Saut Situmorang soal Caleg Koruptor: Kepantasan Jadi Asas Tertinggi

10 September 2018 12:04 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tahanan KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahanan KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Anggota DPR/DPRD menjadi profesi yang paling banyak ditindak oleh KPK. Sejak tahun 2004 hingga data termutakhir 31 Mei 2018, ada 205 anggota dewan--sekitar 24 persen dari keseluruhan--yang ditangkap oleh KPK.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut tentu belum ditambah dengan tragedi korupsi massal yang dilakukan oleh 41 dari 45 orang anggota DPRD Kota Malang. Kasus tersebut menambah daftar hitam prestasi anggota dewan di berbagai daerah
Sebelumnya kita disuguhi drama panjang kasus korupsi e-KTP yang menjerat Ketua DPR RI Setya Novanto. Kasus yang belum tuntas ini diduga mengalirkan suap ke 53 orang anggota Komisi II DPR periode 2009-2014.
Belum lagi kongkalikong legislatif-eksekutif dalam kasus suap APBD Sumatera Utara yang melibatkan 38 anggota DPRD dan mantan Gubernur, Gatot Pudjo Nugroho. Kini, Jambi diduga menempuh pola yang sama.
Sebanyak 51 anggota DPRD Provinsi Jambi diduga menerima suap senilai Rp 9 miliar dari gubernur nonaktif provinsi itu, Zumi Zola, sebagai uang 'ketuk palu' untuk menyetujui Raperda APBD 2017.
Lika-liku Aturan KPU soal Caleg Koruptor (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lika-liku Aturan KPU soal Caleg Koruptor (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Tak heran jika kemudian KPU merasa adanya urgensi agar partai politik menyodorkan calon legislator yang bersih dari kasus korupsi untuk dipilih. Kebutuhan tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang mensyaratkan parpol tidak mengajukan mantan narapidana korupsi, peleceh seksual, dan pengedar narkoba sebagai calon legislator mereka.
ADVERTISEMENT
Sayangnya niatan itu diadang banyak pihak. Aturan yang sejatinya meminta komitmen parpol itu malah dianggap bertentangan dengan UU Pemilu dan digugat oleh para caleg eks koruptor ke Mahkamah Agung.
Adu argumen semakin liar setelah Bawaslu per hari ini telah meloloskan setidaknya 34 nama caleg eks koruptor di 23 daerah. Sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu tampak tak seiya sekata dalam merumuskan dan memaknai fungsi mewujudkan pemilu yang berintegritas dan berkualitas.
Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang berharap segera ada kepastian hukum yang tidak membuat masyarakat semakin bingung. Baginya, pemberantasan memang bukan hanya tugas KPK semata.
Berikut petikan obrolan kumparan bersama Saut di Gedung KPK, Kamis (6/9), terkait korupsi para anggota dewan yang sejatinya menjadi wakil rakyat.
Saut Situmorang, Pimpinan KPK (Foto: Jafrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Saut Situmorang, Pimpinan KPK (Foto: Jafrianto/kumparan)
Seperti apa pandangan KPK terkait PKPU 20/2018 yang melarang parpol mencalonkan eks koruptor?
ADVERTISEMENT
KPK itu selalu melihat dari dua sisi. Sisi penindakannya, sisi pencegahannya. Kalau di sisi penindakan itu kan sudah selesai. Dia sudah bertanggung jawab.
Kalau kita bicara pencegahan, KPK itu punya banyak sekali modul-modul kegiatan-kegiatan, option-option, pekerjaan-pekerjaan, yang arahnya pada pencegahan tadi.
Kemudian kita mengeluarkan kajian-kajian bagaimana pemerintah harus memberi setengah dari kebutuhan partai politik, kebutuhan dari dananya itu. Kemudian kami merekomendasikan partai politik harus punya yang namanya kaderisasi, mempunyai kode etik. Itu rekomendasi-rekomendasi KPK itu tujuannya untuk pencegahan.
KPU sudah menyesuaikan fungsinya mereka. Walaupun itu ada perdebatan, bahwa mereka tidak boleh (mengeluarkan aturan seperti itu), dan Bawaslu-nya kemudian menimbulkan perdebatan. Kasih saja (perdebatan) kepada di level yang lebih tinggi, di level Mahkamah Agung, ataupun yang lain-lain. KPK tidak dalam posisi KPK untuk melihat itu.
ADVERTISEMENT
Kalau ditanya Saut Situmorang sekarang sikapnya bagaimana, saya bilang di atas dari segalanya, walaupun nggak ada tertulis di undang-undang, kalau asasnya yang paling tinggi itu ya kepantasan.
Pertanyaannya, pantas nggak sih (eks koruptor nyaleg). Kalau saya bilang sih, boleh pantas boleh nggak. Kalau orang itu sudah berbuat baik, sudah menunjukkan penyesalannya, ada istilah justice collaborator.
Kita law enforcement, nggak boleh melihat sesuatu dengan dendam. "Nggak boleh (eks koruptor nyaleg) nanti bakal korup. Ada orang yang lebih baik lho."
