah berhasil membajak Olimpiade. Mereka berpikir bahwa alasan Korea Selatan memperbolehkan Korea Utara mengikuti Olimpiade mereka adalah karena Korea Selatan takut dengan kekuatan Korea Utara,” jelas Roy. “Dan parade ini adalah upaya untuk melanjutkan tren tersebut.”
Melawan Sanksi-sanksi PBB
ADVERTISEMENT
Banyak pihak melihat keterlibatan Korea Utara dalam Olimpiade Pyeongchang ini adalah kabar baik bagi proses perdamaian keduanya. Terlebih pada Olimpiade kali ini, Korea Selatan dan Korea Utara akan menampilkan tim ice hockey perempuan dalam satu tim yang sama.
Namun, bukan berarti kehadiran saudara jauhnya dari utara itu membuat kehidupan Korea Selatan lebih baik. Kedatangan mereka malah banyak merepotkan. Apalagi kalau bukan karena sanksi PBB.
Kontingen Korea Utara tiba di Pelabuhan Mukho, Kota Donghae, Korea Selatan pada Rabu (7/2) lalu. Tak kurang 280 orang termasuk dalam kontingen tersebut. Kehadiran kontingen di Pelabuhan Mukho ini pun sudah menjadi masalah; sebelumnya, mereka berjanji akan datang melalui jalur darat melewati zona demiliterisasi (DMZ).
ADVERTISEMENT
Mengapa kapal menjadi masalah?
Alasannya terletak pada kebijakan Korea Selatan sendiri, yang pada 2010 lalu melarang kapal milik Korea Utara berlabuh di perairannya. Kebijakan ini dilakukan oleh Presiden Korea Selatan saat itu, Lee Myung-bak, sebagai balasan atas tenggelamnya kapal perang negaranya yang kemungkinan besar dilakukan Korea Utara.
Maka, ketika kontingen yang berisi kelompok orkestra Samjiyon, 22 atlet, 21 wartawan, dan puluhan pemandu sorak Korea Utara memasuki perairan Korea Selatan, pemerintah yang disebut terakhir harus melakukan pengecualian.
“Kami memberikan kapal ferri ini sebuah pengecualian. Ini demi usaha membuat Pyeongchang sebuah gelaran yang sukses,” ucap Baik Tae-hyun, juru bicara Kementerian Penyatuan Dua Korea, dilansir The New York Times . Kapal Mangyongbong-92 akhirnya berlabuh.
ADVERTISEMENT
Namun, masalah tak berhenti sampai di situ. Rupanya, pejabat Korea Utara mengirim kapal tersebut dalam keadaan bahan bakar yang hampir habis dan meminta tolong Sang Tuan Rumah untuk mengisinya penuh.
Masalah bensin. Sepele benar, bukan? Namun, ini benar-benar pelik. Kalau mengisinya, Korea Selatan berpotensi melanggar peraturan PBB terkait sanksi ekonomi, yang salah satunya larangan mengekspor atau memberikan bantuan berupa bahan bakar. Sementara, tidak mengisinya akan menjadikan Korea Selatan sebagai tuan rumah yang buruk.
Pihak politik konservatif Korea Selatan jelas marah besar. Menurut mereka, tujuan Korea Utara terlibat di Olimpiade Pyeongchang cuma satu: melemahkan pendirian Korea Selatan untuk setia pada sanksi-sanksi aliansinya, yaitu Amerika Serikat. Sampai Rabu (7/2), pihak Korea Selatan sendiri belum memutuskan apakah mereka akan memberikan bensin yang diminta atau tidak.
ADVERTISEMENT
Masalah terkait sanksi juga hadir buat Samsung. Sebagai salah satu sponsor utama, Samsung punya kebijakan mendonasikan 4.000 Galaxy Note 8 secara cuma-cuma buat atlet dan para staf kontingen seluruh dunia. Kebijakan ini sudah lama dibuat sebelum Korea Utara menyatakan ikut serta dalam Olimpiade Pyeongchang.
Kehadiran Korea Utara lagi-lagi menjadi masalah. Pemberian telepon pintar seharga Rp 15 juta itu akan melanggar sanksi PBB, yang melarang eskpor barang mewah ke Korea Utara. Smartphone paling canggih Samsung itu juga ditakutkan digunakan untuk tujuan militer ketika dibawa pulang ke Korea Utara.
Itu belum semuanya. Seperti diberitakan The New York Times , tongkat yang digunakan oleh tim ice hockey perempuan gabungan Korea Selatan dan Korea Utara pun bermasalah. Tim dari Korea Utara tak punya tongkat ice hockey yang standar.
ADVERTISEMENT
Kasus yang sama terjadi di 2017, ketika tim ice hockey Korea Utara membawa tongkat ice hockey kayu usang saat mengikuti turnamen internasional di Auckland, Selandia Baru. Karena tak memenuhi persyaratan (atau mungkin karena kasihan), panitia memberi mereka tongkat ice hockey berbahan dasar fiber yang canggih.
