Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Hari pencoblosan pemilu kian dekat. Spanduk dan atribut kampanye merajalela di mana-mana, termasuk di penjuru ibu kota. Ia tak pilih-pilih tempat, bahkan taman makam pahlawan sekalipun.
Kalau tak percaya, berjalanlah di sekitar Taman Makam Pahlawan Kalibata di Pancoran, Jakarta Selatan. Ia kini tampak meriah bin semrawut dikelilingi spanduk dan poster calon presiden maupun calon anggota legislatif.
Ragam bendera partai dan spanduk caleg menjejali pagar makam. Ada yang ditempel di tiang listrik, dipaku di pohon, atau diikat di pagar. Mereka terpampang serampangan, tak peduli enak dilihat atau tidak. Seolah pemasangnya tak acuh apakah wajah caleg-caleg itu bakal dilirik oleh pengguna jalan yang melintas atau tidak.
Lebih parah, salah satu spanduk bahkan dipasang malang melintang di trotoar, seakan hendak menjerat kaki para pejalan. Belum lagi poster atau spanduk rusak yang lalu dibiarkan teronggok di trotoar tak ubahnya sampah kota.
Tak jauh dari situ, di lampu lalu lintas pertigaan Jalan Raya Kalibata - Jalan Pasar Minggu yang sehari-hari sesak oleh kendaraan, aneka baliho berjejalan di salah satu sudutnya. Semua terpasang saling tumpuk tak karuan. Baliho Jokowi-Ma’ruf Amin berukuran besar yang hampir roboh pun dibiarkan begitu saja.
Melaju ke selatan, di sepanjang Jalan Raya Pasar Minggu, poster-poster berukuran 48 x 33 cm bergambar Jokowi-Ma’ruf Amin terpasang di sepanjang jalan dari Kalibata menuju Pejaten. Spanduk tersebut berisi informasi soal kinerja dan pencapaian pemerintahan Jokowi.
Sedangkan di arah sebaliknya menuju Patung Dirgantara, sedikitnya tiga jembatan penyeberangan kawasan Jalan Gatot Subroto ke arah Mampang Prapatan turut menjadi tempat berlabuh spanduk pemilu. Atribut kampanye kelompok relawan Golkar Jokowi (GoJo) terpancung di setiap titik penyeberangan.
Berbelok ke arah Mampang Prapatan, jembatan penyeberangan Mampang juga dipenuhi aneka spanduk kampanye. Sepanjang kiri dan kanan trotoar penuh atribut kampanye caleg beraneka ukuran.
Seluruh area ini harusnya menjadi kawasan terlarang bagi atribut kampanye. Surat Keputusan KPU DKI Jakarta Nomor 175, area TMP Kalibata, Gatot Subroto, dan Mampang Prapatan Raya-Kapten Tendean merupakan area terlarang dipasangi atribut kampanye.
Ada 23 area terlarang dipasang atribut seperti: kawasan Monas, Lapangan Banteng, Taman Suropati, Taman Tugu Proklamasi, Taman Fatahillah, Taman Cornelis Simanjuntak, kawasan Patung Pemuda, kawasan Bundaran Hotel Indonesia, kawasan Jembatan Semanggi, kawasan Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan Taman Kelapa Gading.
Kawasan lainnya: seluruh jalan bebas hambatan atau tol layang (sisi kanan dan kiri jalan), jembatan penyeberangan, jalan layang, jalan terowongan, sarana Pemprov Jakarta, Jalan Veteran-Veteran III, Ring 1 Istana Negara, Gadjah Mada, Hayam Wuruk-Stasiun Kota, Jalan Kebon Sirih, Cawang Interchange, Rasuna Said, Mampang Prapatan Raya-Kapten Tandean, Menteng Raya, Gatot Subroto, S. Parman, MT Haryono, Matraman Raya, Salemba, dan Otista.
Selain itu, tempat pelayanan publik seperti: tempat ibadah termasuk halaman, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, gedung pemerintah, dan lembaga pendidikan (gedung dan sekolah) juga dilarang dipasangi atribut kampanye.
Sementara lokasi yang dibolehkan adalah kantor atau sekretariat partai, rumah perseorangan atau swasta, itupun harus seizin tertulis dari pemilik lokasi.
Komisioner Bawaslu Jakarta Selatan, Ardhana Ulfa Aziz, mengatakan Bawaslu sudah berulang kali mengingatkan partai politik maupun calon legislator untuk tertib memasang atribut kampanye . Mereka bahkan meminta peserta pemilu untuk rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli tiang pancang. Sehingga atribut kampanye tidak dipasang di pohon atau tiang listrik.
“Saya bilang, 'mbok ya diajarin.’ Relawan itu dikasih uang yang cukup buat memasang, supaya mereka tidak sembarangan dan tidak serampangan. Kami sudah arahkan, kalau untuk pemasangan baliho atau spanduk, modal sedikitlah. Mancang sendiri, biar rapi keliatan, jangan diuwel-uwel tuh di tiang listrik,” ujarnya kepada kumparan di kantor Bawaslu Jaksel.