Kalau kita mau bicara norma baru, ya dibuat normanya. Dibuat di dalam UU-nya. Buat saja norma baru, jangan dibuat tidak pasti.
Kalau kamu bicara HAM, kamu bicara HAM orang lain dong. Dia kan pernah mengambil uang tanpa ini-itu, HAM-nya bagaimana? Ini menarik diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
Aturan PKPU bisa menekan angka korupsi yang dilakukan para legislator di masa mendatang?
Kalau dikatakan apakah akan lebih efektif, pertanyaan itu kembali lagi, tergantung bagaimana kita masyarakat secara keseluruhan. KPK itu hanya satu tiang dari banyak tiang-tiang yang harus bekerja sama.
Sekarang ini hakim saja kena kasus korupsi, jaksa kena, polisi kena, pegawai negeri kena, gubernur kena, menteri kena. Apa yang bisa kita simpulkan dari cerita itu? Ya kita harus sama-sama mengubah perilaku kita. .
ADVERTISEMENT
Tergantung sejauh mana kita mengubah perilaku kita secara total. Kalau hanya KPK, kalau hanya hakim, kalau hanya polisi, kalau hanya tentara, kalau hanya rakyat yang patuh, nggak bisa.
Ini persoalan kompleks. Menurut saya memang tidak bisa dengan revolusi. Ini evolusi, pelan. Negara lain juga begitu kok, pelan-pelan. Tapi kepemimpinan nasional harus kuat memegang pedangnya.
Aksi demonstrasi mahasiswa di depan kantor DPRD Kota Malang, Jumat (7/9). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi demonstrasi mahasiswa di depan kantor DPRD Kota Malang, Jumat (7/9). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Kalau data dari KPK, lembaga legislatif mana yang paling korup? DPR, DPRD, atau DPD?
DPRD Kabupaten/Kota sejauh ini yang dominan. Tetapi sebaiknya kita tidak terpaku di situ. Jadi nggak hanya terpaku pada legislatif, eksekutif juga ya kan. Akan lebih menarik kalau kita bicara integritas kepala daerah, integritas menteri, integritas pegawai negeri.
Kalau punya integrity, lihat duit seliweran aja nggak akan ngambil. Kalau integritasnya keganggu, duit nggak seliweran bakal diambil sama dia.
ADVERTISEMENT
Modus korupsi yang paling banyak terjadi?
Pengadaan barang. Masih. Tapi kalau kita mau detail lagi, di luar pengadaan barang, ada belanja barang dan perizinan. Ini kita mau sasar sesuai dengan prioritas pemerintah.
Prioritas pemerintah itu kan hukum, keuangan negara dalam hal ini pengeluaran dan pendapatan. Terus kemudian prioritas lain dari strategi nasional itu tiga hal: perizinan, hukum, dan keuangan negara. Tiga hal ini angkanya besar lho.
Banyak orang, sekarang mengirim sesuatu ke luar negeri tapi nggak tercatat. Alamnya habis, batu baranya habis, tapi pendapatan negara nggak bertambah.
Kita sudah mulai mengubah paradigma dari belanja barang dan pengeluaran proyek-proyek seperti infrastruktur, pada proyek lain. Artinya begini, sumber-sumber pendapatan negara yang kita mulai mengejar sejalan dengan strategi nasional kita.
ADVERTISEMENT
Aksi parodi koruptor dukung hak angket KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi parodi koruptor dukung hak angket KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Legislator memegang angka korupsi paling tinggi. Apa yang membuat profesi ini rentan berperilaku korup?
Kalau yang saya bilang, itu persoalan ekonomi. Di situ kan banyak kegiatan ekonomi. Pintu masuknya dimulai dari mereka memperjuangkan konstituennya. Tetapi ketika mereka mulai bicara proses kan bicara pengeluaran di situ. Bicara APBN, APBD, dan seterusnya.
Kenapa dia (legislator) yang paling banyak korupsi, karena mereka bisa menentukan masa depan daerah.
Yang unik adalah menurut saya, ini eksekutif dan legislatif ini dipilih oleh orang yang sama. Pemilih di situ kan sama. Kenapa mereka nggak bisa bicara sama-sama, malah debat soal perbedaan uang ketok segala macam.
ADVERTISEMENT
Kenapa ada istilah uang ketok? Karena perbedaan pandangan. Nggak saya maunya ini, saya maunya ini. Baru kemudian ributnya bicara angka. Kalau bicara angka itu kan bicara quantity.
Yang paling penting sekarang adalah bagaimana dua trias politika ini, eksekutif dan legislatif, duduk sama-sama untuk saling check and balance.
Kewenangan yang paling sering disalahgunakan oleh anggota Dewan?
Kan mereka memiliki hak budget, kemudian ada legislasi, segala macam. Yang paling banyak ya hak anggaran, budget.
Jadi kalau ditanya lagi sebenarnya di tempat-tempat mana, ya saya katakan hak budget itu yang banyak "kerawanannya". Oleh sebab itu, semakin naik dana APBN, tingkat kerawanannya akan semakin besar. Karena perilaku itu masih belum berubah.
