Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sejauh Mana Hak Angket Kecurangan Pilpres Bisa Bergulir?
26 Februari 2024 18:50 WIB
·
waktu baca 9 menit***
Tanggal 22 Februari 2024, sekitar seminggu usai pencoblosan pilpres, adalah hari yang panjang bagi Hermawi Taslim. Sekjen NasDem itu hampir sehari penuh, dari pukul 09.00 sampai 22.00 WIB, menemani ketua umumnya, Surya Paloh, di kantor mereka, NasDem Tower, Cikini, Jakarta Pusat.
Bakda Isya, sekitar pukul 19.30 WIB, Hermawi menerima kunjungan dua mitra koalisinya, Sekjen PKB Hasanuddin Wahid dan Sekjen PKS Aboe Bakar Alhabsyi. Pertemuan ketiga sekjen partai koalisi pengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar itu diawali dengan santap malam di ruang makan mewah lantai 15 gedung itu.
Di ruangan tersebut, terpasang foto berukuran besar berbingkai emas yang memperlihatkan momen kebersamaan Surya Paloh dan Jokowi saat makan malam.
Malam itu, di bawah potret kehangatan Jokowi-Paloh, Hermawi memilih menu ikan salmon, sedangkan Hasanuddin dan Aboe memilih iga bakar. Sambil menyantap hidangan, ketiganya saling bertukar info soal aduan dugaan kecurangan pilpres yang masuk dari masyarakat di berbagai daerah. Tak luput dari bahasan mereka adalah rencana PDIP menggulirkan hak angket kecurangan pilpres di DPR.
Tuntas santap malam, ketiga sekjen itu sepakat untuk mendukung penuh rencana digulirkannya hak angket. Aboe langsung menuju kantor DPP PKS guna menggelar pertemuan tertutup dengan Anies Baswedan.
Esoknya, 23 Februari, obrolan soal hak angket di kubu 01 berlanjut dengan makan siang bersama antara para ketua umum partai koalisi dan capres-cawapres mereka—Anies dan Muhaimin—di restoran Jepang di lantai 28 Wisma Nusantara, Thamrin, Jakarta Pusat.
Usai santap siang, Surya Paloh menyampaikan niat koalisinya untuk ikut menyeriusi hak angket yang diusulkan partai kubu 03. Paloh berkata, “Kami ingin berikan yang terbaik untuk perjalanan kehidupan kebangsaan kita dengan proses demokrasi yang tetap terjaga.”
Hak angket tersebut pertama kali terlontar dari capres 03, Ganjar Pranowo, pada 19 Februari atau lima hari setelah pencoblosan. Menurut Ganjar, dugaan kecurangan pemilu perlu disikapi serius. Eks anggota DPR sekaligus eks Gubernur Jawa Tengah—masing-masing dua periode—itu pun mendorong partai politik untuk menggelontorkan hak angket di parlemen.
”Jika DPR tak siap dengan hak angket, saya mendorong penggunaan hak interpelasi DPR untuk mengkritisi kecurangan pada Pilpres 2024,” ujar Ganjar.
Gayung bersambut, kubu 01 mengulurkan dukungan. Timses 01 dan 03 pun saling berbagi info soal daftar dugaan kecurangan Pilpres di catatan mereka masing-masing. Bila serius hendak mengegolkan hak angket dan hak interpelasi di DPR, memang dibutuhkan gabungan kursi parpol pengusung 01 dan 03 di DPR.
Buat Apa Hak Angket dan Hak Interpelasi?
Hak interpelasi dan hak angket adalah dua dari tiga hak yang menjadi alat DPR untuk menjalankan fungsi pengawasannya terhadap pemerintah. Hak interpelasi ialah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah terkait kebijakan pemerintah yang penting dan berdampak luas kepada masyarakat; sedangkan hal angket ialah hak DPR untuk menyelidiki kebijakan penting pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Kedua hak tersebut tertuang dalam konstitusi, yakni Pasal 20A ayat (2) UUD 1945; sementara aturan detailnya diturunkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR DPR, DPD, DPRD (MD3). Hak-hak itu juga tercantum dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR.
Untuk dapat mengusulkan hak angket, harus ada usulan dari minimal 25 anggota DPR lintas fraksi. Namun, usul tersebut baru resmi menjadi hak angket setelah disetujui rapat paripurna DPR yang dihadiri separuh lebih dari jumlah total anggota DPR, dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir pada rapat itu.
Artinya, dengan total anggota DPR saat ini (periode 2019–2024) yang berjumlah 575 orang, rapat paripurna usulan hak angket harus dihadiri minimal 288 anggota dan disetujui minimal 144 anggota.
