Sebelum Jadi Alat Skrining Corona, GeNose Sempat Jadi Pendeteksi Kehalalan

5 Februari 2021 17:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Tim Peneliti GeNose UGM, Profesor Kuwat Triyana. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Tim Peneliti GeNose UGM, Profesor Kuwat Triyana. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi corona, alat skrining corona GeNose menjadi penemuan yang fenomenal. Banyak harapan skrining bisa dilakukan lebih masif di Indonesia dengan alat karya peneliti UGM ini.
ADVERTISEMENT
Menurut ke sejarah awalnya dulu, alat skrining corona ini sempat diniatkan untuk tujuan nonmedis, termasuk mendeteksi kehalalan.
Ketua Peneliti GeNose Prof Kuwat Triyana menjelaskan, GeNose sebelumnya bernama Electronic Nose atau Enose. Pada 2008 alat ini sudah masif pengembangannya.
"Saya cerita tentang asal mulanya, jadi electronic nose atau hidung elektronik ini sudah kita teliti sejak 2008. Kemudian kita lanjut untuk aplikasi waktu itu hanya yang sederhana untuk nonmedis, sampai termasuk deteksi halal," kata Kuwat saat live dengan kumparan, Jumat (5/2).
Petugas mengetes kantong nafas milik penumpang menggunakan alat pendeteksi corona GeNose di sebuah stasiun kereta api di Jakarta, Indonesia, Rabu (3/2). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
Setelah itu, Enose ini juga sempat menjadi aplikasi deteksi narkotika atau narkoba. Saat itu pengembangannya bersama dengan Mabes Polri.
"Karena dulu banyak kerja sama dengan Mabes Polri untuk metode deteksi narkoba kemudian kita lanjut kepada deteksi medis baru 2016," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016 inilah, Enose ini mulai masuk ke dunia medis. Bersama Fakultas Kedokteran UGM Enose digunakan untuk deteksi tuberkulosis atau TBC. Saat itu di Belanda alat serupa juga mulai dikembangkan untuk mendeteksi TBC.
"Awal aplikasi GeNose ini awal masih Enose kita awal ada aplikasi deteksi tuberkulosis atau TB. Kenapa TB menarik, karena kita nomor 3 juara, juara jelek, penderitanya paling banyak," kata Kuwat.
Pemerintah bertekad menetapkan zero TB atau TB nol kasus.
"Lalu kawan-kawan dari Fakultas Kedokteran mencoba untuk melakukan terobosan bagaimana ini dideteksi menggunakan napas," imbuhnya.
Pola pendeteksian TBC ini sama dengan skrining corona saat ini yaitu menggunakan uap napas atau Volatile Organic Compound (VOC).
ADVERTISEMENT
"Dari TB sendiri kan ada kuman atau bakteri yang itu sebetulnya menghasilkan senyawa yang mudah menguap ,nah itu yang kita sebut Volatile Organic Compound (VOC) yang itu sangat khas. Kalau TB seperti apa, kalau penyakit lain saluran napas seperti apa, gitu," kata Kuwat.
Petugas mengetes kantong nafas milik penumpang menggunakan alat pendeteksi corona GeNose di sebuah stasiun kereta api di Jakarta, Indonesia, Rabu (3/2). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

Tawarkan GeNose Sejak Awal Pandemi Tapi Tak Direspons

Namun, tak disangka pada tahun 2020 pandemi corona melanda Indonesia. Ketika awal ada kasus di Depok pada 3 Maret 2020, sebenarnya Kuwat telah menawarkan GeNose untuk skrining corona, tetapi belum mendapat respons.
"(Kasus) pertama di Depok itu, kemudian tidak ada yang tertarik menggunakan GeNose karena dianggap teknologi yang tidak bermakna atau tidak berfungsi," katanya.
Namun pada bulan April 2020, Kuwat kembali bertemu dr Dian Kesumapramudya Nurputra yang kemudian juga menjadi anggota peneliti. Mereka mengembangkan GeNose hingga mendapatkan izin edar pada Desember 2020.
ADVERTISEMENT
Kini sejumlah stasiun kereta api telah menggunakan GeNose sebagai alat skrining bersama dengan rapid test antigen.