Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Rupa-rupa Syarat Cawapres Jokowi dari Koalisi
23 Juli 2018 15:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Nama-nama bakal calon wakil presiden Presiden Joko Widodo sudah ada di sakunya. Entah lima, sepuluh, atau berapa, yang pasti menurut Jokowi, “Semuanya masih digodok, biar matang.”
ADVERTISEMENT
Penggodokan ini membutuhkan tarik ulur kepentingan, hitung-hitungan biaya politik, dan tentu saja dukungan semua pihak--restu Megawati, paling tidak. Berbagai nama mulai dari tokoh partai seperti Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar), dan Romahurmuziy (PPP) masuk dalam daftar.
Di luar partai berderet nama seperti Susi Pudjiastuti , Sri Mulyani, Mahfud MD, Moeldoko, hingga wakil presiden saat ini, Jusuf Kalla --yang tengah berupaya membuka celah melalui uji materi UU Pemilu.
Beberapa minggu jelang pendaftaran pasangan capres-cawapres Pemilu Presiden 2019 dibuka, tokoh-tokoh partai sibuk menjalin komunikasi. Tak ketinggalan, Jokowi pun harus menemui para ketua partai satu per satu. “Banyaknya pertemuan tertutup,” ujar Jokowi, Senin (16/7).
Ia harus berkompromi dan menyenangkan semua partai pendukung agar koalisi tak berhamburan. Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer, pendamping yang tepat bagi Jokowi adalah tokoh nonparpol--agar tak timbul kecemburuan, senior--sehingga relatif bisa diterima semua partai, dan tidak ada penolakan.
ADVERTISEMENT
“Minimal tidak ditolak oleh Ibu Megawati. Nah, siapa yang ditolak? Tentunya yang punya hubungan tidak bagus di masa lalu,” ujar Qodari ketika dihubungi kumparan, Rabu (18/7).
Bagaimana sebetulnya keinginan dari para partai pendukung Jokowi? Apa kriteria yang mereka ajukan?
Untuk itu, menjelang masa pendaftaran capres-cawapres yang dibuka pada 4 Agustus, kami berbincang langsung dengan sejumlah petinggi parpol. Di antaranya adalah Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy, Wasekjen Golkar Sarmuji, Wasekjen PKB Jazilul Fawaid, dan Ketua DPP Bidang Pemenangan Pemilu NasDem Effendy Choirie.
Berikut petikan perbincangan kumparan dengan mereka.
Kriteria apa saja yang harus dipenuhi untuk menjadi pendamping Jokowi ?
Romahurmuziy: Pertama tentu adalah integritas ya, sebelum bicara kapasitas. Karena kan kita ingin meletakkan calon pemimpin kita bebas dari persoalan, bebas dari masalah.
ADVERTISEMENT
Kita kan tidak ingin cerita-cerita seperti di pilkada misalnya, pemimpin yang baru duduk kemudian ternyata menyisakan persoalan dari masa jabatan publik sebelumnya. Sehingga justru ketika duduk, dia bermasalah secara hukum.
Yang kedua tentu bicara tentang kapasitas. Kapasitas itu diperlukan untuk mendampingi presiden karena ketika presiden itu pergi ke luar negeri dia bertindak sebagai acting president. Apalagi kalau presiden tidak bisa melakukan kewajibannya dengan tetap, maka dia harus menjadi presiden.
Sarmuji: Kualifikasinya mesti lengkap. Dia punya basis kompetensi profesional, tapi juga tidak jauh dari kalangan agama.
ADVERTISEMENT
Tentu bisa diidentifikasi, calon-calon tersebut siapa sih yang punya kualifikasi secara profesional? Kualifikasi profesional itu penting untuk menjawab tantangan Indonesia selama lima tahun setelah Pak Jokowi memerintah.
Kalau tidak punya kualifikasi profesional, Pak Jokowi akan berat untuk memerintah tanpa pendamping yang punya kualifikasi baik.
Jadi menurut saya tidak dipertentangkan antara kualifikasi profesional dengan kedekatan dengan agama tertentu atau ulama tertentu. Kalau bisa dua-duanya memenuhi syarat.
