Saat Anak Keluarga Bomber Melawan Doktrin Radikal Ayahnya

15 Mei 2018 14:18 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak cemas (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak cemas (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Ujung timur pulau jawa berduka. Bom meledak di sejumlah tempat, dimulai dari tiga gereja, di Surabaya, kemudian di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo dan Polrestabes Surabaya sehari setelahnya. Rangkaian teror yang terjadi pada Minggu (13/5) hingga Senin (14/5), ini menjadi fenomena baru. Sebab bom-bom tersebut diledakan oleh 3 keluarga yang berbeda dan juga melibatkan anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
Sebut saja pelaku peledakan tiga gereja, Dita Oepriarto (46), ia tak segan melibatkan keempat anaknya. Kemudian bomber Polrestabes Surabaya, Tri Murtiono (49), ia melibatkan ketiga anaknya--meski pada akhirnya sang bungsu selamat.
Berbeda dengan keluarga Dita dan Tri yang berhasil mendoktrin anak-anaknya. Pemilik bom yang meledak di Rusunawa Wonocolo, Anton Ferdiantono (46) tak sepenuhnya berhasil mendoktrin anak-anaknya. Buktinya, satu dari tiga anaknya berhasil 'membangkang' dari upaya Anton.
Lokasi Terduga Pelaku Bom Polrestabes. (Foto: Jafrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi Terduga Pelaku Bom Polrestabes. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Anak-anak yang polos dan seharusnya menikmati masa tumbuh kembangnya malah dipaksa mengikuti paham radikal orang tuanya. Hal itu diketahui dari keterangan anak Anton Ferdiantono, AR (15). Beruntung AR selamat dari upaya doktrinasi Anton.
Ia mengakui bahwa ia dipaksa mengikuti pemikiran ayahnya yang radikal itu. Lewat film beraroma jihad, Anton mencoba menumbuhkan paham radikal dibenak anak-anaknya. Selain itu, diketahui Anton juga coba mengajarkan anak-anaknya merakit bom.
ADVERTISEMENT
"Mereka ini didoktrin ditontonin film-film jihad, video-video termasuk cara merakit bom," ujar Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin di Mapolda Jatim, Selasa (15/5).
Kapolri temui anak-anak pelaku bom. (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kapolri temui anak-anak pelaku bom. (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
Demi mewujudkan impiannya, Anton juga mengurung dan tak menyekolahkan anak-anaknya. Meski begitu, hati nurani AR menolak segala doktrinasi itu.
Karena pembangkangannya itu, AR seakan tak mendapat kasih sayang dari Anton--AR mendapat perlakuan yang berbeda.
Ia disekolahkan normal seperti anak pada umumnya. Selain itu, entah apa yang ada dibenak Anton, anak keduanya tersebut seperti 'terbuang'. Tak seperti ketiga saudaranya yang tinggal serumah dengan kedua orang tuanya, AR malah dititipkan dan diasuh oleh neneknya.
Selain AR, keberuntungan juga berpihak pada A (8), anak dari bomber Polrestabes Surabaya, Tri Murtiono, itu selamat dari aksi biadab ayahnya. Sebab, saat itu, tak ada satupun bom yang dililitkan ke tubuh A. Hingga saat ini belum diketahui sejauh mana doktrinasi mempengaruhi A, polisi pun menyebut A sebagai saksi mahkota.
ADVERTISEMENT
Tak seberuntung AR dan A, mungkin karena faktor usia yang masih begitu belia, FS (12) dan FR (9)--kedua anak bomber tiga gereja--, tak kuasa menolak ajaran kedua orang tuanya. Hasilnya? mereka ikut meledakan diri di halaman Gereja Diponegoro.
Hingga hari ini, ada empat dari 11 orang anak keluarga bomber yang masih hidup, yakni Si bungsu dari keluarga bomber Polrestabes Surabaya, A dan tiga anak bomber Rusunawa Wonocolo, yaitu AR, FP (11), dan GHA (10).
Keempat anak itu, kini berada di tangan polisi, untuk diberikan pendampingan untuk menghilangkan pengaruh radikal peninggalan orang tua mereka.