Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Ribut-ribut di Laut Natuna yang pernah terjadi tahun 2016 kini terulang. China kali ini lebih bandel, sedangkan pemerintah Indonesia lebih kalem.
“Kita selesaikan dengan baik, ya. Bagaimanapun China negara sahabat.”
Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI, mengucapkan itu usai menggelar pertemuan dua jam dengan Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Maritim dan Investasi, Jumat (3/1).
Intonasi kalem juga keluar dari mulut Luhut. Menurutnya, kedatangan kapal-kapal China di Natuna tak perlu dibesar-besarkan. Jangan sampai investasi China di Indonesia terganggu. Di sisi lain, Luhut mengakui Indonesia kurang mampu mengawasi Zona Ekonomi Eksklusif miliknya di laut.
Mahfud MD, Menko Polhukam, menegaskan tak bakal ada perang antara Indonesia dan China di Natuna. Hubungan dagang dan budaya antara kedua negara akan terus berlangsung.
“Kita tidak dalam suasana berperang, karena kita memang tidak punya konflik dengan China,” kata Mahfud di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (6/1).
Lalu ribut-ribut di Natuna itu apa?
Kapal-kapal China memang ada di Natuna. Namun, menurut Presiden Jokowi, kapal-kapal itu bukan berlayar di laut teritorial RI. Mereka ada di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang bebas dilintasi pelayaran dan penerbangan internasional.
“Di ZEE, kapal asing dapat melintas bebas. Tapi, hati-hati, kalau mencuri ikan, usir dan tangkap. Negara kita punya hak berdaulat atas kekayaan sumber daya alam laut di ZEE,” kata Jokowi di Natuna, Rabu (8/1).
ZEE yang dimaksud Jokowi itu tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Berdasarkan UU tersebut, ZEE adalah jalur perairan luar yang berbatasan dengan laut Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya, dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Di ZEE tersebut, menurut UU yang sama, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non-hayati. Lebih lanjut, siapa pun yang melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam di ZEE Indonesia harus atas izin pemerintah RI. Ini, tentu saja, termasuk pihak asing yang menangkap ikan di ZEE Indonesia.
ZEE Indonesia tersebut telah diakui hukum internasional dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang diratifikasi Indonesia pada 1985—juga China pada 1996.
Berpedoman pada hukum internasional tersebut, Kementerian Luar Negeri RI melayangkan nota protes diplomatik atas pelanggaran China terhadap UNCLOS 1982 di ZEE Indonesia. Nota tersebut dikirim pada 30 Desember 2019.
“China merupakan salah satu partij dari UNCLOS 1982. Oleh karena itu merupakan kewajiban China untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982,” kata Menlu RI Retno Marsudi.
Soal nine-dash line yang menjadi basis China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan, termasuk perairan Natuna, ditolak mentah-mentah oleh Retno. Ia menegaskan, Indonesia tidak pernah mengakui garis imajiner yang disebut China sebagai teritori tradisional mereka dalam menangkap ikan.
Nine-dash line mulai sering disebut sebagai pangkal konflik Indonesia dan China di Natuna sejak Juni 2016, ketika Menlu China melalui juru bicaranya Hua Chunying mengatakan perairan Indonesia di sekitar Natuna tumpang tindih dengan nine-dash line China, dan menyebut Indonesia dan China punya masalah soal klaim di Laut China Selatan.
Chunying mengucapkan hal tersebut sebagai respons atas penangkapan tiga nelayan China di Natuna oleh Indonesia kala itu.
Beda nada antar-menteri Jokowi dalam menghadapi gejolak di Natuna awal tahun ini mau-tak mau membingungkan publik. Sementara Menlu mengeluarkan pernyataan keras, Menhan dan Menko Maritim cenderung lunak.
Staf khusus Menko Luhut, Atmadji Sumarkidjo, menyatakan menteri-menteri bukannya tak satu suara soal Natuna. Namun, menurutnya, tiap menteri berbicara pada pihak yang berbeda.