Kalau tidak bisa dua-duanya, paling enggak saling mewarnai. Jadi orang yang punya kualifikasi profesional, tetapi tidak jauh dari kalangan ulama.
Seberapa penting faktor kedekatan sosok cawapres dengan kelompok Islam?
Romahurmuziy: Jokowi selalu dilabelkan anti-Islam oleh lawan-lawan politik. Meskipun kenyataannya tidak, tetapi label itu kan ditempelkan.
ADVERTISEMENT
Maka, ketika wakilnya diumumkan, ya (publik) memang langsung mengatakan, 'Ya memang ini enggak terbantahkan sih, wakil kelompok Islam’.
Sarmuji: Kalo melihat survei, Pak Jokowi itu dipilih oleh kalangan mayoritas muslim di ormas mana pun. Itu menunjukkan daya terima Pak Jokowi di komunitas muslim sudah kuat.
Ini kan, isu lanjutan (Aksi) 212 itu. Semakin ke sini, isu itu sudah tidak relevan. Karena terbukti Jokowi bisa mengakomodasi Islam dan politik yang selama ini ada. Bahkan dia bisa mendekati kiai dengan baik, meminta fatwanya. Kebijakannya juga cenderung dalam tanda petik tidak bertentangan dengan aspirasi umat Islam.
Jadi tidak perlu ada yang dipersoalkan lagi dari Pak Jokowi terkait penerimaannya di kalangan umat Islam. Karena itu yang penting wakil presidennya tidak bertentangan dengan aspirasi umat. Kegiatan atau ucapannya tidak pernah menyakiti hati umat.
ADVERTISEMENT
Tetapi memang tidak boleh yang terlalu jauh dengan umat Islam, yang penting tidak terlalu bertentangan, tidak kontra produktif.
Choirie: Jokowi itu sangat dekat dengan NU, dengan Muhammadiyah, itu kan ulama. Inti dari ulama Indonesia itu kan ada di NU dan Muhammadiyah. (Kelompok) yang baru-baru itu kan yang ulama belakangan, atau yang diulamakan, ya kan?
Tapi kalau NU, sejak awal sadar bahwa lahirnya organisasi ini memang kumpulan ulama dan terus memproduksi ulama. Nah, Jokowi kan ada di situ. Didukung oleh kelompok ini, ulama NU dan Muhammadiyah.
Sehingga framing yang terus-menerus dilemparkan bahwa Jokowi anti-ulama tidak terbukti. Padahal faktanya enggak ada dan lemah, wong Jokowi bukan PKI dan bukan anti-Islam, bukan anti-umat, bukan anti-ulama.
ADVERTISEMENT
Nah ini kan tetap harus direspon, tidak bisa dibiarkan. Harus tetap dihadapi dengan menampilkan figur yang bisa menjawab ini.
Nah, figur yang bisa menjawab ini kan ada TGB Zainul Majdi (Gubernur NTB), Mahfud MD, itu dari luar. Dari NU-nya kan ada Said Aqil Siradj (Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), ada Kiai Ma'ruf Amin (Ketua Majelis Ulama Indonesia).
Andai kata itu enggak direspon dengan cara menampilkan orang-orang seperti ini juga bisa saja, kemudian menampilkan tentara kaya Moeldoko, menampilkan ahli ekonomi seperti Sri Mulyani (Menteri Keuangan). Itu semua penting untuk negeri ini.
ADVERTISEMENT
Umpamanya, kalau pilihannya Sri Mulyani, ya saya kira Jokowi akan tetap menang. Kalau menampilkan Moeldoko, Jokowi akan tetap menang. Kalau Jokowi menampilkan Said Aqil, ya Jokowi akan tetap menang.
Nah diskusi-diskusi seperti itu terus berlanjut, nanti finalnya seperti apa ya kita tunggu.
Bagaimana dengan pertimbangan elektabilitas bakal cawapres Jokowi?