Namun tak semudah itu berkoordinasi dengan peserta pemilu. Entah sudah berapa kali berkoordinasi tetapi larangan untuk memasang spanduk caleg itu tetap saja dilanggar.
Ardhana mengaku ada dua sebab, pertama kurang koordinasi antara partai politik dengan calon legislatif. Kedua, kurang koordinasi antara caleg atau parpol dengan relawan dan tim kampanye di lapangan.
“Caleg memasang APK (alat peraga kampanye) terkadang tidak koordinasi dengan parpol. Nah, kami di bawah, kalau menemukan persoalan pelanggaran APK, koordinasinya bukan ke caleg, tapi ke parpol. Sementara caleg, ternyata masing-masing punya relawan dan tim kampanye. Nah, ini yang terkadang tidak connect dengan parpol,” jelasnya.
Bawaslu bisa saja menyita lebih banyak atribut bila mereka saklek pada aturan PKPU Nomor 23 Tahun 2018. Tapi nyatanya mereka memilih berkompromi. Yang dimaksud saklek di sini adalah menertibkan alat peraga yang ukuran maupun bahannya tidak sesuai aturan.
PKPU memang mengatur ukuran dan bahan alat peraga kampanye. Ukuran terbesar untuk baliho, billboard, atau videotron adalah 4 x 7 meter. Sementara ukuran terbesar buat spanduk adalah 1,5 x 7 meter dan umbul-umbul 5 x 7 meter.
Soal bahan kampanye, PKPU sebetulnya tidak mengatur soal alat peraga jenis banner--spanduk ukuran kuran dari 1 meter berbahan non-kain. Padahal, atribut inilah yang sering dipasang oleh peserta pemilu di pohon atau tiang listrik.
Menurut Ardhana, tidak mungkin Bawaslu mengukur satu per satu alat peraga yang dipasang di ruang publik. Untuk itu mereka memilih berkompromi, asal atribut tersebut tidak dipasang di tempat terlarang dan tetap memperhatikan estetika.
Kompromi Bawaslu tidak ada artinya jika fakta di lapangan berkata lain. Faktanya, dengan berkompromi pun Bawaslu masih banyak menemukan pelanggaran di lapangan.
Per Desember 2018, Bawaslu Jakarta Selatan telah menyita 4.223 alat peraga kampanye. Rinciannya: 886 bendera, 3.267 spanduk, 21 baliho, dan 1 reklame.
Partai politik yang paling banyak melanggar adalah Golkar dengan 107 pelanggaran. Disusul PKS dengan 91 pelanggaran. Sementara yang paling tertib adalah PKPI, PSI dengan 3 pelanggaran, dan Partai Garuda yang atribut kampanyenya tidak pernah disita.
Kesemrawutan pemasangan APK juga beririsan dengan cairnya penafsiran atas aturan SK KPU DKI Jakarta Nomor 175 maupun PKPU Nomor 23 Tahun 2018. Ardhana mengungkapkan, baik Bawaslu, KPU, atau peserta pemilu punya penafsiran beragam atas aturan tersebut.
Salah satu contoh, perbedaan tafsir pada aturan SK KPU 175. Muncul pertanyaan, misalnya: sampai sejauh mana batas-batas areal TMP Kalibata dilarang dipasangi alat peraga. Atau, dimanakah batas-batas larangan pemasangan APK di Jalan Mampang Prapatan-Kapten Tendean.
Itu baru masalah jalan. Perbedaan penafsiran soal larangan memasang APK di fasilitas milik Pemprov DKI juga jadi masalah. Contohnya: apakah pemasangan atribut di rusunawa dilarang, mengingat fasilitas itu milik pemerintah?
“Yang multitafsir itu pemasangan atribut kampanye di sarana milik pemerintah. Pernah ada debat soal rusun. Boleh tidak rusunawa dipasang APK?” ujarnya.
Komisioner KPUD DKI Jakarta, Betty Idroos, membantah aturan yang mereka bikin menimbulkan salah tafsir. Ia mengatakan lokasi terlarang alat peraga kampanye sudah jelas: di sepanjang jalan protokol yang ditentukan, termasuk di sepanjang Jalan Mampang Prapatan.
“Ruas jalan sepanjang Jalan Mampang tidak boleh dipasang APK. Kalau dipasang di dalam gang-gangnya boleh, asal tidak di Jalan Mampang,” jelasnya.
Ia juga menegaskan, pemasangan atribut kampanye di rusunawa memang diperbolehkan. Sebab, rusunawa diperuntukkan sebagai tempat tinggal berbayar.
“KPU mengeluarkan aturan larangan pemasangan APK di gedung milik pemerintah, kecuali di fasilitas yang berbayar. Nah, rusun itu fasilitas milik pemerintah yang berbayar dan peruntukannya untuk tempat tinggal,” jelasnya.
Meski atribut kampanye kerap menjadi sampah visual, toh para calon legislator tetap merasa perlu menggunakannya untuk kampanye.