“Audiensnya berbeda-beda, kalimatnya berbeda-beda. Bu Retno sebagai ‘terompet’ keluar, (bunyinya) keras. Kalau Pak Luhut concern-nya ke dalam. Kelihatannya (beda) padahal tujuannya satu (untuk menyelesaikan masalah),” kata Atmadji di Kemenko Maritim, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).
Pada pertemuan Luhut dan Prabowo misalnya, ujar Atmadji, kedua menteri sama-sama mencari formulasi sikap yang pas perihal Natuna. Mereka sepakat untuk bicara tenang dan tak meledak-ledak, agar masyarakat tak kian panas. Namun, Atmadji tak sepakat bila pemerintah dianggap bersikap lembek soal Natuna.
Sebab, lanjutnya, pemerintah saat ini tengah mengupayakan backdoor diplomacy atau diplomasi senyap. Cara ini dianggap paling efektif dalam menghadapi kehadiran China di perairan Natuna, karena lebih cair dalam mencari penyelesaian.
Menurut Atmadji, China telah menangkap jelas pesan Indonesia meski tak langsung bergerak cepat. “Kasih waktu supaya dengan kemauan sendiri (berhenti menjaring ikan di ZEE Indonesia,” ujarnya.
Saat ketegangan Indonesia dan China di Natuna memuncak, otoritas Beijing kembali mengklaim sebagian perairan Natuna sebagai milik mereka.
“China mempunyai hak historis di Laut China Selatan. Para nelayan China sudah lama terlibat dalam kegiatan perikanan di perairan-perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha (Spartly),” ujar Jubir Kemlu China, Geng Shuang, dalam konferensi pers di Beijing, 31 Desember 2019 atau sehari sesudah nota protes diplomatik dikirim Indonesia.
Sepekan kemudian ketika ketegangan mereda, Shuang mengatakan telah berkomunikasi dengan Indonesia. Ia juga menyebut Indonesia sebagai mitra strategis komprehensif yang memiliki kerja sama luas dengan China. Oleh sebab itu, lanjutnya, kedua negara sama-sama memikul tugas penting untuk menjaga perdamaian dan stabilitas regional.
China selalu memandang hubungan bilateral dengan Indonesia dalam jangka panjang. Berdasarkan data yang dirilis Konsul Jenderal Tiongkok, Gou Haodong, total investasi China sepanjang Januari-Juni 2019 mencapai USD 2,3 miliar atau 16,2 persen dari total investasi asing di Indonesia. Jumlah itu membuat China berada di peringkat ketiga investor terbesar Indonesia setelah Singapura dan Jepang.
Kedatangan Jokowi ke Natuna, Rabu (8/1), sempat membuat kapal-kapal China menjauhi perairan Indonesia. Namun pada akhir pekan, Sabtu (11/1), puluhan kapal China kembali masuk Natuna. Kapal Badan Keamanan Laut RI (Bakamla) pun bersiaga untuk mengusir kapal-kapal China tersebut.
Ahli hukum sekaligus pendiri Indonesia Ocean Justice Initiative, Mas Achmad Santosa, menilai langkah pemerintah Indonesia menghalau kapal China itu sudah tepat ketimbang kontak fisik.
“Kalau ada coast guard China itu tidak boleh ditembak oleh kita, terutama TNI AL. Kecuali mereka mengeluarkan tembakan dulu,” jelas pria yang pernah menjadi koordinator Satgas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan itu.
Tapi kenapa kapal-kapal China begitu berkeras merangsek ke Natuna?
Ota, sapaan Achmad Santosa, menggarisbawahi kondisi China yang saat ini tengah dihadapkan pada isu food security, yakni terjadi peningkatan konsumsi ikan di negeri mereka, sementara jumlah ikah di Laut Kuning dan Laut China Timur semakin sedikit.