ADVERTISEMENT
Ada fenomena korupsi massal di Malang, di Sidoarjo juga pernah terjadi pada 2004...
Gaya kepemimpinan dan integritas. Itu penting.
Sayangnya, siapa sih yang bertanggung jawab sama integrity. Kalau saya bilang, negara bertanggung jawab. Pertama kan jelas orang tua, guru agama, masyarakat, saudara-saudara.
Penyerahan petisi tolak koruptor nyaleg dari koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih ke KPU, Jumat (31/8/18). (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Penyerahan petisi tolak koruptor nyaleg dari koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih ke KPU, Jumat (31/8/18). (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
Nah negara membangun integrity nggak? Ya nggak. Mahasiswa aja titip absen. Itu nggak berintegritas. Jadi banyak sekali yang kita harus bentuk secara bersamaan. Harus kita ubah dari yang kecil-kecil.
Pertama iya cuma titip absen, lama-lama titip proyek kalau sudah kerja.
Apa tantangan KPK dalam menindak dan mencegah korupsi di parlemen?
KPK mencoba masuk di penindakan dan pencegahan. Dari sisi pencegahan, kita bagi Indonesia menjadi 9 wilayah regional. Nanti akan ada orang-orang khusus yang fokus di situ. Mulai dari Aceh, Sumut, Riau, Sumsel, begitu selanjutnya sampai Papua.
ADVERTISEMENT
Diharapkan dengan tim khusus yang fokus pada pencegahan, kita akan efektif bertindak lebih lanjut. Contoh-contoh misalnya membahas APBD tidak selesai-selesai, pendapatan negara nggak naik-naik, terus kemudian utang semakin habis.
Misalnya DPRD nggak selesai-selesai rapat, ngotot-ngotot. Sebelumnya kita nggak pernah datangi. Tapi nanti kita datangi, sudah hampir akhir tahun kenapa mereka nggak selesai membahas dananya. Berapa uangnya, apa persoalannya.
Itu tentang regionalisasi. Kita harap kita merekrut orang lebih banyak lagi. Sementara ini memang belum ada KPK di daerah, tapi kita fokuskan ada orang yang setiap saat bisa turun ke daerah dan fokus di daerah itu.
KPK kan punya mekanisme tuntutan pencabutan hak politik. Apakah cara itu digunakan untuk mendisiplinkan legislator?
ADVERTISEMENT
Itu salah satu cara tentunya. Tapi kembali lagi kita harus hati-hati untuk political corruption ini. Political corruption sangat dipengaruhi oleh struktur politiknya.
Itu kan kita banyak detail-detail yang kita pelajari. Sehingga bisa memutuskan wajar hak politiknya dicabut. Intinya mencabut hak politik itu sebenarnya bagian dari cara kita untuk membuat orang lebih hati-hati, lebih berefek jera.
Jangan lupa, tujuan dari hukum itu kan mengubah orang, perilaku, sehingga orang tidak melakukannya lagi. Tapi hati-hati juga dalam memutuskan mana yang dicabut hak politiknya, nggak semua orang bisa disamakan dan dicabut hak politiknya.
Ada orang yang menyesali kemudian ya menjelaskan, membuka kasusnya lebih baik. Ada yang menutupi.
Pemeriksaan perdana tersangka anggota DPRD Malang, Gedung KPK, Jakarta, Kamis (06/09/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemeriksaan perdana tersangka anggota DPRD Malang, Gedung KPK, Jakarta, Kamis (06/09/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Apakah korupsi politik sepelik itu di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Waktu ada debat di mana, saya katakan begini: biaya politik itu tinggi, betul memang biaya politik tinggi. Kalau jujur kita mengakui, kasus yang muncul itu apakah memang demand dari partai politiknya. Jujur dibuka benar-benar. Apa betul-betul dia harus membayar sesuatu, atau memang tingkat kebutuhan yang nggak ada limitnya. Itung-itungan aja dulu.
Kalau pun katakan dia harus mengembalikan sesuatu, karena itu cost politik. Ini persoalannya kembali saya katakan ini bukan soal uang. Ini persoalan bagaimana manajemen politik, sosial, budaya, kemudian style kepemimpinan, integrity perorangan, bagaimana mewarnai lingkungan.
Bagaimana ketika KPK menangani kasus korupsi yang politis?
Sekali lagi, kalau memang kita mau mencegah korupsi, kita memang harus sama-sama. Jangan diserahin ke KPK saja. Kami hanya bisa bawa orang, ngaduin orang, mengimbau orang, kemudian kami tinggalin.
ADVERTISEMENT
Pesan untuk masyarakat di Pemilu 2019?
Saya pikir semua rakyat Indonesia tahu kok. Kalau istilah Melayu, semua memakai hati, kita tahu mana emas mana loyang. Pakai nuraninya untuk menentukan.
------------------------
Simak selengkapnya Awas Caleg Koruptor! di Liputan Khusus kumparan.