Dua caleg PSI Dapil DKI Jakarta, Rian Ernest dan Tsamara Amany menilai pemasangan APK efektif mengerek popularitas mereka. Di samping metode kampanye door to door dan media sosial.
Sebelum mencalonkan diri, Rian Ernest memang menilai pemasangan APK di ruang publik sebagai sampah visual. Namun, ia berubah pikiran setelah mencalonkan diri pada pemilu tahun ini.
“Begitu masuk politik, baru saya memahami tiga metode teratas mengenalkan diri kita agar dikenal dan disukai oleh orang ya selain lewat TV, ketemu langsung, juga dilakukan juga lewat alat peraga luar ruang. Jadi mau nggak mau, suka nggak suka, dalam konteks politik Indonesia alat peraga luar ruang itu masih powerful, “ jelasnya.
Hal yang sama diamini Tsamara. Menurutnya, pemasangan APK berhasil mengerek popularitasnya, terutama di kalangan rakyat bawah. Sebab, kelompok masyarakat itu masih belum begitu melek media sosial. Ia mengaku elektabilitasnya mulai melonjak setelah gencar memasang berbagai APK selama dua bulan terakhir.
“Di awal kampanye elektabilitas saya 0,5 persen, November 0,9 persen, Desember sempat 1 persen. Di akhir Januari naik lagi jadi 3 persen. Sepertinya gara-gara atribut, karena pemasangan atribut lumayan masif di akhir Desember sampai awal Januari,” ungkapnya.
Tsamara sendiri pernah kena sial, balihonya kena segel Pemrov DKI Jakarta. Perkaranya bukan soal materi tetapi karena izin konstruksi yang melanggar.
Ampuhnya spanduk tak diakui oleh caleg DPR RI Partai Gerindra Dapil Sumatera Barat I, Andre Rosiade. Ia mulai memasang foto dirinya sebelum kampanye pemilu dimulai yakni pada 2017 di Dapil I Sumatera Barat.
Waktu itu ia belum duduk sebagai caleg. Warga hanya mengenal muka tanpa mengingat identitasnya, begitu pula saat ia memasang identitas sebagai caleg. Justru sosialisasi dan silaturahmi-lah yang mengenalkannya pada warga di dapil.
“Sosialisasi itu lebih efektif kalau kita pasang baliho di saat orang belum pasang baliho. Sehingga masyarakat lebih ngeh, fokus melihat kita dan ingatnya dalam,” ujarnya.
Soal efektif atau tidak, pastinya pemasangan atribut kampanye asal-asalan cukup mengganggu pemakai jalan. Salah satu orang yang jengkel itu ialah Ade, seorang pekerja perusahaan swasta.
Ia menilai tumpukan atribut kampanye mengganggu konsentrasinya berkendara dan merusak pemandangan jalan yang memang sudah semrawut. Setiap hari Ade berkendara menempuh jarak 12 kilometer menuju kantor, dari rumahnya Lenteng Agung menuju Pasar Minggu. Sepanjang kurang lebih 30 menit berkendara, nyaris setiap sudut jalan sudah disesaki atribut kampanye.
“Atribut kayak sampah. Udah rusak berserakan, mending bagus. Justru bikin kecelakaan kalau ngeliatin spanduk-spanduk itu,” ungkapnya kesal.
Hal yang sama juga dirasakan Denia, pekerja swasta yang sejak awal memang mengaku apatis terhadap politik. Penuhnya atribut kampanye yang ia temukan, tidak serta merta membuatnya tertarik mencari tahu, apalagi memilih si caleg.
Alih-alih tertarik, ia malah mengaku enek dengan tumpukan atribut yang menyambutnya sepanjang perjalanan, dari kediamannya di Cilandak menuju kantornya di Pejaten. Ketimbang memenuhi ruang publik dengan aneka atribut, ia menyarankan para calon berkampanye lewat media sosial.
“Muka mereka ada di situ orang juga nggak memperhatikan. Nggak pengen bikin orang cari tahu. Tidak efektif, harusnya ada cara lain. Harusnya timsesnya lebih kreatif,” ujarnya
Dosen Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko menganggap pemasangan atribut kampanye adalah bentuk terorisme visual . Sebab, pemasangan itu telah merenggut kemerdekaan visual warga di ruang publik. Terlebih bila dipasang serampangan.
“Jadi sekarang iklan politik menjadi bagian dari sampah visual. Bahkan dia sekarang sudah menjadi teroris visual, karena mengganggu kemerdekaan visual di ruang publik. Sehingga mereka tidak bisa melakukan proses patembayatan sosial,” jelasnya.
Ia menilai undang-undang atau peraturan pemilu perlu mengatur sanksi pemasangan alat peraga yang dikategorikan sampah visual. Sebagai bentuk protes, ia bersama komunitas Reresik Sampah Visual menginisiasi petisi online “Bawaslu Tolak Sampah Visual” di laman change.org .
“Kalau caleg membuat sampah visual dilindungi oleh undang-undang. Sementara, kalau warga mencopot atribut kampanye karena merasa terganggu kemerdekaan visualnya, dia ditangkap karena dituduh merusak. Itu tidak adil,” sambungnya.