Merujuk ke komposisi kursi DPR berdasarkan peta koalisi Pilpres 2024, kubu Anies-Muhaimin (NasDem, PKS, PKB) memiliki 167 kursi dan Ganjar-Mahfud (PDIP, PPP) 147 kursi sehingga gabungan kursi kedua koalisi mencapai 314. Jumlah tersebut telah melebihi 50% kursi di parlemen, seperti yang disyaratkan untuk menggelar rapat paripurna hak angket.
Jika usulan hak angket telah disetujui di rapat paripurna, maka DPR membentuk panitia khusus (pansus) yang beranggotakan perwakilan semua fraksi di DPR. Pansus inilah kemudian memanggil pihak-pihak yang menjadi objek angket untuk dimintai keterangan.
Pasal 24 Ayat (3) UU MD3 pun mengatur, “Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Hak Angket Sasar Kecurangan Pilpres atau Penyalahgunaan Kekuasaan?
Pakar hukum tata negara UNS Agus Riewanto memandang usulan hak angket terkait dugaan kecurangan Pilpres 2024 kurang tepat sasaran, sebab pemilu tidak terkait langsung dengan kebijakan pemerintah.
“Pemilu itu bukan kebijakan pemerintah. Pemilu itu urusan KPU yang tunduk terhadap UU Pemilu, tidak tunduk ke pemerintah,” ujar Agus, Jumat (23/2).
Agus yang juga salah satu panelis dalam debat Pilpres menilai bahwa hak angket tak lepas dari bargain parpol kubu 01 dan 03 terhadap pemerintah yang akan datang.
Ia mempertanyakan: jika yang diangkat adalah dugaan kecurangan pilpres secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), mengapa hak angket tidak diusulkan sebelum hasil hitung cepat pilpres keluar?
Selain itu, Agus meragukan keseriusan parpol kubu 01 dan 03 untuk bersatu menyamakan suara. Menurutnya, “Selama ini [mereka] di parlemen enggak pernah solid.”
Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai target hak angket masih belum jelas. Jika tujuannya untuk mengungkap kecurangan Pilpres yang berbasis perolehan suara, maka hak angket berkejar-kejaran dengan pengumuman hasil pemilu pada 20 Maret nanti. Padahal, sekarang saja hak angket belum resmi bergulir.
Di tengah mepetnya waktu, Lucius ragu parpol koalisi 01 dan 03 di DPR mampu menyatukan suara untuk mengusung hak angket, sebab selama ini ia melihat dinamika politik di DPR sangat fluktuatif.
Jika serius hendak mengegolkan hak angket, Lucius menyarankan hak angket bukan menyasar dugaan kecurangan pemilu, tetapi menyasar dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan paslon tertentu.
“Penyalahgunaan kekuasaan bisa ditarik sejak awal pemilu atau bahkan sejak awal periode kepemimpinan jika memang didesain untuk kemenangan dirinya atau orang-orang yang dia dukung, [semisal terkait] bagaimana bansos dirancang, didistribusikan, lalu dugaan penyalahgunaan APBN, permainan di MK. Itu semua penyalahgunaan kekuasaan untuk pemilu. Objeknya bukan KPU atau Bawaslu, tapi Presiden,” jelas Lucius.
Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menilai, rencana hak interpelasi dan hak angket sepertinya sulit tercapai. Terlebih, belum apa-apa Surya Paloh sudah diundang bertemu Jokowi pada 18 Februari lalu. Denny melihat hal itu sebagai upaya untuk menggembosi koalisi 01.
“Pak Jokowi dengan segala gerakannya tanpa malu mengangkat semua [lawan politiknya]. Yang di sisi lain sulit untuk berkonsolidasi dengan berbagai pertimbangan,” katanya.
Denny menganggap, di antara parpol kubu 01, hanya PKS yang paling konsisten dan siap menjadi oposisi, sedangkan NasDem dan PKB selama ini berada dalam pemerintahan.
Sebaliknya, konsultan politik Eep Saefulloh Fatah cukup yakin dengan soliditas kubu 01-03 dalam menggulirkan hak angket di DPR.
“Saya yakin tujuan utama hak angket adalah mempertanyakan dan membongkar berbagai bentuk kecurangan dan kejahatan pemilu yang membuat legitimasi Pemilu 2024 turun,” ujar Eep.
Akankah Berujung Upaya Pemakzulan Presiden?
Secara prosedur, hak angket bisa menjadi pintu masuk bagi upaya pemakzulan Presiden. Namun, ada satu tahapan lagi yang harus dilalui, yakni menggulirkan hak ketiga yang dimiliki DPR, yakni hak menyatakan pendapat. Jadi, tak bisa semata hak angket.
