Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Sama-sama Berpendidikan, Mengapa Perempuan Cenderung Digaji Lebih Rendah?
18 Januari 2025 12:09 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kami kemudian memeriksa data historis gaji di Indonesia menurut jenis kelamin pada publikasi BPS lainnya berjudul 'Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia'. Hasilnya, selalu ada gap antara gaji atau upah laki-laki dan perempuan.
Jika upah atau gaji diibaratkan sebuah kue, Laki-laki mendapatkan kue sebesar 56,2 persen. Sementara Perempuan saat ini cuma mendapat 43,8 persennya. Angkanya pun relatif stagnan dari tahun ke tahun.
Apakah Ini Berarti Ada Diskriminasi pada Pekerja Perempuan?
Menurut dosen Sosiologi Unpad, Farah Firsanty, ada banyak penyebab perempuan digaji lebih rendah dibanding laki-laki. Dua di antaranya adalah lebih banyaknya laki-laki yang menduduki posisi-posisi pengambil keputusan di perusahaan, dan lebih banyak perempuan yang bekerja di sektor yang diupah lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Faktor lainnya, kata Farah, adalah kondisi perempuan yang memiliki atau tidak memiliki anak.
“Beban pekerjaan rumah tangga yang membuat perempuan itu sulit untuk bekerja sehingga menimbulkan bias pemberi kerja yang membuat perempuan itu diupah lebih rendah walaupun posisinya sama,” tutur Farah saat dihubungi kumparan, Selasa (14/1).
Meski begitu, Farah turut menyebut bahwa ketimpangan gaji antara perempuan dan laki-laki ini akan semakin menutup hingga saat perempuan berusia 30 tahun, gajinya akan setara dengan laki-laki. Menurutnya, faktor yang menentukan gaji seseorang adalah kemampuan dan pengalamannya.
“Seiring lamanya seorang perempuan bekerja, upah mereka akan semakin setara karena based on pengalaman dan skill, atau bahkan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Jadi sebenarnya selain gender, faktor yang perlu diperhatikan ya faktor berdasarkan skill dan pengalaman,” tutur Farah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, menurut sebuah publikasi dari International Labour Organization (ILO) berjudul ‘Women at Work’ yang dirilis tahun 2016, disebutkan bahwa terjadi pemisahan dalam sektor pekerjaan. Ada sektor pekerjaan yang dilabeli “feminin” dan ada juga yang disebut “maskulin”.
Misalnya pekerjaan yang membutuhkan kemampuan interpersonal atau membutuhkan kemampuan pengasuhan diasosiasikan sebagai pekerjaan yang feminin. Sedangkan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik, pengambilan keputusan dan risiko diasosiasikan dengan pekerjaan maskulin.
Meskipun tidak semua sektor pekerjaan yang ‘feminin’ punya kondisi bekerja yang tidak sebaik pekerjaan ‘maskulin’, pelabelan ini membatasi perempuan dalam mengakses pekerjaan yang memiliki kondisi pekerjaan yang baik.
Data United Nations Women Indonesia yang dirilis September 2020 menunjukkan bahwa pekerjaan bergaji tinggi didominasi oleh laki-laki. Perempuan hanya menempati seperempat dari pekerjaan manajerial dan penyelia yang bergaji tinggi. Bahkan untuk pekerjaan ini, perempuan dibayar lebih rendah dibanding laki-laki. Perempuan di Indonesia memiliki pendapatan 23 persen lebih rendah dibanding laki-laki.
ADVERTISEMENT
Data yang sama juga menunjukkan bahwa meskipun merupakan lulusan dari tingkat pendidikan yang sama, perempuan tetap mendapat gaji yang lebih kecil dibanding laki-laki. Gaji tertinggi ditempati oleh laki-laki lulusan perguruan tinggi dengan nominal Rp 5,43 juta. Sedangkan gaji terendah ditempati perempuan lulusan SD dengan nominal Rp 1,28 juta.
Kesenjangan antara gaji perempuan dan laki-laki itu paling lebar di jenjang pendidikan SD dan paling dekat di jenjang pendidikan SMK.
Publikasi 'Women at Work 2016’ International Labour Organization (ILO) menyebutkan istilah ‘Motherhood Penalty and Fatherhood Bonus’. Istilah ini merujuk pada perempuan yang memiliki anak akan digaji lebih rendah, sedangkan laki-laki yang sudah memiliki anak akan mendapat gaji yang lebih tinggi. Bahkan, gaji perempuan yang memiliki anak terbukti berada di bawah gaji perempuan yang tidak memiliki anak.
Dari sebuah penelitian yang dikutip dalam publikasi tersebut, disebutkan bahwa ada penelitian di 21 negara berkembang yang temuannya adalah rata-rata kerugian yang dialami perempuan yang memiliki anak adalah sebesar 42 persen.
ADVERTISEMENT
"Rata-rata penalti bagi ibu (motherhood penalty) mencapai 42 persen (Agüero et al., 2011). Di Tiongkok, ibu menghadapi penalti sebesar 37 persen (Zhang et al., 2008). Sementara itu, di Italia, ibu mendapatkan €15 lebih sedikit per minggu dibandingkan rata-rata gaji mingguan sebesar €360. Pertumbuhan gaji tahunan mereka juga 3 persen lebih rendah dibandingkan pekerja lainnya (Pacelli et al., 2012)," tulis laporan ini.
Hal ini selaras dengan temuan artikel ‘Is There Any Discrimination Towards Young Women in Indonesia’s Labor Market?’ yang dipublikasikan di International Research Journal of Business Studies tahun 2019. Penelitian yang dilakukan Erwin Bramana Karnadi itu menemukan bahwa diperkirakan perempuan di bawah 30 tahun menerima gaji 27 persen lebih rendah dibanding laki-laki di umur yang sama.
ADVERTISEMENT
Penelitian ini melibatkan 1.404 orang sebagai sampel penelitian. Sebanyak 80 persen responden memiliki gelar sarjana, dan 12 persen responden bergelar master. Penelitian ini mempertimbangkan beberapa faktor seperti gaji, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, universitas, pengalaman kerja, deskripsi pekerjaan, peran sebagai manajer, dan ukuran perusahaan.
Meskipun penelitian ini menemukan masih adanya kesenjangan gaji antara perempuan dan laki-laki di usia bawah 30 tahun, jika dilihat seluruh usia, jenis kelamin tidak lagi mempengaruhi gaji yang diperoleh. Dengan catatan, tingkat pengalaman, pendidikan, dan jenis perusahaannya sama.
Reporter: Aliya R Putri