Segawat Apa Angka Obesitas pada Anak Indonesia?

2 November 2017 15:37 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tingkat Obesitas Anak Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tingkat Obesitas Anak Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
“Aduh, lucu banget ya. Pipinya chubby kayak bakpao. Muka badan bulet bunder kayak Teletubbies. Mau cubit doong...”
ADVERTISEMENT
Ucapan-ucapan gemas kerap terlontar dari mulut para ibu jika melihat anak-anak gemuk lucu menggemaskan, dengan pipi-pipi lembut halus mereka yang menggiurkan untuk dijawil dan dicium.
Tapi tunggu dulu, gemuk tak selamanya sehat. Hal itu diingatkan oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek sejak lama. Ia mewanti-wanti, angka obesitas pada anak kian meningkat, seiring pola hidup yang tak seimbang.
Dua tahun lalu misalnya, 2015, Nila mengatakan angka obesitas anak naik 11 persen--menambah problem kesehatan anak selain malnutrisi atau kurang gizi, dan stunting atau tinggi badan di bawah rata-rata.
Januari 2017, Kementerian Kesehatan dalam artikel “Bayi Gendut, Lucu Tapi Belum Tentu Sehat” yang dimuat dalam situs resminya, memperingatkan kembali bahaya obesitas--yang kerap dimulai sejak usia dini:
ADVERTISEMENT
Kebanyakan ibu di Indonesia akan merasa bangga bila memiliki bayi bertubuh gemuk atau gendut, karena dianggap sangat sehat, lucu, dan menggemaskan. Padahal, kondisi kelebihan berat badan, baik overweight (kegemukan) maupun obese--penumpukan lemak, memiliki risiko penyakit tidak menular.
Perlu adanya perubahan pemahaman di masyarakat, anak yang gemuk belum tentu sehat.
“Dahulu masyarakat bangga jika punya anak gemuk berpipi montok. Tapi saat anaknya sudah besar, (anak itu) malu, ingin kurus, tapi susah,” ujar Doddy Izwardi, Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes.
Obesitas bukan baru-baru saja jadi perhatian Kemenkes. Pada 2012 pun, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes mengeluarkan “Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah.”
Dalam pedoman itu dijelaskan, obesitas terjadi akibat energi yang masuk (lewat makanan) lebih tinggi daripada energi yang dikeluarkan (lewat aktivitas fisik). Asupan energi tinggi terjadi karena konsumsi makanan dengan sumber energi dan lemak tinggi. Sementara pengeluaran energi rendah disebabkan kurangnya aktivitas fisik (sedentary lifestyle).
ADVERTISEMENT
Pada anak sekolah, obesitas jadi masalah serius karena akan berlanjut hingga dewasa. Obesitas pada anak mengundang setumpuk masalah kesehatan seperti gangguan pertumbuhan tungkai kaki, gangguan tidur, sleep apnea (henti napas sesaat), dan gangguan pernapasan lain.
Tak hanya itu, di masa dewasa kelak, si anak akan kian diterpa ancaman lebih serius. Ia harus bersiap dihinggapi penyakit metabolik dan degeneratif macam kardiovaskuler (jantung), diabetes melitus (gangguan metabolisme karbohidrat berupa kadar glukosa/gula yang tinggi dalam darah), kanker (daging tumbuh pada jaringan tubuh), osteoartritis (nyeri sendi akibat inflamasi ringan yang disebabkan gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi), dan hipertensi (tekanan darah tinggi).
ADVERTISEMENT
Risiko terjangkit penyakit tersebut bukan main-main. Semisal, profil lipid (zat lemak) pada anak obesitas menyerupai profil lipid pada penderita kardiovaskuler. Ini artinya, bila obesitas dibiarkan dan tak ditangani serius, ia akan menjadi pecetus petaka.
Ilustrasi melawan obesitas pada anak (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi melawan obesitas pada anak (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Data Riset Kesehatan Dasar Kemenkes 2013 menunjukkan, prevalensi nasional tertinggi problem kegemukan terjadi pada anak kelompok anak usia 5-12 tahun (18,8 persen), disusul kelompok 13-15 tahun (10,8 persen), dan 16-18 tahun (7,3 persen). Jumlah itu naik 4 persen dalam tiga tahun terakhir.
Prevansi ialah jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada satu periode tertentu di suatu wilayah. Sementara Riset Kesehatan Dasar Kemenkes ialah penelitian berbasis komunitas pada level nasional hingga kabupaten/kota. Riskesdas digelar rutin tiap tiga tahun, sebagai bahan evaluasi dan penyusunan program pembangunan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Riskesdas 2013, kegemukan pada kelompok 5-12 tahun terbagi dua, yakni kegemukan (10,8 persen) dan sangat gemuk atau obesitas (8,8 persen).
Tapi kenapa ada istilah “kegemukan” dan “obesitas”? Tidakkah kedua kata tersebut memiliki arti serupa?
Ada perbedaan tipis di antara keduanya. Menurut WHO, “kegemukan” ialah kelebihan berat badan karena makan berlebih (dengan ambang batas IMT > 25 kg/m2). Sementara “obesitas” adalah kelebihan berat badan akibat penimbunan lemak berlebih (dengan ambang batas IMT/U > 27 kg/m2)
IMT, Indeks Massa Tubuh, yaitu ukuran berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter.
15 provinsi tertinggi yang “menyimpan” anak obesitas selain DKI Jakarta ialah Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Papua, Sumatera Selatan, Jambi, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali, Kalimantan Timur, Banten, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah.
Ilustrasi anak obesitas.  (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak obesitas. (Foto: Shutterstock)
“Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah” menyebutkan, peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas terjadi pada tiap tahap kehidupan--pada semua kelompok umur dan strata sosial ekonomi.
ADVERTISEMENT
Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) bahkan mencatat Indonesia sebagai negara dengan prevalensi anak obesitas tertinggi di Asia Tenggara, yakni 12 persen.
Sementara satu riset University of Washington menunjukkan Indonesia menjadi satu dari tiga negara dengan peningkatan angka obesitas anak hingga tiga kali lipat dalam 30 tahun terakhir. Wow.
Kenapa bisa begitu? Faktor lingkungan penyebab utama. Seperti telah disebut di atas, terdapat ketidakseimbangan pola makan dan aktivitas fisik. Asupan pangan berlebih energi dan lemak, sedangkan tubuh jarang bergerak untuk membakar energi.
Anak-anak yang sejak kecil kecanduan gadget lebih-lebih harus dipantau. Dengan ponsel, playstation, dan komputer dalam jangkauan, mereka tak akan merasa perlu menggerakkan tubuh, bermain riang dengan kawan-kawan sebaya seperti orang tua mereka zaman dulu.
Tingkat Obesitas Anak Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tingkat Obesitas Anak Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Mengubah pola makan dan pola hidup memang tak pernah mudah. Namun, mengorbankan masa depan anak dengan bertindak gegabah, jelas pilihan buruk.
ADVERTISEMENT