Lewat hak menyatakan pendapat, barulah DPR dapat berpendapat atas dugaan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela yang dilakukan Presiden. Namun, sebelum itu, hak angket harus lebih dulu dituntaskan.
Setelah Pansus Hak Angket selesai memanggil dan memeriksa para pihak yang menjadi objek angket, hasil pemeriksaan tersebut akan dibawa ke rapat paripurna DPR. Hasil akhir penyelidikan angket biasanya berbentuk rekomendasi.
Lucius menjelaskan, jika dalam penyelidikan hak angket ditemukan pelanggaran oleh Presiden, maka salah satu butir rekomendasi hak angket akan mencantumkan pengguliran hak menyatakan pendapat. Berikutnya, persetujuan atau ketidaksetujuan atas rekomendasi angket akan ditentukan dalam rapat paripurna DPR.
Jika rekomendasi angket diterima, para anggota DPR bisa mengajukan hak menyatakan pendapat yang paling sedikit diusulkan 25 orang lintas fraksi. Usulan itu selanjutnya dibawa ke rapat paripurna yang harus dihadiri minimal ⅔ atau 384 anggota DPR, dan baru bisa berjalan bila disetujui minimal ⅔ jumlah anggota DPR yang hadir pada paripurna tersebut (256 orang).
Jika disetujui, DPR kembali membentuk pansus yang terdiri dari semua unsur fraksi. Nantinya, hasil kerja pansus dibawa ke rapat paripurna DPR untuk mendapat persetujuan. Bila disetujui, DPR lanjut menyampaikan hasilnya ke Mahkamah Konstitusi untuk mendapat keputusan.
Jika MK menilai kesimpulan pansus terbukti, DPR bisa menggelar rapat paripurna guna mengeksekusi usul pemberhentian Presiden kepada MPR. Berikutnya, bila semua berjalan mulus, MPR akan menggelar Sidang Istimewa paling lama 30 hari sejak menerima usulan DPR.
Sidang Istimewa tersebut harus dihadiri ¾ dari total anggota MPR (534 orang) dan memberikan kesempatan kepada Presiden untuk memberikan penjelasan. Jika MPR tetap yakin hendak memakzulkannya, maka hal itu harus disetujui oleh minimal ⅔ dari total anggota MPR yang hadir (356 orang).
Legislator DPR dari Fraksi PDIP, Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, menyatakan pemakzulan Presiden memang berliku, namun bukan tidak mungkin dilakukan melalui hak angket sebagai langkah pertamanya. Menurutnya, komposisi koalisi di DPR yang ingin memakzulkan Presiden lantaran merasa dicurangi di Pilpres 2024 pun lebih besar daripada yang pro-Jokowi.
Sesuai Pasal 7A UUD 1945, terdapat enam alasan yang membuat Presiden/Wapres bisa dimakzulkan, yakni 1) melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara; 2) korupsi; 3) terlibat penyuapan; 4) tindak pidana berat lainnya; 5) melakukan perbuatan tercela; atau 6) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
“Bisa juga pelanggaran Presiden terakumulasi lantaran banyaknya pelanggaran yang ia lakukan itu. Cawe-cawe dalam pemilu juga dapat dikatakan perbuatan tercela atau pidana,” ujar TB Hasanuddin, Rabu (21/2).
Agus dan Lucius berpendapat, proses panjang hak angket dan hak menyatakan pendapat plus pendeknya sisa masa jabatan Presiden yang kurang dari 8 bulan lagi membuat niat pemakzulan kecil kemungkinan bisa terjadi‘
Denny Indrayana sependapat dengan Agus. Menurutnya, probabilitas pemakzulan presiden relatif kecil, sebab isu hak angket lebih kental nuansa politiknya ketimbang nuansa hukum.
Kendati demikian, jika hak angket bisa terlaksana, setidaknya hasil rekomendasinya bisa memperbaiki sejumlah aturan atau kebijakan agar pemilu mendatang bisa berjalan adil.
“Semisal bagaimana posisi presiden, apakah dia boleh kampanye, boleh memihak? Semua itu bisa diselidiki dan akhirnya memunculkan rekomendasi untuk perbaikan sistem ke depan, perbaikan UU, perbaikan kebijakan,” jelas Lucius.
Dengan begitu, hak angket tidaklah sia-sia belaka.
Agak berbeda, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat, pemakzulan Jokowi bisa saja terjadi meski dalam waktu sempit di akhir masa jabatannya.
“Kalau disasarkan ke Pak Presiden, karena [jabatannya] berakhir 20 Oktober, misal sehari sebelumnya pun diputus (dimakzulkan), pada 19 Oktober dinyatakan Presiden cacat hukum, keputusan itu tetap sah,” ujar Feri.