Sanksi PSBB Bisa Merujuk ke UU, tapi Diharapkan Jadi Opsi Terakhir

7 April 2020 10:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara suasana gedung bertingkat di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (3/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara suasana gedung bertingkat di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (3/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
ADVERTISEMENT
Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 membuka pintu bagi Pemerintah Daerah untuk mengajukan permohonan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam penanganan virus corona. Meski ada birokrasi yang tetap harus dilewati.
ADVERTISEMENT
Permenkes itu memuat sejumlah hal, mulai dari tata cara pengajuan, kriteria, hingga pelaksanaan PSBB. Bila dikabulkan, maka Pemda pun bisa berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan PSBB itu.
Personel Sabhara melakukan simulasi penanganan gangguan keamanan di Polres Lhokseumawe, Aceh, Senin (6/4). Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
Hal itu sebagaimana Pasal 14, yang berbunyi:
(1) Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dengan instansi terkait, termasuk aparat penegak hukum, pihak keamanan, pengelola/penanggung jawab fasilitas kesehatan, dan instansi logistik setempat.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan dalam rangka efektivitas dan kelancaran pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Namun, aparat penegak hukum, termasuk polisi, diharapkan mengedepankan upaya persuasif dalam menerapkan penegakan hukum saat PSBB berlaku.
"Menurut saya, pendekatannya tidak perlu sanksi, tetapi bisa edukasi atau penjagaan saja, tidak semua hal perlu sanksi untuk menegakan peraturan," kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi, kepada wartawan, Selasa (7/4).
ADVERTISEMENT
Perihal sanksi, memang tidak termuat dalam Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB. Menurut Fajri, peraturan setingkat Peraturan Menteri memang tak diperbolehkan memuat sanksi pidana.
Ia menyebut, ketentuan itu ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
"Untuk sanksi administratif juga sebaiknya dihindari, karena harus merujuk kepada ketentuan dalam UU atau PP, kalau tidak ada maka perlu ada justifikasi yang kuat untuk penegakannya," ujar dia.
Meski demikian, ia menyebut ketentuan sanksi dalam pelaksanaan PSBB bisa merujuk ke UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal itu termuat pada Pasal 93, yang berbunyi:
"Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)".
ADVERTISEMENT
Meski UU mengatur mengenai sanksi dalam pelaksanaan PSBB, hal tersebut diharapkan menjadi opsi terakhir yang ditempuh penegak hukum.
"Sanksi pidana itu ultimum remidium atau upaya terakhir," ujar Fajri.
Ia mengatakan, Pemda atau aparat penegak hukum perlu memastikan sudah melakukan upaya maksimal dalam menegakkan peraturan.
"Misal apabila tidak boleh berkumpul, apakah sudah dilakukan edukasi ke yang bersangkutan, apakah sudah dipenuhi kebutuhannya sehingga orang tersebut bisa dipastikan tidak perlu berkumpul," papar Fajri.
Menurut dia, aparat pun baru bisa menerapkan sanksi itu di wilayah yang sudah ditetapkan sebagai PSBB.
"Apabila belum status PSBB atau karantina wilayah, ya aparat enggak boleh memberlakukan sanksi apalagi pidana," pungkas dia.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
ADVERTISEMENT