Romahurmuziy: Faktor elektabilitas ini meskipun menjadi pertimbangan tapi pertimbangan yang sangat tipis. Karena ternyata setelah dipasangkan Jokowi-Ma’ruf Amin, Jokowi-Susi Pudjiastuti, Jokowi-Sri Mulyani, Jokowi-Mahfud MD, itu naiknya (elektabilitas) Pak Jokowi paling satu persen. Jadi enggak signifikan.
Semuanya masih dalam margin of error. Itu artinya kontribusi elektabilitasnya itu--the one and only--Jokowi. Sehingga faktor elektabilitas ini menjadi tidak terlalu penting.
Jazilul: Sekarang gini. Ketum parpol Cak Imin. Elektoralnya jelas. Jaringannya jelas. Dukungan publiknya jelas. Pengalamannya jelas. Kan bisa nanti dikompetisikan dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
Choirie: Kalau soal elektabilitas saya kira enggak terlalu penting, karena Jokowi sendiri aja sudah cukup, iya kan?
Seperti apa kesulitan yang dihadapi dalam menentukan cawapres Jokowi?
Romahurmuziy: Ada yang sangat electable, tetapi tidak bisa diterima oleh pimpinan-pimpinan parpol.
Ada yang electable, tetapi kapasitas tidak memadai. Karena kan menjadi pemimpin tidak hanya berbekal elektabilitas aja kan. Berbekal kapasitas.
Sarmuji: Kalau ada partai yang belum mendeklarasikan dukungan kepada Pak Jokowi tentu ribet. Masih tarik ulur, masih mau menawarkan ke partai lain cawapres siapa, atau dari partainya, dan sebagainya.
Syaratnya untuk lebih mempermudah proses negotiation among ourselves itu, syaratnya harus sudah jelas, yaitu mitra koalisi pendukung Pak Jokowi.
Tapi kalau ditanyakan tentang apa kesulitannya nanti kalau terjadi perundingan? Kesulitannya akan terjadi dalam usaha untuk mencalonkan kader dari parpol sendiri. Misalkan Pak Airlangga Hartarto dari Golkar, Romy dari PPP, Cak Imin dari PKB, dan sebagainya.
Itu memang harus ada kelegowoan siapa yang mau ditunjuk. Tinggal apakah di antara partai-partai itu ada kelegowoan untuk bisa menerima calon wakil presiden dari partai lain atau tidak. Kalau ada, selesai.
ADVERTISEMENT
Tetapi kalau tidak ada, ya ada kemungkinan untuk dicari calon tengah. Nah calon tengah ini enggak tahu kita. Tetapi, di atas semua itu, memang semuanya akan berpulang kepada Pak Jokowi.
Jazilul: Namanya perjuangan itu pasti berat. Apalagi melaksanakan mandat kiai. Tetapi para kiai memotivasi, "Yakin lah Jokowi akan ambil Pak Muhaimin (sebagai cawapres)."
Berangkat dari keyakinan itu makanya kita bergerak. Semua bergerak. Dan faktanya Pak Jokowi akhirnya mengeluarkan nama Cak Imin. Itu fakta lho.
Tinggal selangkah lagi Cak Imin diputuskan menjadi wakilnya. Ya tentu kalau diputuskan menjadi wakilnya ada rangkaian pendukung, koalisi, yang itu juga harus dikomunikasikan.
Choirie: Pak Jokowi kan mirip Pak Harto, orang Jawa kan cukup halus. Jadi dia sudah punya kecenderungan, baik yang cocok dengan dirinya maupun untuk bangsa. Itu sudah punya, tapi kita enggak bisa nebak kecuali di akhir. Kalau saat ini, saya kira pada umumnya kita hanya menangkap isyarat-isyarat gitu aja.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya Jokowi sudah punya kecenderungan lah siapa itu (cawapresnya). Cuma kan dinamika politik untuk pendewasaan publik, dialog publik ini kan penting. Artinya harus diikuti, enggak bisa diputus alurnya, dialektikanya seperti apa.
------------------------
Simak rangkaian ulasan mendalam Cawapres Pilihan Jokowi di Liputan Khusus kumparan.
Anda juga bisa menilai para tokoh yang layak menjadi capres-cawapres di sini .