Rumitnya Pemilu Serentak 2019

17 April 2019 14:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
Palagan Pemilu 2019 merupakan sejarah bagi Indonesia karena menyatukan Pileg dan Pilpres. Namun, berkaca pada proses menuju dan saat pencoblosan, pemilu serentak kali ini tak bisa dipungkiri menimbulkan kerumitan bagi pemilih, peserta, dan penyelenggara pemilu.
ADVERTISEMENT
Bagi peserta pemilu, khususnya caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilu serentak menutup isu kampanye mereka yang bersifat lokal. Sementara bagi penyelenggara, pemilu serentak sangat menguras tenaga. Sebab, tidak seluruh warga yang mengetahui pemilu serentak akan mencobos 5 surat suara. Akibatnya, pemilih membutuhkan waktu lebih lama di bilik suara.
Bahkan menurut Wapres Jusuf Kalla, rata-rata dibutuhkan waktu 12-15 menit bagi pemilih untuk mencoblos. Hal itu bisa membuat antrean pemilih membludak.
Antrean warga di Town Hall Sydney untuk mencoblos. Foto: Dok. Istimewa
Seperti di luar negeri, khususnya Sydney, petugas sangat kewalahan mengakomodir antusiasme pemilih yang sangat besar. Hal itu membuat banyak pemilih yang terpaksa kehilangan hak suaranya karena TPS sudah ditutup.
"Beberapa penyelenggara seperti gagap. Padahal pemilu serentak butuh waktu agak lama bagi pemilih menyalurkan hak suaranya di TPS, banyak yang dicoblos. Sehingga yang sederhana seperti tempat ternyata terbatas, kalau mau mitigasi prediksi butuh waktu lebih panjang (bagi pemilih) hal yang teknis tidak perlu terjadi," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, saat dihubungi, Rabu (17/4).
ADVERTISEMENT
Belum lagi, kata Titi, proses penghitungan suara yang bisa memakan waktu hingga dini hari.
Adapun bagi pemilih, pemilu serentak seperti saat ini kemungkinan membuat mereka hanya mengetahui capres-cawapres dan caleg DPR saja. Sehingga saat berada di bilik suara, pemilih akan sangat direpotkan dengan 5 surat suara. Hal itu bisa membuat pemilih asal mencoblos.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
"Pilpres yang mendominasi Pileg. Pileg overshadow dari Pilpres. salah satu hambatan yakni waktu yang lebih panjang memberi suara karena pemilih tidak familiar dengan Pileg," kata Titi.
Dari pelaksanaan pemilu tersebut, kata Titi, mengonfirmasi bahwa beban Pemilu serentak kali ini sangat berat dan kompleks.
"Desain pemilu serentak tidak compatible bagi pemilih, peserta, dan penyelenggara. Desain Pemilu serentak punya potensi berkontribusi pada tidak optimalnya penyelenggaraan. Saat ini membuat semua pihak kelelahan, Jadi tidak optimal memainkan peran masing-masing," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Kerumitan Pemilu yang Dipantau kumparan
Pantauan kumparan penyelenggaraan Pemilu kali ini memang terdapat sejumlah kendala dan kerumitan.
Kendala yang mayoritas terjadi di TPS yakni belum dimulainya pemungutan meski sudah menujukkan waktu pukul 07.00 WIB. Seperti yang terjadi TPS 016 Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang baru memulai pemungutan suara pukul 08.35 WIB.
Pelaksanaan pencoblosan di TPS 016 Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang baru dimulai pukul 08.35 WIB. Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
Pukul 08.00 WIB surat suara juga masih disortir oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang berseragam kaus merah.
Ngaretnya pembukaan TPS itu mungkin tidak seberapa ketimbang terlambatnya logistik pemilu dikirim. Seperti yang terjadi di TPS 068 Sukapura, Jakarta Utara. Di TPS itu logistik pemilu baru tiba di TPS pukul 08.35 WIB, sehingga pemungutan suara baru bisa dilakukan sekitar pukul 09.05 WIB.
ADVERTISEMENT
Soleh (70), warga sekitar, mengungkapkan keterlambatan logistik membuat sebagian warga memilih untuk pulang.
Persiapan Distribusi Kotak Suara ke TPS di Desa Condongcatur, Depok, Kabupaten Sleman. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Keterlambatan pengiriman logistik pemilu juga terjadi di 3 kecamatan yang terletak di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Hal itu disampaikan Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja.
Di samping dua kendala itu, pada pemilu kali ini pemilih juga tampak kebingungan saat menerima 5 surat suara (4 untuk DKI Jakarta) untuk dicoblos.
Seperti yang dialami pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, yang menyalurkan hak suaranya di TPS 156, Sunter Jaya, Jakarta Utara. Hotman sempat menanyakan surat suara mana yang untuk Pilpres.
