1 Ramadhan 1446 HSabtu, 01 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

Sastia Putri dari IP 'Nasakom' di ITB hingga Jadi Associate Professor di Jepang

24 Februari 2025 14:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sastia Prama Putri tak pernah membayangkan dirinya akan menekuni dunia akademik, apalagi menjadi Associate Professor di Jepang. Perjalanan itu berawal dari sebuah “protes” terhadap jurusan yang ia jalani di Institut Teknologi Bandung (ITB).
ADVERTISEMENT
Saat SMA, Sastia bercita-cita menjadi diplomat atau pengacara. Namun, sang ayah meminta agar ia memilih Biologi sebagai pilihan pertama di UMPTN.
Meski diterima di ITB, hasil itu malah membuatnya tak semangat di awal kuliah. Ia jarang masuk kelas, lebih sering bolak-balik Jakarta-Bandung, hingga akhirnya mendapatkan IP yang begitu kecil di semester pertama kuliah di ITB.
"Aku di ITB, aku nasakom, nasib (IP) satu koma itu, dan luar biasa wake up call sebetulnya, karena sebenarnya bukan karena aku academically challenge, sampai saat itu struggle," kata Sastia dalam podcast DipTalk bersama kumparan.
“Sebetulnya aku bukan kesulitan akademik, tapi aku sabotase diri sendiri. Aku nggak pernah ke kampus, karena enggak rela masuk Biologi,” cerita Sastia.
ADVERTISEMENT
Surat peringatan dari rektorat menjadi titik balik. Sang ayah, alih-alih memarahi, hanya berkata, “I don’t raise quitters.”
Kata-kata itu melekat dalam pikirannya. Setelah itu ia mulai serius, mengambil semester pendek untuk memperbaiki nilai, dan sejak tingkat dua berhasil mempertahankan IP di kisaran 3,8 hingga 4.
Ilustrasi Institut Teknologi Bandung. Foto: Dok. ITB
Lulus dari ITB, Sastia mendapat kesempatan mengikuti program pelatihan sains selama setahun di Jepang. Dari sana, ia mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan S2 dan S3.
Saat hampir menyelesaikan studi doktoralnya, ia menghadapi tantangan baru: menjadi ibu. Rencana untuk melanjutkan postdoc ke Amerika atau Inggris ia tunda, dan memilih mencari pekerjaan di Jepang.
“Saat itu, aku butuh pekerjaan untuk bisa tetap tinggal di Jepang. Alhamdulillah, ada profesor yang baik hati menawarkan pekerjaan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Dari situ, kariernya berkembang hingga menjadi Associate Professor di Osaka University.
Menurutnya, perjalanan akademik di Jepang tidaklah mudah, terutama sebagai perempuan di bidang teknik yang masih didominasi laki-laki.
“Tantangannya luar biasa. Jepang masih cukup patriarkis, dan perempuan di akademisi jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding di Indonesia,” jelasnya.
Sastia Prama Putri (kanan), ilmuwan Indonesia dan non-Jepang pertama penerima Ando Momofuku Award berpose dengan Mantan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi. Foto: ANTARA/HO-Sasti Prama.Putri
Namun, dengan ketekunan dan jaringan mentor yang kuat, Sastia berhasil menembus batasan itu.
Dari seorang mahasiswa yang sempat “tersandung” di awal kuliah, kini ia menjadi salah satu ilmuwan berprestasi yang berkarier di kancah global.
Baru-baru ini Sastia menjadi peneliti non-Jepang pertama yang menerima Ando Momofuku Award, lewat risetnya menemukan senyawa aktif dalam tempe yang bisa menurunkan kolesterol.
Ia juga pernah memimpin riset bersama Jepang-Amerika Serikat dan menyabet sejumlah penghargaan bergengsi lainnya dalam perjalanan dua dekade menjadi peneliti di Jepang.
ADVERTISEMENT