Kekurangan pasokan ikan tersebut, tutur Ota, dikhawatirkan akan menyebabkan inflasi di China. Terlebih, China yang kekurangan produksi ikan justru berusaha mempertahankan status quo sebagai negara eksportir ikan nomor satu di dunia.
Alhasil, kapal-kapal China berlayar sampai Laut Natuna. Apalagi di ZEE Indonesia itu ternyata sepi oleh nelayan lokal. Padahal, kata Ota, ZEE Indonesia tak bisa semudah itu dimanfaatkan oleh asing.
Meski pengelolaan sumber daya alam di ZEE bisa dibagi dengan negara lain, namun negara tersebut mestilah tergolong kepada landlocked state atau negara yang tak memiliki wilayah perairan, dan geographically disadvantaged state atau negara miskin.
Artinya, tak sembarang negara bisa berbagi pengelolaan di ZEE. Klaim China bahwa Laut Natuna kurang dioptimalkan, belum terbukti.
Peran nelayan Indonesia, menurut Ota, perlu dioptimalkan. Keberadaan nelayan-nelayan Indonesia di Natuna akan membantu perairan di sana tidak dimasuki kapal asing. Namun, nelayan lokal perlu dilengkapi alat komunikasi dan pengintai.
Di sisi lain, niat pemerintah mengirim nelayan-nelayan dari pantai utara Jawa untuk melaut ke Natuna, nyatanya tak disambut baik oleh nelayan Natuna. Mereka justru merasa terancam. Solusi untuk Natuna memang tak semudah membalik telapak tangan.
Sejak lama, Laut China Selatan—yang berbatasan dengan Laut Natuna Utara—punya arti penting bagi China. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkannya demikian.
Pertama, menurut Ketua Yayasan Pusat Studi China Rene Pattiradjawane, 98 persen minyak China diangkut melalui Laut China Selatan. Kedua, Laut China Selatan menjadi jalur ekspor China. Ketiga, kebutuhan ikan yang tinggi di dalam negeri membuat China memaksimalkan eksploitasi atasnya di Laut China Selatan.
Laut China Selatan juga menjadi salah satu sumber legitimasi Partai Komunis Tiongkok, sehingga ia akan selalu mati-matian mempertahankan laut itu.
“Kalau dia kehilangan itu (Laut China Selatan), legitimasi dia akan hilang. Dia (pemerintah China) harus punya legitimasi bahwa Partai Komunis adalah partai yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan untuk kepentingan nasional mereka,” kata Rene.
Meski mengakui Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatan RI, China tak lantas mengakui perairan Natuna sebagai teritori Indonesia.
“Mereka tahu di situ ada ikan apa saja. Laut itu, (menurut China), semua laut dia,” kata Rene.
Ia pernah ke Natuna pada 2016 bertepatan dengan sidak Satgas 115 KKP, dan menemukan peta dari nakhoda kapal nelayan China yang tertangkap melaut di sana. Peta dalam bahasa Mandarin itu ternyata berisi koordinat Laut China Selatan yang membentang hingga selatan Kepulauan Natuna, melebihi zona nine-dash line.
Nakhoda China tersebut berkata, koordinat-koordinat tersebut menjadi tanda baginya dan nelayan-nelayan Tiongkok lain bahwa mereka sah untuk menangkap ikan di situ.
Datangnya puluhan kapal China ke Natuna saat ini dianggap Rene terkait situasi politik Indonesia yang baru memiliki kabinet baru di periode kedua pemerintahan Jokowi. China, menurut Rene, ingin tahu respons Indonesia di bawah payung kabinet baru.
“Mau ngetes. Ini (di Indonesia) ada kabinet baru. Ada Menteri Pertahanan namanya Prabowo. Ada Menteri Perikanan namanya (Edhy) Prabowo juga,” kata dia.
Tapi, presiden masih Jokowi.