“Ini yang 01, 02 yang mana,” tanya Hotman ke petugas TPS.
“Yang abu-abu, Pak,” jawab petugas.
Wakil presiden Jusuf Kalla beserta istri di lokasi TPS. Foto: kevin kurnianto/kumparan
Kebingungan itu juga terjadi setelah pemilih ingin memasukkan surat suara yang telah dicoblos ke kotak. Meski sudah dibedakan berdasarkan warna, tetap saja terdapat pemilih yang salah memasukkan surat ke kotak suara. Kesalahan itu bahkan dialami istri Wapres JK, Mufidah Kalla, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy.
ADVERTISEMENT
Kendala pemilihan juga nampak saat membludaknya Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Seperti yang terjadi di TPS 021, Banjar Pering, Desa Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Di TPS tersebut banyak pemilih tambahan membuat Ketua KPU Badung, I Wayan Semara Cipta, berkeliling mencari surat suara tambahan karena surat suara yang tersedia sudah habis.
Parahnya, kendala yang masih terjadi ditemukannya surat suara yang sudah tercoblos. Seperti di Kompleks Berlian Indah TPS 46 Jennetalasa, Pallangga Gowa, Sulawesi Selatan. Masyarakat yang sudah mengantre di TPS itu pun terpaksa dibubarkan.
Petugas TPS 03 saat memeriksa surat suara yang telah tercoblos. Foto: Dok. Istimewa
Peristiwa serupa juga terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin, tepatnya di TPS 03, Kelurahan Soak Baru Kecamatan Sekayu. Dalam proses pemeriksaan sedikitnya ada empat surat suara Pilpres ditemukan telah tercoblos untuk paslon nomor urut 01.
ADVERTISEMENT
Pemisahan Pemilu Serentak Nasional dan Daerah
Sehingga menurut Titi, evaluasi dari penyelenggaraan Pemilu 2019 yakni dengan mengubah dari sistem Pemilu saat ini menjadi serentak nasional dan serentak daerah.
Serentak nasional yakni menggabungkan Pilpres serta Pileg DPR dan DPD. Sementara itu serentak daerah ialah menggabungkan Pilkada dengan Pileg DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
"Hanya saja di 2024 seharusnya ambang batas presiden dihapuskan. Biar partai all out perjuangkan kader-kadernya. Bukan seperti sekarang pragmatis karena pemaksaan, partai tersandera kawin paksa dalam koalisi dan tidak beri insentif bagi partai," ucapnya.
Pemisahan itu, kata Titi, dapat mendorong rasionalitas pemilih karena jumlah calon yang dihadapi berkurang signifikan.
Spanduk kampanye yang terpasang di sepanjang jalan raya. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pemilih juga bisa mengontrol kinerja partai politik dan calon (terpilih) karena hasil pemilu nasional akan dikoreksi dalam pemilu daerah, pun demikian sebaliknya.
ADVERTISEMENT
"Sehingga partai politik dan kader-kadernya terdorong untuk terus menerus menjaga kinerja politik sekaligus memperhatikan tuntutan publik," ucapnya.
Pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah, kata Titi, juga mengurangi beban biaya politik yang harus ditanggung partai politik dan calon.
Selain itu, karena hanya terjadi dua kali pemilu dalam kurun lima tahun, maka akan terjadi penghematan dana negara secara signifikan.
"Dan MK hanya memerlukan waktu enam bulan untuk mengurusi pemilu dalam kurun lima tahun: tiga bulan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu nasional, dan tiga bulan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu daerah," ucapnya.
Disambut Positif KPU
Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari di Menteng, Jakarta Pusat. Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan
Usulan pemisahan Pemilu menjadi serentak nasional dan daerah itu juga disambut positif KPU. Komisioner KPU Hasyim Asyari mengatakan, ide pemisahan tersebut sudah lama diinginkan penyelenggara pemilu agar beban tidak terlalu berat.
ADVERTISEMENT
Hasyim berpendapat pemisahan itu bisa memperkuat sistem pemerintahan baik di nasional dan daerah. Tidak seperti saat ini, khususnya di daerah, dukungan yang diberikan DPRD untuk kepala daerah bisa berubah ketika Pileg yang berlangsung 2 tahun setelah Pilkada. Hal itu karena kemungkinan parpol yang mengusung kepala daerah saat Pilkada tidak mendapatkan cukup suara.
"Setelah itu juga soal isu-isu politik dalam kampanye. Pemilih juga binggung ini orang kampanye yang satu kampanyekan tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota. Enggak fokus kan. Nah kalau dipisah orang akan fokus oh ini lagi bicara soal daerah dan seterusnya," kata Hasyim.