Saldi soal Pilpres 2024: Asap Mengepul, Tak Satu Pun Dapat Temukan Titik Api

23 April 2024 10:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Ketua Hakim Konstitusi Saldi Isra mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua Hakim Konstitusi Saldi Isra mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Saldi Isra menjadi salah satu dari tiga hakim konstitusi yang punya dissenting opinion (pendapat berbeda) terkait putusan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024. Saldi Isra menyoroti soal celah pemilu yang berpotensi dimanfaatkan pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan kewenangan untuk memutus perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden, Saldi menilai pemeriksaan persidangan yang dilakukan Mahkamah didominasi oleh karakter untuk melakukan penilaian terhadap fakta (judex facti).
Terlebih, apabila dalam dalil-dalil yang diajukan Pemohon dalam hal ini Anies-Muhaimin, mengemukakan argumentasi atas terjadinya pelanggaran pada aturan pemilu. Fakta tersebut pun sedapat mungkin diukur berdasarkan norma dalam aturan hukum pemilu.
"Saya meyakini bahwa tidak ada aturan hukum yang sempurna, terlebih paripurna, terkecuali hukum yang dibuat oleh Yang Maha Kuasa. Aturan hukum yang disebut amat lengkap dan mengatur secara rinci setiap tindakan manusia hanyalah klaim dari pembentuknya semata," kata Saldi Isra dalam dissenting opinionnya yang dibacakan dalam persidangan PHPU Pilpres di MK, Senin (22/4).
ADVERTISEMENT
Saldi menyebut, di luar hukum Yang Maha Kuasa, akan ada dan ditemukan celah dalam aturan hukum yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan terlindung dari ancaman pelanggaran norma hukum. Begitu pula halnya dengan aturan hukum pemilu.
"Ada celah hukum dalam hal aturan mengenai penggunaan anggaran negara melalui pengejewantahan program pemerintah pada masa yang berdekatan atau berhimpitan dengan penyelenggaraan pemilu," kata Saldi.
Hakim Mahkamah Konstitusi memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Di samping itu, pada kasus Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, kata Saldi, pun terdapat kekhususan dalam hal posisi Presiden yang bukan berstatus sebagai petahana dan bukan menjadi pihak yang terlibat sebagai peserta pemilu, melainkan sebagai pihak yang dinilai memberikan dukungannya terhadap salah satu pasangan calon.
ADVERTISEMENT
"Hal ini memicu pandangan kritis yang disampaikan oleh sebagian kelompok masyarakat," kata dia.
Saldi melanjutkan, dampak yang dikhawatirkan adalah peserta pemilu tidak bermain pada lapangan kontestasi yang sama (a same level of playing field). Terlebih, fakta hukum yang ada, di sekitar atau pada saat tahap kampanye berlangsung, kunjungan kerja Presiden ke daerah menunjukkan peningkatan intensitas dibandingkan biasanya.
"Faktor yang mendukung hal tersebut, antara lain, adalah keadaan adanya celah hukum pada aturan UU Pemilu yang berpeluang dimanfaatkan," kata Saldi.
Saldi kemudian mengumpamakan apa yang terjadi dalam proses pemilu menjadi satu kalimat, yakni: "Ibarat banyak orang melihat asap mengepul membubung tinggi, tetapi tiada satu pun yang dapat menemukan titik api yang menjadi sumber asap.
ADVERTISEMENT
"Pada titik inilah moralitas atau etika memainkan peran penting agar tidak memanfaatkan celah atau kekosongan aturan hukum (legal loophole)," ucapnya.
Presiden Joko Widodo meninjau arus mudik di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Senin (8/4/2024). Foto: Nadia Riso/kumparan
Tidak Setara
Saldi menilai, dampak dari dukungan tersebut kepada salah satu peserta pemilu menyebabkan ketidaksetaraan peserta dalam kontestasi perebutan suara rakyat. Padahal, salah satu bentuk nyata perwujudan asas adil dalam pemilu adalah adanya upaya agar para peserta pemilu berada pada posisi yang setara.
"Suasana kebatinan demikian seharusnya dipahami semua penyelenggara pemilu dan pejabat negara untuk menerapkan standar etika tertinggi (the highest moral standard)," kata dia.
Saldi kemudian bicara terkait kelembagaan MK. Dia memahami posisi Mahkamah atau mayoritas hakim yang terkendala oleh banyak pertimbangan, terutama soal bukti dan penilaian atas bukti sehingga tidak dapat bergerak lebih jauh dalam memutus sengketa Pilpres 2024.
ADVERTISEMENT
"Namun demikian, secara pribadi, sebagai hakim saya memiliki keyakinan yang berbeda dengan sebagian hakim yang lain. Dalam hal ini, terdapat fakta persidangan perihal pemberian atau penyaluran bansos atau sebutan lainnya, yang lebih masif dibagikan dalam rentang waktu yang berdekatan/berhimpitan dengan pemilu," kata Saldi Isra.
"Praktik demikian merupakan salah satu pola yang jamak terjadi untuk mendapatkan keuntungan dalam pemilu (electoral incentive). Keterlibatan beberapa menteri aktif yang menjadi tim kampanye dalam membagi bansos terasosiasi dengan jabatan Presiden secara langsung maupun tidak langsung sebagai pemberi bansos memunculkan, atau setidaknya berpotensi atas adanya konflik kepentingan dengan pasangan calon," pungkasnya.