Masalahnya, karena sanksi PBB pada Korea Utara termasuk larangan bagi negara lain mengekspor “peralatan olahraga maupun rekreasi”, panitia meminta kembali tongkat tersebut sebelum tim Korea Utara kembali ke negaranya.
Nah, dipastikan kasus yang sama terjadi pula dalam Olimpiade kali ini. Menghadapinya, kemungkinan besar panitia akan memberikan solusi yang sama: Federasi Ice Hockey Internasional (IIHF) akan meminjami mereka tongkat canggih dari Finlandia yang harus dikembalikan saat pertandingan usai.
ADVERTISEMENT
Lebih lagi, tim gabungan dua Korea itu juga tidak akan menggunakan seragam yang disediakan oleh Nike --sponsor Olimpiade Pyeongchang kali ini. Ini dilakukan karena kekhawatiran melanggar sanksi yang diberikan pada Korea Utara oleh Amerika Serikat, negara Nike berasal.
Yang terakhir cukup mengundang tawa: atlet Korea Utara sendiri dilaporkan tidak ingin memakai seragam yang berasal dari negeri jahat Amerika Serikat.
Diplomasi Lipstik dan Seksisme Korea Selatan
Sudah cukup banyak masalah dalam Olimpiade kali ini? Bear with me.
Rupanya, kehadiran pemandu sorak dan anggota orkestra Samjiyon yang memiliki paras menarik punya dimensi permasalahan tersendiri. Sekitar 230 perempuan muda, yang semuanya bertinggi setidaknya 160 cm dan dinyatakan “cantik” oleh negara itu, menjadi penipuan skala besar oleh Korea Utara.
ADVERTISEMENT
Parahnya, menurut Suki Kim dalam opininya berjudul North Korea’s Lipstick Diplomacy , Korea Selatan dan dunia secara umum senang-senang saja dengan hal tersebut. Sebutan-sebutan macam “Army of Beauties” dan “Beautiful Cheerleader” kerap digunakan media luar untuk menyebut rombongan perempuan Korea Utara ini.
Menurut Suki Kim, pemberitaan seksis macam ini menutup mata dengan keadaan perempuan di dalam Korea Utara. Padahal, perempuan-perempuan ini kebanyakan adalah mahasiswi-mahasiswi Korea Utara. Mereka kebanyakan berasal dari keluarga kelas atas Pyongyang yang juga anggota partai penguasa.
Sementara, perempuan Korea Utara lainnya, bahkan yang berada di dalam tentara nasional mereka, kerap mengalami pelecehan seksual dari laki-laki yang memegang kuasa.
Suki Kim kesal benar, terlebih pada masyarakatnya sendiri di Korea Selatan. Pandangan mereka yang seakan tak percaya bahwa di Korea Utara ada perempuan cantik adalah konfirmasi bahwa Korea Selatan masih melihat saudaranya sendiri sebagai barang eksotis dan penuh teka-teki.
ADVERTISEMENT
Memang, objektifikasi ini tidak baru. Bahkan, Suki Kim sendiri tahu kalau Korea Selatan sendirilah yang membuat perempuan-perempuan Korea Utara diobjektifikasi.
Pada 2002, Wali Kota Busan saat itu khawatir bahwa pagelaran Asian Games 2002 yang dilaksanakan di kotanya kekurangan penonton. Ia berkeluh kesah pada Presiden Korea Utara saat itu, Kim Dae-jung.
Dae-jung punya opsi menarik. Ia mengirim utusan spesial pada pemimpin Korea Utara di 2002, Kim Jong Il, dan memintanya mengirimkan atlet dan pemandu sorak dari negaranya. Tujuannya jelas, agar perhatian pada Asian Games 2002 meningkat dan penonton membludak.
“Pastikan bahwa pemandu soraknya nanti gadis-gadis cantik,” ucap Kim Dae-jung di 2006, seperti dikutip dari The New York Times . Kim Jong-il manut saja, mengirim 288 perempuan yang diminta saudaranya dari Selatan. Hasilnya, Dae-jung senang: perempuannya cantik, Asian Games sukses, dan Pusan berhasil untung besar.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, menurut Suki Kim, tetap saja sikap seperti itu tak mesti diteruskan. Menurutnya, seharusnya masyarakat Korea Selatan tahu bahwa bagi rezim Korea Utara kecantikan hanyalah aset lain yang dimanfaatkan pemerintah untuk mewakili propaganda negaranya.
Lalu bagaimana dengan aksi para atlet di lintasan dan lapangan? Bagaimana sportivitas mereka? Ah, siapa bilang Olimpiade Pyeongchang 2018 soal olah raga?
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline !